Monday 10 December 2012

The Last Empress Part 1

00:57


The Last Empress Part 1


The Last Empress
Anchee Min





The Last Empress
Diterjemahkan dari The Last Empress Karya Anchee Min,
Terbitan Bloomsburry, London, 2007
Copyright © 2007 by Anchee Min
First published in Great Britain in 2007
Indonesian Translation Copyright
© 2008 by Hikmah Publishing House
Penerjemah: Nuraini Mastura
Penyunting: Suhindrati A. Shinta
Penyelaras aksara: Ifah Nurjany
Desain sampul: Windu Tampan
Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika)
Anggota IKAPI
Jln. Puri Mutiara Raya DewiKZ No. 72
Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430
Telp. 02175915762, Fax. 02175915759
Email: hikmahku@cbn.net.id
http://www.mizan.com
ISBN: 9799791141971
Cetakan I, Juni 2009
Cetakan II, Juli 2009
Cetakan III, Oktober 2009
Cetakan IV, Februari 2009
Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU)
An. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungberung, Bandung 40294
Telp.: (022) 7815500 (hunting) Faks.: (022) 7902288
Email: mizanmu@bdg.contrin.net.id
JAKARTA: (021) 7661724, 7661725, MAKASSAR: (0411) 871369,
SURABAYA: (031) 60050079, (031) 9291857, MEDAN: (061) 820469
Terima Kasih
Anton Mueller
Untuk pekerjaan suntingannya yang luar biasa
Sanda Dijkstra
untuk kehadirannya selalu




Catatan Penulis


Seluruh karakter dalam buku ini didasarkan atas kenyataan. Saya berusaha keras untuk menjaga kemurnian peristiwaperistiwa yang tertulis dalam buku sesuai dengan rekaman sejarah yang ada. Saya menerjemahkan atau menyalin dekrit, maklumat, dan artikel koran dari dokumen asli. Saat menemukan perbedaan penafsiran, saya mendasarkan penilaian saya pada hasil penelitian dan menggunakan perspektif menyeluruh.

Hubunganku dengan Tzu Hsi berawal pada 1902 dan terus berlanjut hingga kematiannya. Aku menyimpan catatan personal tentang hubungan rahasiaku dengan sang Maharani, juga menyimpan catatan dan pesan yang ditulis Yang Mulia pribadi kepadaku, tetapi sialnya aku kehilangan semua manuskrip dan kertaskertas tersebut.

SIR EDMUND BACKHOUSE,

coauthor buku China Under the Empress Dowager (1910) dan Annals and Memoirs of the Court of Peking (1914)


Pada 1974, (dengan) mempermalukan Oxford dan mengagetkan para ilmuwan Cina di seluruh dunia, diketahui bahwa Backhouse adalah seorang penipu... Kebohongannya memang terbongkar, tetapi bahanbahan palsunya masih tetap saja digunakan oleh para ilmuwan.

STERLING SEAGRAVE,

Dragon Lady. The Life and Legend of the Last Empress of China (1992)


Salah satu orang bijak Cina meramalkan bahwa "Cina akan dihancurkan oleh seorang perempuan " Ramalan ini tengah menuju kenyataan.

DR. GEORGE ERNEST MORRTSON,

Koresponden Times London untuk Cina, 18921912


Tzu Hsi sudah membuktikan bahwa dia bijak dan (berpandangan) ekonomis. Kepribadiannya tanpa cela.

CHARLES DENBY,

Wakil Amerika untuk Cina, 1898


Dia (Tzu Hsi) adalah biangnya kejahatan dan intrik.

Naskah Cina (dicetak pada 19491991)








Awal Mula



PADA 1852, SEORANG GADis berusia tujuh belas tahun dari keluarga terpandang tetapi miskin dari klan Yehonala tiba di Peking sebagai salah seorang selir bagi Kaisar Muda, Hsien Feng. Tzu Hsi, dikenal sebagai Anggrek saat kecil, hanyalah satu dari ratusan selir yang satusatunya impian dalam hidup mereka adalah memberikan keturunan lakilaki bagi Kaisar.

Saat itu bukanlah waktu yang baik untuk memasuki Kota Terlarang, kompleks teramat luas yang dipenuhi istana dan taman, dijalankan oleh ribuan kasim dan dikelilingi oleh tembok di pusat Kota Peking. Dinasti Ch'ing mulai kehilangan denyut nadinya. Balairung Istana sudah menjadi tempat yang picik dan sangat tertutup. Beberapa dekade sebelumnya, Cina kalah dalam Perang Opium pertama. Dan semenjak itu, ia belum juga berusaha memperkuat pertahanannya atau memperbaiki hubungan diplomatiknya dengan bangsabangsa lain.

Di dalam tembok Kota Terlarang, sedikit salah langkah sering kali berakibat maut. Sebagai seorang dari ratusan wanita yang menuntut perhatian penuh dari sang Kaisar, Angrek mengetahui bahwa dia harus mengambil kendali hidupnya sendiri. Setelah menahabiskan waktunya untuk berusaha mempelajari seni memuaskan pria, dia mengorbankan segalanya dengan menyuap jalannya untuk memasuki kamar tidur Kerajaan dan merayu Kaisar. Hsien Feng adalah lelaki bermasalah, tetapi ada saatsaat ketika cintadewi-kz di antara mereka begitu menggebu dan murni, dan tak lama, dia mendapatkan keberuntungan untuk memberinya satusatunya keturunan lakilaki dan pewaris takhta. Dengan pangkat meningkat menjadi seorang Maharani, Anggrek tetap harus berjuang untuk mempertahankan posisinya ketika Kaisar mengambil kekasih-kekasih baru. Haknya untuk membesarkan anaknya sendiri, yang berada di bawah kendali Pemaisuri Nuharoo, istri pertama Kaisar, selalu menjadi permasalahan.

Penyerangan oleh Inggris, Prancis, dan Rusia pada 1860, disusul dengan pendudukan Peking, memaksa Dewan Istana Cina bergerak menuju pengasingan di Jehol, di luar Tembok Besar. Di sana, berita memalukan tentang prasyarat berat untuk perdamaian membawa akibat semakin memburuknya kesehatan Kaisar. Dengan wafatnya Hsien Feng, muncul kudeta dalam Istana, yang berhasil dipadamkan dengan bantuan Anggrek beserta saudara iparnya, Pangeran Kung, dan jenderal Yung Lu. Si tampan Yung Lu menyalakan kembali percik asmara pada diri Anggrek yang saat itu masih sangat muda. Namun dengan kedudukan barunya, hanya terdapat sedikit kesempatan bagi Anggrek untuk memiliki kehidupan pribadi. Sebagai Wali—bersama Permaisuri Nuharoo—hingga anaknya mencapai usia matang, Permaisuri Anggrek mengawali masa kekuasaannya yang panjang dan penuh kegentingan, yang akan berlanjut hingga abad berikutnya.



1



MATA IBU TERTUTUP saat meninggalnya. Namun sejenak kemudian, dia membuka dan tetap seperti itu.

"Yang Mulia, tolong pegang kedua kelopak matanya dan usahakan sebisa mungkin untuk menutupnya," suruh Tabib Sun Paotien.

Jemariku bergetar saat berusaha melakukannya.

Saudariku, Rong, mengatakan bahwa Ibu bermaksud menutup matanya. Ibu telah menanti kedatanganku terlalu lama. Ibu tidak ingin mengganggu jalannya audiensiku.

"Usahakan tidak membebani orang lain," adalah filosofi Ibu. Dia pasti akan teramat kecewa jika mengetahui dirinya membutuhkan bantuan orang lain untuk mengatupkan kedua matanya sendiri. Aku berharap bisa mengabaikan larangan Nuharoo dan membawa anakku serta untuk menyampaikan salam perpisahan pada Ibuku. "Mestinya kenyataan Tung Chih merupakan Kaisar Cina tidak jadi masalah," aku seharusnya membantahnya. "Toh, dia adalah cucu ibuku sebelum menjadi Kaisar."

Aku beralih pada abangku, Kuei Hsiang, dan bertanya apakah Ibu meninggalkan suatu pesan untukku.

“Ya.” Kuei Hsiang mengangguk, seraya mundur untuk berdiri di sisi pembaringan lbu. “Semua baikbaik saja.”

Air mataku menggenang'.

“Upacara pemakaman seperti apa yang ingin kauadakan untuk Ibu?” tanya Rong.

“Aku tak bisa berpikir saat ini,” jawabku. “Kita akan diskusikan nanti.”

“Tidak, Anggrek,” protes Rong. “Akan sangat mustahil untuk menjangkaumu begitu kau angkat kaki dari tempat ini. Aku ingin tahu apa niatanmu. Ibu berhak mendapatkan penghormatan yang sama seperti yang diberikan pada Ibu Suri Jin.”

“Aku berharap bisa dengan mudah menjawab ya, tetapi tak mungkin. Rong, jutaan pasang mata menatap kita. Kita harus memberikan contoh.”

“Anggrek,” Rong membentak, “kau adalah penguasa Cina!”

“Rong, tolonglah. Aku yakin Ibu pasti mengerti.”

“Tidak, dia tak akan mengerti karena aku tidak bisa mengerti. Kau adalah anak yang jahat, egois, dan tak berperasaan!”

“Maafkan aku,“ Tabib Sun Paotien menyela. “Yang Mulia, bisakah aku meminta perhatian Anda untuk berkonsentrasi pada jarijari Anda? Mata Ibu Anda akan terus membuka jika Anda berhenti menekan.”

“Baik, Tabib.”

“Lebih kuat, dan terus tahan,” instruksi Tabib. “Sekarang tekan. Sudah hampir selesai. Jangan bergerak.”

Saudariku membantu menahan lenganku.

Wajah Ibu sekarang tampak tenang dan begitu jauh.

“Ini Anggrek, Bu,” bisikku sambil menangis.

Aku tidak bisa percaya dia sudah meninggal, jemariku mengelus kulit lembutnya yang masih terasa hangat. Aku rindu menyentuhnya. Semenjak aku memasuki Kota Terlarang, lbu diharuskan berlutut saat menyapaku tiap kali datang berkunjung. Dia memaksa untuk mematuhi tata cara yang ada. “Itu adalah penghormatan yang pantas kauterima selaku Permaisuri Cina,” ujarnya.

Kami jarang sekali memiliki waktu berdua. Para kasim dan dayang terusterusan mengelilingiku. Aku ragu Ibu bisa mendengarku dari tempat duduknya, sepuluh kaki jauhnya dari tempatku. Namun, tampaknya itu tidak mengganggunya. Dia berpurapura dapat mendengarkan. Dia akan menjawab pertanyaanpertanyaan yang belum kuutarakan.

“Perlahanlahan, lepaskan dari kelopak matanya,” ucap Tabib Sun Paotien.

Kedua mata Ibu tetap terpejam. Kerutan di wajahnya tampak menghilang dan air mukanya terlihat tenang.

Aku adalah gunung yang tertinggal di belakang. Suara Ibu kembali terngiang di telingaku:


Bagai sungai yang menyanyi

Begitulah engkau keluar, mengalir lepas

Bahagiaku menyaksikanmu pergi

Kenangan tentang kita

Begitu penuh dan indah.



Aku harus tegar demi anakku. Meski Tung Chih, yang saat itu berusia tujuh tahun, telah jadi Kaisar selama dua tahun sejak naik takhta pada 1861, rezimnya sangat kacau. Kekuatan asing terus merambah Cina, terutama di bandar-bandar pelabuhan; di wilayah sendiri, pemberontakan petani yang disebut Taiping telah menyebar di daerah pedalaman dan telah menguasai provinsi demi provinsi. Aku berusaha keras mencari cara untuk mendidik Tung Chih sebaik mungkin. Namun, dia tampak sangat terpukul oleh kepergian ayahnya secara mendadak. Aku hanya bisa berharap dapat membesarkannya sebagaimana kedua orangtuaku tdah membesarkanku.

“Aku adalah wanita yang beruntung,” Ibu sering kali berujar. Aku memercayainya saat dia mengatakan bahwa tak ada sedikit pun penyesalan dalam hidupnya. Dia telah meraih impiannya: kedua putrinya menikahi keluarga Kerajaan dan putranya menjabat sebagai salah seorang menteri Kerajaan berpangkat tinggi. “Kita semua hanyalah jembel pada 1852 lalu,” Ibu sering kali mengingatkan anakanaknya. “Aku tak akan pernah melupakan petang hari itu di Kanal Besar, ketika para penandu menelantarkan peti mati Ayah kalian.”

Panas teriknya hari itu dan bau busuk yang menyebar dari mayat ayahku juga terus menghantuiku. Raut muka Ibu saat dengan terpaksa menjual perhiasan terakhirnya, jepit rambut giok yang merupakan hadiah pernikahan dari Ayah, adalah raut tersedih yang pernah kulihat.

Sebagai istri pertama Kaisar Hsien Feng, Permaisuri Nuharoo menghadiri penguburan ibuku. Aku berjalan di belakangnya, berhatihati untuk tak menginjak ekor jubahnya yang panjang. Nyanyian para biksu Tibet, juga para pendeta Tao dan Buddha, mengikuti kami. Sambil beriringan memasuki Kota Terlarang, kami terusmenerus berhenti untuk melakukan ritual demi ritual saat melewati gerbanggerbang dan temboktembok.

Berdiri di samping Nuharoo, aku kagum pada hubungan kami yang akhirnya terjalin cukup harmonis. Perbedaan di antara kami sudah amat jelas, semenjak kali pertamanya kami memasuki Kota Terlarang sebagai gadis muda. Dia—begitu anggun, percaya diri, dan dari keturunan ningrat—telah terpilih sebagai Istri Pertama Kaisar, sang Maharani; aku sendiri—dari keluarga baik-baik tetapi hanya itu, dari bangsa sendiri tetapi tak jelas—menjadi selir dari tingkat keempat. Perbedaan antara kami tumbuh jadi konflik saat aku menemukan jalan memasuki hati Kaisar Hsien Feng dan melahirkan putraku, satu-satunya keturunan lakilaki dan pewaris takhta. Kenaikan peringkatku hanya semakin memperburuk masalah. Namun, di balik kekacauan penyerbuan bangsa asing, mangkatnya suami kami pada masa pengasingan di tanah perburuan lama di Jehol, dan krisis kudeta, kami dipaksa menemukan jalan untuk menjalin kerja sama.

Bertahuntahun kemudian semenjak itu semua, hubunganku dengan Nuharoo sangat sesuai dengan ungkapan, “Air di sumur tak akan mengganggu air di sungai.” Untuk bertahan, amatlah penting bagi kami berdua untuk saling menjaga satu sama lain. Terkadang hal ini tampak sangat mustahil, terutama mengingat Tung Chih. Status Nuharoo sebagai istri pertama memberikan wewenang baginya untuk menentukan cara asuhan dan pendidikannya, hal yang sangat menyayat hatiku. Perselisihan kami tentang cara terbaik membesarkan Tung Chih memang berakhir sejak dia menaiki takhta, tetapi kegetiran hatiku menyaksikan betapa anak itu sangat tak matang terus berlanjut menjadi duri bagi hubungan kami berdua.

Nuharoo mencari ketenangan dengan menjadi penganut Buddha taat, sementara ketidaktenanganku terus mengikutiku seperti bayangan. Jiwaku selalu mendantarkan kemauanku. Aku membaca buku kiriman Nuharoo untukku, Adab yang Pantas bagi Janda Kekaisaran, tetapi buku itu sama sekali tak bisa menenangkan batinku. Bagaimanapun, aku berasal dari Wuhu, “danau yang ditumbuhi rumput lebat” ' Aku tidak bisa menjadi sosok orang lain, meski seumur hidup aku berusaha.

“Bdajarlah menjadi Jenis kayu yang lembut, Anggrek,”

Ibu mengajariku saat aku masih kecil. “Bongkahan yang lembut akan diukir menjadi patungpatung Buddha dan dewadewi. Bongkahan yang keras akan dijadikan papan peti mati.”


Aku memiliki meja gambar di ruanganku, dengan tinta, cat campuran baru, kuas, dan kertas nasi. Tiap kali usai audiensi, aku datang ke sini untuk bekerja.

Lukisanlukisanku adalah untuk anakku—semua dijadikan sebagai hadiah atas namanya. Lukisan ini berperan sebagai duta bangsa dan bicara atas nama Kaisar setiap kali situasi jadi begitu memalukan. Cina dipaksa untuk mengemisngemis agar tenggat pembayaran atas biaya disebut sebagai kompensasi perang yang dipaksakan pada kami oleh kekuatan asing, diperpanjang.

Lukisanlukisan ini juga membantu meringankan penolakan terhadap kebijakan pajak tanah anakku. Para gubernur dari berbagai wilayah sudah mengirimkan pesan bahwa rakyat mereka amat miskin dan tak sanggup lagi membayarnya.

“Gudang penyimpanan mata uang tael sudah lama kosong,“ keluhku dalam dekrit yang dikeluarkan atas nama anakku. “Pajak yang telah kita kumpulkan sudah dikuras oleh kekuatan asing agar armada mereka tidak memasuki perairan kita, “

Saudara iparku, Pangeran Kung, mengeluhkan bahwa Biro Urusan Luar Negeri sudah kehabisan ruang untuk menyimpan suratsurat tagihan dari para penagih utang. “Kapalkapal armada asing sudah berkalikali mengancam untuk memasuki perairan kita,” dia memperingatkan.

Adalah ide kasimku, Antehai, untuk menggunakan lukisanlukisanku sebagai hadiah untuk menangguhkan waktu, menghemat uang, dan meminta pemahaman.

Antehai sudah melayaniku sejak hari pertamaku di Kota Terlarang, ketika sebagai bocah lakilaki usia tiga belas tahun, dengan sembunyisembunyi dia membawakanku minuman untuk tenggorokanku yang kering. Itu merupakan tindakan berani, dan semenjak saat itu, dia mendapatkan kesetiaan dan kepercayaanku.

Idenya akan lukisanlukisan ini sangat cerdas, dan aku tak dapat melukis lebih cepat lagi.

Kukirimkan satu lukisan sebagai hadiah ulang tahun untuk Jenderal Tseng Kuofan, panglima perang terhebat di Cina, yang mendominasi kekuatan militer negara. Aku ingin agar Jenderal tahu bahwa aku menghargainya, meski barubaru ini aku menurunkan pangkatnya atas nama anakku, di bawah tekanan golongan konservatif Istana yang proManchu, yang menyebut diri mereka TopiBesi. Topi Besi tak dapat menerima kenyataan bahwa bangsa Cina Han, melalui perjuangan keras mereka, telah mulai menduduki puncakpuncak kekuasaan. Aku ingin Jenderal Tseng tahu bahwa aku tak memiliki niat buruk padanya, dan bahwa aku menyadari bahwa aku sudah bertindak tak adil terhadapnya. “Putraku Tung Chih tidak dapat memimpin tanpamu,” adalah pesan yang dikirimkan lukisanku. Aku selalu berpikir apa yang menahan Jenderal Tseng Kuofan dari mengobarkan pemberontakan. Kudeta tentu tak akan sulit—dia memiliki uang dan bala tentara. Aku selalu berpikir bahwa ini semua hanyalah masalah waktu saja. “Sudah cukup semua,” aku bisa bayangkan Tseng akan berkata satu hari, dan putraku akan kehabisan peruntungannya.

Kutandatangani namaku dalam tulisan kaligrafi indah. Di atasnya kutandai dengan stempel pribadiku bertinta merah. Aku punya berbagai stempel batu dari berbagai jenis ukuran dan bentuk. Selain stempel khusus yang diberikan padaku oleh suamiku, stempel lainnya menunjukkan gdarku: “Maharani Cina”. “Ibu Suri Kebaikan Hati yang Suci”, “Permaisuri Istana Barat” “Permaisuri Tzu Hsi” adalah yang paling sering kugunakan. Stempelstempel ini bernilai tinggi bagi para kolektor. Untuk menjadikan hasil pekerjaan seninya lebih mudah terjual di kemudian hari, akan kutinggalkan namaku, kecuali jika diminta sebaliknya.

Kemarin Antehai melaporkan bahwa nilainilai lukisanku naik. Berita ini membuatku sedikit gembira. Meski begitu, aku lebih senang menghabiskan waktu bersama Tung Chih daripada merasa terpaksa melukis.

Setiap orang yang melihat lukisanku dapat melihat kekurangannya. Sapuan kuasku menunjukkan keamatiran, atau kurangnya bakat. Penguasaan tintaku menunjukkan bahwa aku hanya pemula. Sifat dari lukisan kertas nasi tidak mengizinkan adanya kesalahan, yang berarti aku harus menghabiskan waktu berjamjam untuk satu lukisan, bekerja hingga larut malam, dan satu saja sapuan salah akan merusak semuanya. Setelah berbulanbulan bekerja sendiri, aku akhirnya mempekerjakan guru seni yang tugasnya adalah menutupi kekuranganku.

Pemandangan alam dan bungabunga adalah objek lukisku. Aku juga melukis burungburung, biasanya berpasangan. Aku akan menempatkannya di tengahtengah lukisan. Burungburung itu akan bertengger di dahan yang sama atau beda, seolah sedang mengobrol. Dalam komposisi tegak, satu burung akan bertengger di pucuk dahan dan menatap ke bawah, dan burung lainnya akan bertengger di dahan bawah mendongak ke atas.

Aku menghabiskan banyak waktu mengerjai bulu-bulunya. Merah jambu, oranye, dan hijau limun adalah warnawarna bulu burung kesukaanku. Warnawarna itu memberi kesan hangat dan ceria. Antehai menyarankan agar aku melukis bungabunga peoni, teratai, dan krisan.

Dia bilang aku sangat pandai melukis bungabunga seperti itu. Tetapi aku tahu maksudnya adalah lukisanlukisan macam itu lebih mudah dijual.

Trik yang kupelajari dari guru seniku adalah bahwa stempel bisa digunakan untuk menutupi kekurangan yang ada. Karena aku punya kekurangan hampir di semua tempat, aku membubuhi cap stempel hampir di mana-mana untuk tiap lukisan. Saat aku merasa tak puas dan ingin memulai semuanya dari awal, Antehai mengingatkanku bahwa jumlah yang dihasilkan mestinya menjadi target utamaku. Dia membantu membuat capcap stempel itu jadi lebih menarik. Saat aku merasa sudah tak dapat menyelamatkan hasil karyaku, guru seniku akan mengambil alih.

Guruku biasanya menghabiskan waktu memperbaiki latar belakangnya. Dia akan tambahkan dedaunan dan rantingranting untuk menutupi bagian yang buruk dan akan menambahkan aksen ke gambar burung dan bungaku. Orang akan berpikir bahwa sapuan lukis guruku yang mengagumkan akan menjadikan karyaku tampak sungguh memalukan, tetapi dia menerapkan keterampilannya hanya untuk “menyelaraskan musiknya” Kemahiran seninya menyelamatkan karya lukisku yang terburuk. Sungguh mengesankan melihatnya berusaha keras menyamai sapuan-sapuan amatirku.


Pikiranku sering kali berkelana pada putraku saat aku tengah melukis. Pada malam hari, jadi sulit memusatkan pikiran. Aku akan membayangkan wajah Tung Chih selagi dia tertidur di ranjangnya dan memikirkan apa yang dia impikan. Saat aku tak lagi bisa menahan diri untuk menghabiskan waktu bersamanya, aku akan taruh kuasku dan berlari ke istana Tung Chih, empat pekarangan jauhnya dari tempatku. Tak sabar menanti Antehai menyalakan lampion, aku akan berlari dalam kegelapan, menabrak dan membentur tembok serta gerbang lengkung sampai tiba di sisi tempat tidur putraku. Di samping putraku yang tertidur, aku akan memeriksa napasnya dan membelaibelai kepalanya dengan jemari tanganku yang ternoda bekas tinta. Saat salah seorang pelayan menyalakan lilin, aku meraih satu dan membawanya dekat ke wajah anakku.

Mataku akan menelusuri kening indahnya, kelopak matanya, hidung, dan bibirnya. Aku akan membungkuk dan mengecupnya. Mataku akan basah saat kulihat kemiripannya dengan ayahnya. Aku akan teringat ketika Kaisar Hsien Feng dan aku sedang jatuh cinta. Kenangan kesukaanku adalah saat aku terus menggodanya dengan memaksakan dirinya mengingat namaku. Aku tak akan meninggalkan Tung Chih, hingga Antehai menemukanku. Rombongan panjang kasim akan mengekor di belakangnya, tiap mereka menjinjing lampion merah besar.

“Guruku bisa melukis untukku,” aku akan berucap pada Antehai. “Tidak akan ada yang tahu bahwa aku tidak membubuhi stempel itu sendiri.“

“Tetapi kau akan tahu, Yang Mulia,” kasim itu akan menjawab lembut, kemudian dia akan mengantarku balik ke istanaku.




2



BUKANNYA MEMBACAKAN BUKU untuk Tung Chih di bawah naungan teduh pekaranganku, aku malah menandatangani dekrit mengumumkan penjatuhan hukuman mati bagi dua tokoh penting. Saat itu 31 Agustus 1863. Aku sangat menyesali momen itu karena aku tak dapat menyingkirkan dari pikiranku akan arti tanda tanganku itu terhadap kduarga mereka.

Terhukum pertama adalah Ho Kuiching, Gubernur Provinsi Chekiang. Ho adalah teman lama suamiku. Kali pertama aku bertemu dengannya saat dia masih pemuda belia. Dia baru saja menjuarai peringkat pertama ujian pegawai kekaisaran. Aku menghadiri upacara itu bersama suamiku, yang menganugerahinya dengan gelar Jinshih, Pemuda dengan Prestasi Agung.

Dalam ingatanku, Ho adalah pemuda yang rendah hati. Dia memiliki mata yang menjorok ke dalam dan gigi tonggos. Suamiku sangat terkesan dengan wawasan filsafat dan sejarahnya yang luas, dan dia mengangkat Ho sebagai Wali Kota dari Kota Selatan yang penting di Hangchow, dan beberapa tahun kemudian, sebagai Gubernur Chekiang. Saat dia berusia lima puluh, dia menjadi Gubernur Senior yang menanggungjawabi seluruh provinsi Selatan Cina. Ho juga dianugerahi kekuasaan militer. Dia adalah Pemegang Komando Tertinggi Kerajaan di Selatan Cina.

Catatan Ho menunjukkan bahwa dia dituntut karena mengabaikan tugasnya, mengakibatkan hilangnya beberapa provinsi selama pemberontakan Taiping terus berlanjut. Dia telah memerintahkan kepada anak buahnya untuk menembaki penduduk setempat saat berusaha meloloskan diri. Aku menolak permintaannya untuk mempertimbangkanulang kasusnya. Dia tampak tak menunjukkan rasa bersalah atau penyesalannya atas kematian dan penderitaan ribuan keluarga yang ditelantarinya.

Ho dan kawankawannya di Dewan Istana mengabaikan fakta bahwa suamiku sendiri secara pribadi telah menginstruksikan pemenggalan kepalanya sebelum wafatnya. Oposisi kuat yang kutemui di kemudian hari membuatku menyadari kelemahanku. Aku menganggap tuntutan Ho sebagai tantangan langsung terhadap kemampuan putraku sebagai penguasa Cina. Pangeran Kung adalah salah seorang dari sedikit orang yang berdiri di sisiku, meski dia terusmenerus mengingatkanku bahwa aku tak mendapatkan dukungan dari mayoritas Dewan Istana.

Aku tak mengira bahwa ketidaksetujuanku dengan pihak Istana akan berubah menjadi krisis yang mengancam kelangsungan pemerintahan putraku dan diriku sendiri. Aku menyadari bahwa perilaku Ho mencerminkan tindakan para Gubenur dari kebanyakan provinsi. Aku merasa hanya akan mengakibatkan malapetaka tak berkesudahan jika aku gagat menindaklanjuti kasus ini dengan pemberlakuan hukuman.

Selang beberapa minggu, aku menerima petisi yang memintaku mempertimbangkanulang kasus tersebut. Ditandatangani oleh tujuh belas menteri berkedudukan tinggi, para gubernur dan jenderal, petisi itu mengklaim bahwa Ho tak bersalah dan memohon Paduka Tung Chih Yang Mulia untuk membatalkan dakwaan.

Aku meminta Pangeran Kung untuk membantuku menyelidiki latar belakang setiap penandatangan petisi. Informasi yang segera dibawakan oleh Pangeran Kung menunjukkan bahwa tanpa terkecuali, semua penandatangan petisi merupakan orangorang yang dipromosikan secara pribadi atau direkomendasikan menduduki jabatannya oleh Gubernur Ho sendiri.

Tarikulur perdebatan terus berlangsung selagi aku dan Tung Chih menghadiri audiensi. Anakku kelelahan, dan dia bergerakgerak gelisah di kursi singgasana besarnya. Aku duduk di belakangnya, agak ke kiri, dan harus terus mengingatkan dirinya untuk duduk tegak. Untuk mempertahankan agar Tung Chih melakukan kontak mata dengan lebih dari seratus menteri di lantai depan dirinya, kursi singgasananya ditempatkan di atas panggung. Dia dapat menatap semua orang, dan sebaliknya, dirinya dapat dilihat oleh setiap orang. Menjaga citra sebagai Putra Surga sesuai dengan yang diharapkan para pengikutnya bukanlah hal mudah. Aku berusaha memperecpat proses audiensi agar anakku dapat keluar dan bermain. Hal ini adalah siksaan bagi bocah tujuh tahun, meskipun dia adalah Putra Surga.

Pendapat mayoritas menyatakan bahwa kelalaian Ho bukanlah hal besar—itu bukan tanggung jawab sang Gubernur. Menteri Pendapatan di Provinsi Jiangsu bicara sebagai saksi: “Aku meminta Gubernur Ho untuk datang dan membantu menjaga wilayahku. Mestinya dia tak dianggap sebagai pembelot, tetapi justru pahlawan.”

Tung Chih tampak kebingungan dan memohon untuk pergi.

Aku mengizinkan anakku pergi dan melanjutkannya sendiri. Aku tetap teguh pada pendirianku, terutama saat mengetahui bahwa Ho telah berusaha untuk menghancurkan buktibukti yang ada dan mengusik para saksi.

Pangeran Kung mengundurkan diri dari proses pengadilan Ho, setelah berharihari perdebatan tak kunjung usai. Dia mundur dengan mengatakan bahwa dirinya memilih meninggalkan saja masalah ini di tanganku. Aku terus berjuang melawan Dewan Istana yang kini menuntut adanya “penyidik yang lebih tepercaya”.

Aku merasa seolah tengah memainkan satu permainan yang aturannya sendiri tak kumengerti. Dan tak ada waktu untuk mempelajarinya. Atas nama putraku, kupanggil Jenderal Tseng Kuofan, yang kini menjadi pengganti sementara Gubemur Ho. Aku memberitahukannya bahwa aku tengah bersusah payah mencari satu orang yang hanya akan mengungkapkan kejujuran. Aku menugasinya untuk memimpin penyelidikan yang baru.

Kujelaskan pada Tung Chih bahwa aku dan ayahnya selalu memegang kepercayaan besar pada integritas Jenderal Tseng. Sebagai upaya menjaga minat anakku, aku menceritakan padanya kisah pertemuan pertama Tseng dengan Kaisar Hsien Feng, dan bagaimana Panglima Perang itu terkejut saat Kaisar memintanya untuk menjelaskan mengapa dirinya diberi gelar “Tseng sang Pemenggal Kepala”.

Tung Chih senang mendengarkan kisahkisah penyerangan Tseng, dan bertanya apakah Jenderal itu seorang Manchu. “Bukan, dia seorang Cina Han.” Kuambil kesempatan itu untuk menekankan inti pendapatku. “Kaulihat betapa kalangan Istana mendiskriminasikan kaum Han.”

“Selama dia terus berjuang dan memenangkannya untukku,” anakku menanggapi, “aku tak peduli dari mana asal ras dia.”

Aku bangga padanya dan berujar, “Itulah sebabnya kau jadi seorang Kaisar.”

Dewan Istana menerima penunjukanku atas Tseng Kuofan, yang membuatku jadi berpikir bahwa seseorang dari mereka pasti meyakini Tseng orang yang korup. Aku mensyaratkan agar temuan Tseng akan jadi bagian dari catatan publik.

Selang sebulan, Tseng menyampaikan temuannya di depan kehadiran Dewan Istana, yang membuatku puas:


Meskipun tak tersisa dokumendokumen kertas yang bisa didapatkan para penyidikku, oleh karena Wisma Gubernur telah dibakar habis oleh para pemberontak Taiping, fakta tetap menunjukkan bahwa Gubernur Ho Kuiching gagal dalam tugasnya menjaga provinsinya. Pemenggalan kepala bukanlah pemberlakuan hukuman yang tak pantas, mengingat itulah hukum pemerintahan kerajaan. Masalah bahwa benar tidaknya dia telah dibujuk oleh anak buahnya untuk meninggalkan wilayah, menurut pendapatku, tidaklah relevan dalam kasus ini.


Balairung menjadi hening usai Tseng Kuofan mengutarakan pernyataannya. Dan aku tahu aku telah menang.


Aku menyesalkan fakta bahwa akulah yang harus menyampaikan katakata terakhir sebelum eksekusi dijalankan. Aku mungkin bukanlah seorang penganut Buddha sejati seperti Nuharoo, tetapi aku meyakini ajaran Buddha yang menyatakan bahwa “membunuh sama saja mengurangi satu kebajikan dari seseorang”. Satu tindakan sedahsyat itu akan cukup mengacaukan keseimbangan diri seseorang dan mengurangi umurnya. Sayangnya, aku tak mampu menghindari tanggung jawab untuk menjatuhkan hukuman tersebut.

Orang kedua yang harus menjalani proses eksekusi adalah Jenderal Sheng Pao, yang bukan saja salah seorang kawanku, melainkan juga seseorang yang sudah memberikan sumbangsih besar bagi Dinasti. Aku tak bisa tidur memikirkan kasusnya, meski aku tak pernah meragukan tindakan yang akhirnya kuambil.


Pepohonan di luar jenddaku bergoyang kencang teramuk badai yang datang tibatiba, seperti lenganlengan telanjang terangkat ke sana kemari memohon pertolongan. Rantingranting pepohonan yang basah oleh hujan dan terpukul angin kencang akhirnya patah dan jatuh menimpa genteng kuning istanaku. Pohon magnolia besar di pekarangan mulai menguneup lebih awal tahun ini, dan badai ini tentu akan merusaknya, menghancurkannya sebelum sempat mekar.

Saat itu tengah malam, dan Sheng Pao masih berkutat di pikiranku saat aku menatap tetes air hujan memukulmukul kaca jendelaku. Mustahil aku bisa menyiapkan diriku sendiri. Benakku tak bisa membekap suara batinku: Anggrek, tanpa Sheng Pao kau takkan bertahan hidup.

Sheng Pao adalah seorang Pemegang Panji Manchu yang tak kenal takut, prajurit yang penuh keberanian, yang tumbuh besar diimpit kemiskinan dan yang akhirnya berhasil menemukan jalannya sendiri menuju kesuksesan. Dia telah menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Kerajaan di Utara selama bertahuntahun, dan memiliki pengaruh yang sangat besar di Istana. Dia ditakuti oleh musuhmusuhnya, hingga namanya saja bisa membuat pemberontak Taiping gemetar ketakutan. Sang Jenderal sangat menyayangi pasukannya dan membenci peperangan karena dia tahu kerugiannya. Dengan memilih bernegosiasi dengan para pemimpin pemberontakan, dia telah berhasil mengambil kembali berbagai provinsi tanpa harus mengerahkan kekuatan bersenjata.

Sheng Pao memihakku dalam tindakanku menentang mantan Penasihat Agung Su Shun pada 1861. Kudeta yang dilancarkan setelah kematian suamiku merupakan momen yang sangat penting bagiku, dan Sheng Pao adalah satu-satunya orang dari kekuatan militer yang datang membantuku.

Masalah yang muncul dari Sheng Pao tiba setelah kembalinya kami dari Jehol, tanah perburuan Kerajaan, menuju Peking dengan mayat suamiku, Kaisar Hsien Feng. Sebagai penghargaan atas jasanya, aku telah menaikkan jabatan sang Jenderal, menganugerahinya kekuasaan dan kekayaan yang tak tertandingi. Akan tetapi, tak lama semenjak itu, keluhan mengenai penyalahgunaan kekuasaan oleh Sheng Pao datang dari berbagai pelosok negeri. Awalnya, suratsurat keluhan yang tiba dialamatkan pada Biro Peperangan. Namun, tak ada satu orang pun yang berani menantang Sheng Pao secara pribadi.

Pangeran Kung mengabaikan keluhankeluhan yang datang, dan berharap Sheng Pao akan mengendalikan dirinya sendiri. Itu harapan yang percuma. Bahkan, dia menyarankan agar aku juga berpurapura tak tahu akan kasus ini, mengingat jasajasa Sheng Pao yang demikian besar.

Aku berusaha keras untuk menahan diri, tetapi akhirnya kasus ini sampai pada titik yang wewenang putraku sebagai pemimpin dipertanyakan. Aku pergi menemui Pangeran Kung dan memintanya untuk menuntut keadilan pada Sheng Pao.

Para penyidik Pangeran Kung menemukan fakta bahwa sang Jenderal telah melambungkan angkaangka kerugian untuk memperoleh kompensasi berlebih. Dia juga memalsukan beritaberita kemenangan untuk memperoleh promosi jabatan bagi para perwiranya. Sheng Pao menuntut agar Dewan Istana mengabulkan semua permohonannya. Menaikkan pajak lokal demi kepentingan pribadi sudah menjadi kebiasaannya. Dan sudah diketahui umum bahwa dia suka menghabiskan waktunya bermabuk-mabukan dan bersenangsenang dengan para pelacur.

Beberapa gubernur lain sudah mulai mengikuti jejak yang dicontohkan Sheng Pao. Sebagian dari mereka mulai berhenti membayar pajak kerajaan. Para tentara disuruh mengabdikan diri mereka pada Gubernur setempat daripada Kaisar Tung Chih. Slogan cibiran telah menjadi populer di jalanjalan Kota Peking: “Kaisar Cina sesungguhnya bukanlah Tung Chih, melainkan Sheng Pao.”

Kemewahan acara pernikahan Sheng Pao menjadi buah bibir terkini dan kenyataan bahwa pengantinnya adalah mantan istri dari pemimpin pemberontakan Taiping terkenal.


Tak lama setelah fajar, matahari muncul dari balik awan, tetapi hujan belum juga reda. Kabut timbul di pekarangan, merayapi pepohonan layaknya asap putih.

Aku sedang duduk di kursiku, sudah berpakaian lengkap, ketika kasimku Antehai masuk, dan dengan nada riang, dia mengumumkan, “Tuan Putri, Yung Lu hadir.”

Napasku tertahan saat melihatnya.

Tampak tinggi dan kuat dalam balutan seragam Pemegang Panjinya, Yung Lu memasuki ruangan.

Aku berusaha bangkit untuk menyambutnya, tetapi kedua tungkaiku terasa lemah. Maka aku memilih tetap duduk.  Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ  http://kangzusi.com/

Antehai muncul di antara kami dengan membawa matras beledu warna kuning. PeIanpelan, dia meletakkan matras itu beberapa meter jauhnya dari bangkuku. Ini adalah bagian dari ritual yang harus dilakukan bagi siapa pun yang datang menhadap Janda Kekaisaran pada tahun kedua setelah masa berkabungnya. Etika ini terasa janggal, mengingat Yung Lu dan aku telah bertemu muka sering kali di berbagai audiensi yang diadakan, meski pada saat itu pun kami dipaksa bersikap layaknya orang asing. Maksud dari ritual ini adalah untuk mengingatkan kami akan jarak yang terbentang antara kaum lelaki Kerajaan dan wanitanya.

Saat ini, para kasim, pelayan, dan dayangku berdiri memunggungi tembok dengan lengan terlipat di dada. Mereka semua menatap Antehai selagi dia mempertunjukkan keahliannya. Selama bertahuntahun, dia telah menjadi seorang maestro ilusi. Dengan Yung Lu dan diriku sebagai aktornya, dia mempertontonkan pengalih sandiwara yang begitu cerdas.

Yung Lu menjatuhkan dirinya ke atas matras dan menempelkan keningnya perlahan ke permukaan lantai dan memohonkan keselamatan untukku.

Aku berucap, “Bangkitlah.“

Saat Yung Lu berdiri, Antehai perlahanlahan menarik matras itu, mengumpulkan semua perhatian pada dirinya selagi Yung Lu dan aku bertukar pandang.

Teh disajikan saat kami berdua duduk layaknya dua jambangan. Kami mulai berbincang mengenai akibat dari eksekusi Gubernur Ho, dan bertukar pikiran akan penundaan kasus Sheng Pao. Yung Lu meyakinkan diriku bahwa keputusan yang kuambil sudah tepat.

Pikiranku terbang selagi duduk di samping kekasihku. Aku tak bisa melupakan peristiwa yang terjadi empat tahun sebelumnya, saat kami berbagi satusatunya pengalaman berdua kami di dalam makam Kaisar Hsien Feng. Aku ingin sekali mengetahui apakah Yung Lu mengingat kejadian itu sejelas ingatan dalam benakku. Aku tak bisa menemukan jawabannya dalam sorot matanya. Beberapa hari sebelumnya, saat dia sedang duduk di tengah audiensi dan menatap tepat di kedua mataku, aku mempertanyakan apakah pernah ada hasrat cinta di antara kami berdua. Sebagai janda dari Kaisar Hsien Feng, aku sudah tak punya masa depan dengan lelaki mana pun. Namun, hatiku menolak untuk menetap dalam makamnya.

Jabatan Yung Lu sebagai Pemimpin Pemegang Panji terus menuntutnya untuk pergi jauh dari ibu kota. Dengan atau tanpa pasukannya, dia berpindahpindah ke mana pun dibutuhkan, memastikan bala tentara Cina memenuhi tugasnya terhadap Kekaisaran. Sebagai lelaki yang penuh tindakan, itu adalah kehidupan yang paling sesuai bagi dirinya; dia adalah tentara yang lebih menyenangi ditemani oleh rekan sesama tentaranya ketimbang kehadiran para menteri Istana.

Kepergian Yung Lu yang sering, membuat kerinduanku lebih mudah untuk dijalani. Hanya saat kepulangannya sajalah aku akan kembali menyadari dalamnya perasaan cintaku padanya. Dengan tibatiba, dia akan hadir di hadapanku, melaporkan masalahmasalah genting yang dihadapi atau menawarkan nasihat pada saatsaat kritis. Dia mungkin akan tinggal di ibu kota selama beberapa minggu atau bulan, dan selama waktu itu akan menghadiri audiensiaudiensi yang diadakan dengan patuh. Hanya pada saatsaat itulah aku benarbenar bersemangat menjalani audiensi harianku.

Di luar audiensi, Yung Lu menghindariku. Itu adalah caranya untuk melindungiku dari gunjingan dan gosip. Kapan saja aku memintanya untuk bertemu muka denganku secara. pribadi, dia akan menolaknya. Namun, aku tetap saja mengirimkan Antehai. Aku ingin Yung Lu mengetahui bahwa kasim bisa saja mengantarkannya melalui pintu belakang balairung menuju ruanganku.


Meski Yung Lu telah meyakinkanku akan ketepatan keputusanku terkait masalah Sheng Pao, aku tetap saja khawatir. Memang benar, buktibukti yang ada memberatkan dirinya, tetapi sang Jenderal memiliki banyak sekutu di Istana, dan salah seorang di antaranya adalah Pangeran Kung, yang kusadari tengah menjaga jarak. Ketika Sheng Pao akhirnya digiring ke Peking, saudara iparku tibatiba muncul kembali di hadapanku, menyarankan agar Sheng Pao dikirimkan ke tempat pengasingan ketimbang dieksekusi mati. Aku kembali mengingatkan Kung bahwa perintah asli agar Sheng Pao dieksekusi dikeluarkan oleh Kaisar Hsien Feng sendiri. Pangeran Kung bergeming. Dia menganggap keteguhanku sebagai bentuk pernyataan perang.

Aku merasa lemah dan takut saat petisi untuk membebaskan Sheng Pao tiba dari ujung belahan Cina. Untuk kesekian kalinya, Yung Lu datang untuk menguatkanku dan menyokong pendirianku. Dia memberiku keberanian dan ketenangan untuk berpikir jernih. Hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa Yung Lu memiliki alasannya sendiri untuk melihat Sheng Pao menuju kematiannya: Yung Lu merasa terpukul ketika Sheng Pao membantai para prajurit yang terluka. Bagi Yung Lu, itu merupakan masalah prinsip.

Strategiku sungguh sederhana: Aku meyakinkan anak buah Sheng Pao bahwa aku takkan memenggal kepala Sheng Pao jika mayoritas dari mereka yakin bahwa dirinya pantas hidup. Aku juga mengubah peraturan agar orangorang dari klan yang sama dengan Sheng Pao tidak akan menerima hukuman yang sama dengan pemimpin mereka. Merasa jera, mereka kini dapat memilih berdasar hati nurani mereka sendiri, dan dengan jujur, mereka menyatakan menginginkan kematian Sheng Pao.

Sheng Pao digiring menuju Balairung Hukuman, di mana dia diantar menuju kematiannya secara cepat. Rasa haru dan kegagalan menyapu diriku. Selama berharihari aku mengalami mimpi yang sama: Ayahku berdiri di atas sebuah kursi di ujung lorong gelap dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi. Berbalut piama katun abuabunya, dia mencoba memasang paku ke tembok. Dia tampak sangat kurus, kulitnya menggantung dari tulangnya. Kursi tempatnya berdiri bergoyang, dan satu dari kaki bangkunya hilang. Aku memanggilnya dan dia menoleh, tampak angkuh. Tangan kirinya berusaha menjangkauku, dan dia membuka telapak tangannya. Genggamannya penuh dengan paku karatan.

Aku tak berani menafsirkan mimpiku karena dalam mitologi Cina, paku karatan menyimbolkan keputusasaan dan penyesalan.


Aku tak mampu mewujudkan tindakanku, tanpa dukungan dari Yung Lu. Perasaanku padanya tumbuh semakin dalam, tetapi kisah cinta kami secara fisik hanya akan terwujud dalam alam mimpi. Setiap harinya, aku merasakan kekosongan sosok pria dalam hidupku. Namun, aku lebih mengkhawatirkan hal ini terhadap perkembangan putraku. Hampir sepuluh tahun sebelumnya, aku telah kehilangan seorang suami, tetapi anakku telah kehilangan seorang Ayah. Dalam benakku, itu menjadi tragedi dua kali lipat untuknya. Itu artinya Tung Chih harus segera bertanggung jawab penuh dari posisinya, dan secara langsung kehilangan masa kanakkanaknya. Harihari keriangan masa kecil tanpa adanya beban kekhawatiran tak akan pernah dirasakannya. Kini, meskipun masih kecil, aku sudah dapat menangkap kegelisahan dari dirinya, yang terkadang akan meledak dalam amarahnya yang tak terkendali.

Tung Chih memerlukan sosok lelaki untuk membimbingnya. Itu adalah bagian kedua dari tragedi ini. Dia tidak saja diburu untuk segera mengemban peran yang amat berat sebelum waktunya, tetapi dia juga tidak memiliki satu sosok pun yang bisa dijadikan panutan bagi pembentukan karakter dan perilakunya. Di dalam istana yang dipenuhi oleh ketegangan politik hanya ada sedikit figur Ayah yang tidak menyimpan agenda tersendiri dalam diri mereka.

Yung Lu dan Pangeran Kung adalah dua lelaki yang kuharapkan bisa mengisi peran ini. Namun, konflik tentang Sheng Pao telah membuatnya jadi sulit. Yung Lu tengah menikmati popularitas yang begitu besar, sebelum dia memutuskan untuk berada di pihakku. Kini, pengaruh dirinya dipertanyakan. Dan kini aku mulai merasakan betapa marahnya Pangeran Kung padaku atas tindakanku mengakhiri hidup dari sekutu lamanya.




3



MESKI PERTIKAIAN dengan Gubernur Ho Kuiching dan Jenderal Sheng Pao sudah dapat kuperkirakan, tak pernah terlintas dalam benak ku suatu saat akan berselisih dengan saudara iparku sendiri, Pangeran Kung. Sejarah kami berdua sudah terjalin demikian lama, hingga kekusutan dalam hubungan kami bukanlah sesuatu yang kuduga. Semenjak krisis yang membuntuti wafatnya suamiku di Jehol, kami telah menjadi sekutu yang penting bagi satu sama lain, bahkan sekutu yang mutlak ada. Kung tetap bertahan di garis belakang Peking selagi Dewan Istana pergi menghindari penyerbuan tentara pihak asing dan mempunyai tugas berat untuk bernegosiasi dengan penyerbu asing. Ketika Penasihat Agung Su Shun berniat merebut kekuasaan dari istana pengasingan di luar Tembok Besar, Kung masih berada di Kota Peking dan dengan leluasa mengatur skema untuk melawan kudeta. Tak ada yang dapat menandingi jasa hebatnya saat menyelamatkan Nuharoo, diriku sendiri, dan Tung Chih muda.

Dan kami pun berteman—atau setidaknya, aku memiliki kepedulian besar padanya dan yakin aku memahami motivasinya. Dia memiliki bakat luar biasa dan, seperti yang selama ini selalu kupikirkan, lebih cakap dari saudaranya yang terpilih menduduki singgasana. Lebih berkepala dingin dan lebih disiplin dibanding Hsien Feng, Pangeran Kung bisa tampak amat dingin, tetapi setidaknya dia tidak membiarkan kebencian menguasai dirinya. Untuk sikapnya ini, aku menaruh hormat padanya, begitu pula dengan kalangan Istana. Aku selalu merasa bahwa dia selalu mendahulukan kepentingan Cina di atas tujuan pribadi.

Walaupun demikian, saat ini adalah masa yang sulit. Konflik mengelilingi kami, datang dari dalam maupun luar, dan ketegangan yang ada berarah pada terciptanya atmosfer beracun yang memicu pertikaian sengit antargolongan di Istana.

Sebuah fakta tersingkap perlahan, tetapi akhirnya tampak jelas bahwa Pangeran Kung sering kali mengadakan urusanurusan penting Istana di balik sepengetahuan kami. Hal ini sama persis seperti yang terjadi di Jehol ketika Su Shun memaksakan agar Nuharoo dan diriku tidak perlu repotrepot mengurusi tetekbengek pekerjaan Istana, yang lebih baik diserahkan pada kaum lelaki. Dalam banyak cara, Pangeran Kung menegaskan keinginannya pada Nuharoo dan diriku untuk menjalin hubungan layaknya saudara ipar, bukannya sebagai rekan politik.

“Memang benar bahwa sebagai perempuan, pengetahuan kami akan kekuatan asing mungkin kurang,” bantahku, “tetapi itu bukan berarti bahwa hakhak kami bisa dihapuskan begitu saja.”

Tanpa merasa perlu untuk menghadapi kami, Pangeran Kung tetap saja tak melibatkan kami.

Aku berusaha menarik Nuharoo untuk turut protes bersamaku, tetapi dia tidak berbagi kecemasan yang sama. Dia menyarankan agar aku memaafkan Pangeran Kung dan melupakan saja masalah itu. “Menjaga ketenangan adalah kewajiban keluarga kita,” ucapnya sambil tersenyum.

Tanpa adanya laporanlaporan harian yang dihadirkan untukku, aku tak punya ide sedikit pun akan apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Aku merasa buta dan tuli ketika diminta untuk mengambil keputusan saat audiensi. Pangeran Kung membuat bangsa asing memercayai bahwa Permaisuri Nuharoo dan aku hanyalah pemimpin boneka. Bukannya menujukan proposalproposal mereka kepada Tung Chih, kekuatan asing itu justru mengalamatkannya pada Pangeran Kung.

Tung Chih sudah hampir menginjak usia dua belas, saat situasi dengan Kung makin tak terkendali. Hanya selang beberapa tahun kemudian, dia akan menjalani perannya secara penuh selaku Kaisar—jika masih tersisa peran baginya untuk dijalankan. Pada audiensiaudiensi yang diadakan, dia tak tahu akan konflik yang tengah terjadi, tetapi dia dapat merasakan kegelisahanku. Ketegangan hubungan di antara kami yang kian menguat hanya membuatnya semakin bersemangat untuk menghindar dari tugastugasnya. Sementara Tung Chih duduk sembari mengetukngetukkan kakinya atau menatap kosong ke kejauhan hingga waktu audiensi berakhir, aku hanya dapat menatap para menteri, bangsawan, dan rakyat yang tengah berkumpul di depan dan merasakan bahwa aku telah gagal mendidik anakku.

Aku sadar jika aku tidak berhasil meyakinkan Nuharoo akan kerugiannya sendiri, dia tak akan memberikan dukungannya. Putraku hanya akan menjadi Kaisar sebatas nama, sementara pamannyalah yang akan memegang seluruh kekuasaannya. Alasan mengapa eksekusi Gubernur Ho dan Jenderal Sheng Pao menemui banyak perlawanan, adalah karena keduanya merupakan kawan Pangeran Kung. Karena desakankulah, eksekusi tersebut akhirnya berhasil dijalankan, tetapi kini kusadari betapa mahalnya “utang darah” yang harus kutanggung.

Tanpa persiapan dan sering kali tak tahu apa yang mesti diucapkan, Nuharoo dan aku mengizinkan Pangeran Kung untuk mengadakan audiensi seolaholah kami berdua tidak ada. Ketiadaan rasa hormat sangat terasa, hingga tak lama, Dewan Istana juga merasa bebas untuk mengacuhkan kami secara terangterangan. Yung Lu cemas jika kekuatan tentara akan segera menyusul.

Aku menyadari bahwa aku harus berdiri tegak demi diriku sendiri dan Tung Chih, dan itu harus dilakukan sesegera mungkin. Ketika seorang perwira berpangkat rendah dari kota di Utara mengirimkan surat mengeluhkan Pangeran Kung, aku merasakan bahwa momen itu telah tiba.

Selama dua jam, aku telah menyusun sebuah dekrit mengungkapkan kasus yang memberatkan Pangeran Kung. Kutulis dengan saksama dan hanya mengacu pada fakta-fakta, menghindari sebisa mungkin untuk memasukkan halhal tak penting berkaitan dengan karakter saudara iparku. Kemudian kulakukan satu hal tersulit: kupanggil putraku dan berusaha menjelaskan padanya akan apa yang akan kami lakukan. Wajah Tung Chih tampak kosong dan kedua matanya melotot. Dia terlihat sangat muda, sangat lemah, bahkan di balik jubah sutra megahnya yang berhiaskan simbolsimbol kerajaan. Aku tak bermaksud menakut-nakutinya, dan kesedihan segera melanda jiwaku. Bagaimanapun, aku harus membuatnya paham.

Kemudian, atas nama putraku, kupanggil Pangeran Kung.

Keheningan melanda para hadirin audiensi yang kaget sewaktu Tung Chih membacakan dekrit yang kutulis dan kutaruh dalam genggamannya. Tampaknya kalangan Istana begitu terkejut, hingga tak ada seorang pun yang menantang dakwaan tersebut. Malam sebelumnya, aku telah berhasil membujuk Nuharoo untuk memihakku, meski dia tak hadir saat pembacaan dakwaan. Dalam dekrit, kucantumkan beberapa butir peraturan yang telah Pangeran Kung langgar. Argumentasiku kuat, demikian juga dengan buktibukti yang kupaparkan. Saudara iparku tak memiliki pilihan lain selain mengakui bahwa dia telah melakukan kesalahan.

Aku telah merendahkan Pangeran Kung dengan melucutinya dari semua jabatan dan gelar yang disandangnya.

Malam itu juga aku meminta Yung Lu untuk berbicara secara pribadi dengannya. Yung Lu membuat Kung memahami bahwa bersatu denganku merupakan satusatunya pilihan yang dimilikinya. “Begitu kau menyampaikan permohonan maaf kepada publik,” Yung Lu berjanji atas namaku, “Baginda Ratu akan mengembalikan seluruh jabatan dan gelarmu.”

Tindakanku dipuji oleh musuhmusuh Pangeran Kung sebagai “melepaskan hewan buas” Mereka memohon padaku untuk tak mengembalikan posisinya. Orangorang ini jelas tak memahami apa yang kuharapkan dari Pangeran Kung. Mereka tidak mengerti bahwa menghukumnya hanya merupakan satusatunya jalan untuk mengakurkan hubungan kami kembali. Agar diperlakukan sebagai rekannya yang setara, hanya itu yang kupinta.

Untuk mengakhiri rumor yang menyebutkan bahwa aku dan Pangeran Kung sebagai musuh bebuyutan, kukeluarkan dekrit baru, menganugerahkan izin bagi Pangeran Kung untuk mewujudkan hal yang selalu dia impikan: membuka sebuah akademi bergengsi, Sekolah Sains dan Matematika Kerajaan.


Tung Chih mengeluh tentang sakit perutnya dan diizinkan untuk tak menghadiri audiensi pagi. Kukirim Antehai untuk memeriksa kondisinya pada sore hari. Tahun ini, putraku akan menginjak usia tiga belas, dan dia telah menjabat sebagai Kaisar selama tujuh tahun. Aku bisa mengerti mengapa dia membenci tugastugasnya dan akan berusaha melarikan diri kapan pun memungkinkan. Namun tetap saja, aku sungguh kecewa.

Pikiranku masih berkelana memikirkan Tung Chih, selagi duduk di kursi singgasana dan menyimak Yung Lu yang sedang membacakan suratsurat Tseng Kuofan mengenai penggantian Gubenur Ho dan Sheng Pao, yang prosesnya belum juga usai. Aku harus memaksakan diri untuk berkonsentrasi.

Kupakukan mataku ke arah pintu dan berharap mendengarkan pengumuman akan kedatangan putraku. Akhirnya dia tiba. Lima puluh orang hadirin audiensi menjatuhkan diri dan berlutut menyambutnya. Tung Chih segera melenggang menuju kursi singgasananya dan tak menyempatkan diri untuk mengangguk pada kerumunan hadirin.

Putraku yang tampan telah bercukur untuk kali pertama. Akhirakhir ini, dia tumbuh tinggi dengan begitu cepatnya. Kilauan matanya dan suara lembutnya mengingatkan diriku akan ayahnya. Di depan khalayak, dia tampak percaya diri. Namun, aku tahu kegelisahan terus menghantuinya.

Aku sering kali meninggalkan Tung Chih sendiri, karena itulah yang mereka perintahkan padaku. Nuharoo sudah menekankan bahwa menjadi tugasnyalah untuk menjawab kebutuhankebutuhan Tung Chih. “Tung Chih harus diberi kesempatan untuk tumbuh dewasa sesuai dengan keinginannya sendiri.”

Kalangan kerajaan mengalami kesulitan untuk mengendalikan kebandelan Tung Chih. Pada akhirnya putra Pangeran Kung, Tsaichen, dibawa masuk Istana untuk menjadi teman belajar Tung Chih. Meski tak diberi tahu sebelumnya akan keputusan itu, aku sangat terkesan dengan kesopanan Tsaichen dan merasa lega melihat kedua anak itu segera menjalin pertemanan.

Tsaichen dua tahun lebih tua daripada Tung Chih, dan pengalamannya di dunia luar membuat Kaisar Muda terkesan, yang dilarang untuk menjejakkan kakinya keluar dari gerbang Kerajaan. Dia akan melakukan apa pun demi mendengarkan ceritacerita dari mulut Tsaichen. Kedua anak itu juga berbagi minat yang sama pada opera Cina.

Tak seperti Tung Chih, Tsaichen adalah pemuda yang kuat dan gagah. Menunggangi kuda adalah kegemarannya. Aku berharap di bawah pengaruh temannya, putraku bisa mengikuti tradisi para Pemegang Panji, praktik lama dari tentara Manchu yang telah menaklukkan bangsa Cina Han dua abad sebelumnya. Lukisanlukisan keluarga kami menggambarkan kaisarkaisar Manchu turut berperan serta dalam peristiwaperistiwa sepanjang tahun: pertandingan bela diri, pacuan kuda, perburuan musim gugur. Selama enam generasi, para Kaisar bangsa Manchu meneruskan tradisitradisi ini, hingga saat masa suamiku, Kaisar Hsien Feng. Impianku akan jadi kenyataan jika melihat Tung Chih menunggangi kudanya suatu hari nanti.


“Aku berangkat menuju Wuchang malam ini.” Yung Lu berdiri di hadapanku.

“Untuk apa?” tanyaku, sedih mendapatkan berita mendadak itu.

“Panglima perang di Provinsi Jianghsi menuntut hak untuk memimpin tentara pribadi.”

“Bukankah mereka sudah melakukannya?”

“Benar, tetapi mereka menginginkan dukungan resmi dari Kerajaan,” jawab Yung Lu. “Dan tentu saja mereka tidak hanya berharap untuk menghindari pajak, tetapi juga menginginkan mengalirnya dana tambahan dari Kerajaan.“

“Ini adalah masalah yang sudah ditutup.” Kualihkan pandanganku. “Kaisar Hsien Feng telah menolak proposal itu sejak lama.”

“Para Panglima itu bermaksud menantang Kaisar Tung Chih, Yang Mulia.”

“Apa maksudmu?”

“Pemberontakan sedang disiapkan.”

Aku menatap Yung Lu dan mengerti.

“Tidak bisakah kautinggalkan masalah ini pada Tseng Kuofan?” Aku merasa cemas membiarkan Yung Lu pergi menuju medan tempur.

“Para Panglima akan mempertimbangkan konsekuensinya secara lebih serius jika mereka tahu mereka berhubungan langsung dengan Yang Mulia.”

“Apakah ini ide dari Tseng Kuofan?”

“Benar. Jenderal menyarankan agar Anda mengambil keuntungan dari kemenangan yang Anda terima barubaru ini di pengadilan.”

“Tseng Kuofan menginginkanku menumpahkan lebih banyak darah,” ujarku. “Yung Lu, Jenderal Tseng akan menyerahkan sebutan 'PemenggalKepalanya' padaku, jika itu yang kaumaksudkan dengan kemenangan barubaru ini. Saran itu sama sekali tak menarik minatku.” Aku berhenti dan emosi mulai mencekik kerongkonganku. “Aku ingin disukai. Bukan ditakuti.”

Yung Lu menggeleng. “Aku setuju dengan Tseng. Yang Mulia adalah satusatunya orang yang ditakuti oleh para Panglima itu sekarang ini.”

“Tetapi kau tentu tahu bagaimana perasaanku.”

“Ya, aku paham. Tetapi tolong pikirkan tentang Tung Chih, Yang Mulia.”

Aku menatapnya dan mengangguk.

“Biarkan aku pergi dan meluruskan masalah ini demi Tung Chih,” ucapnya.

“Tidak aman bagimu untuk pergi.” Aku jadi sangat cemas, dan mulai berbicara cepat. “Aku memerlukan perlindunganmu di sini ' “

Yung Lu menjelaskan bahwa dia sudah menyiapkan semuanya, dan bahwa aku akan aman.

Aku tak sanggup mengucapkan katakata perpisahan.

Tanpa menoleh padaku, dia memohon maaf dan segera beranjak pergi.




4



SAAT ITU MUSIM SEMI pada 1868, dan hujan merendam tanah. Bunga tulip biru yang tumbuh di tamanku membusuk. Usiaku tiga puluh empat tahun. Malam-malamku dipenuhi oleh bunyi nyanyian jangkrik. Bau dupa memenuhi Kuil Istana, tempat tinggal para selir senior. Sangat aneh bahwa aku belum juga mengingat semua nama mereka. Kunjungankunjungan yang dilakukan semata seremonial di dalam Kota Terlarang ini. Para wanita menghabiskan waktu mereka mengukir labu, membiakkan ulat sutra, dan menyulam. Gambargambar anak kecil muncul di hasil sulaman tangan mereka, dan aku terus mendapatkan pakaian yang dibuat untuk putraku oleh para wanita ini.

Istriistri muda suamiku, Putri Mei dan Putri Hui, pernah disebutkan terkena jampijampi rahasia. Mereka berbicara seperti orang mati, dan meyakini bahwa kepala mereka terbenam air hujan sepanjang musim. Untuk membuktikan perkataannya, mereka mencopot hiasan kepala mereka dan menunjukkan pada kasim betapa air telah merembes masuk ke dalam akarakar rambut mereka. Putri Mei dikatakan begitu terpesona oleh gambaran kematian. Dia memesan seprai tempat tidur baru dari kain sutra putih dan menghabiskan waktu mencucinya sendiri. “Aku ingin terbungkus kain ini saat aku mati,” ujarnya dengan suara dramatis. Dia melatih kasimkasimnya untuk membungkus tubuhnya dengan kain itu.

Aku menghabiskan makan malam sendirian usai audiensi hari itu. Aku sudah tak lagi menaruh perhatian pada parade hidangan mewah dan langsung menyantap dari empat mangkok yang disediakan Antehai di hadapanku. Biasanya makanan yang terhidang adalah sayurmayur, kacangkacangan, ayam saus kecap, dan ikan kukus. Sering kali aku akan berjalanjalan usai makan malam, tetapi kali ini aku langsung pergi tidur. Kuberitahukan Antehai untuk membangunkanku dalam waktu satu jam karena masih ada tugastugas penting yang perlu kukerjakan.

Cahaya bulan saat itu sangat terang dan aku bisa membaca tulisan kaligrafi dari puisi abad kesebelas yang tercetak di dinding:


Seberapa banyak dera banjir dan badai

dapat dilalui oleh semi

Sebelum ia harus kembali menuju asalnya?

Orang akan takut

Kembang semi akan gugur terlalu dini.

Ia telah menjatuhkan

Kelopaknya

Tak terhitung.

Aroma rerumputan menyebar

Sejauh hamparan cakrawala.

Keheningan dedaunan semi hanya tertinggal sementara.

Sarang labalaba bertahan

Namun semi itu sendiri tak akan tinggal.


Bayangbayang Yung Lu melintas di benakku dan aku memikirkan di mana dia kini berada dan apakah dia aman.


“Tuan Putri,” suara bisikan Antehai terdengar, “teaternya sudah penuh sebelum pertunjukannya sendiri dimulai.” Menyalakan lilin, kasimku mendekat. “Kehidupan pribadi Yang Mulia sudah menjadi bahan pembicaraan di kedai-kedai teh seantero Peking.”

Aku tak ingin terusik oleh berita itu. “Pergilah, Antehai.”

“Gosip yang beredar itu mengungkapkan tentang Yung Lu, Yang Mulia.”

Hatiku bergetar, tetapi aku tak bisa mengatakan bahwa aku tak pernah mengantisipasinya.

“Matamataku menyebutkan bahwa putra mahkota-lah yang membangkitkan gosip ini.”

“Mustahil.“

Sang kasim berjalan mundur ke arah pintu. “Selamat malam, Tuan Putri.”

“Tunggu.“ Aku menegakkan dudukku. “Apa kau mengatakan bahwa anakku dalangnya?”

“Itu hanya gosipnya, Yang Mulia. Selamat malam.”

“Apa Pangeran Kung punya peranan dalam hal ini?”

“Aku tak tahu. Kupikir Pangeran Kung bukanlah dalang di balik gosip yang beredar, tetapi dia juga tidak berusaha meredakannya.”

Rasa takut tibatiba menyergapku.

“Antehai, maukah kau tetap di sini dulu?”

“Tentu, Tuan Putri. Aku akan tetap di sini hingga Anda tertidur. “

“Anakku membenciku, Antehai.”

“Bukan diri Anda yang dibencinya. Akulah yang dibencinya. Lebih dari satu kaii, Baginda Kaisar bersumpah akan memerintahkan pembunuhanku.”

“Itu tak berarti apaapa, Antehai. Tung Chih hanya seorang anak kecil.”

“Aku juga mengatakan hal yang sama pada diriku sendiri, Yang Mulia. Tetapi jika melihat sorot matanya, aku tahu bahwa dia bersungguhsungguh. Aku takut padanya.”

“Aku juga begitu, padahal aku adalah ibunya sendiri.”

“Tung Chih bukan lagi seorang anak kecil, Yang Mulia. Dia sudah mulai melakukan halhal yang biasa dilakukan lelaki dewasa.”

“Yang biasa dilakukan lelaki dewasa? Apa maksudmu?”

“Aku tak bisa mengatakannya lagi, Yang Mulia.”

“Tolonglah Antehai, lanjutkan.”

“Aku belum punya faktafaktanya.”

“Katakan padaku apa pun yang kauketahui.”

Kasimku memohon padaku untuk diperbolehkan tutup mulut sebelum dia memperoleh informasi lebih lanjut. Tanpa menunggu lebih lama, dia pergi.


Sepanjang malam aku memikirkan putraku. Aku mulai mencurigai bahwa Pangeran Kung telah memanipulasi Tung Chih untuk membalasku. Berita yang datang menyebutkan bahwa usai Kung meminta maaf atas perilakunya, dia mengakhiri persahabatannya dengan Yung Lu. Mereka berdua telah berselisih pendapat tentang kasus jenderal Sheng Pao.

Aku tahu Tung Chih masih dicekam kebingungan dan amarah karena perlakuanku terhadap pamannya. Pangeran Kung adalah sosok terdekat seorang Ayah yang bisa dia dapatkan, dan dia menyesali dirinya sendiri ketika harus membacakan dekrit keputusan itu di depan pamannya dan seluruh Dewan Istana. Tung Chih mungkin belum terlalu memahami maksud di balik kata-kata yang dibacanya, tetapi dia tidak dapat melupakan sorot mata pamannya yang penuh rasa malu saat dia segera mengalihkan mukanya. Aku tahu anakku menyalahkan diriku atas hal ini dan akan banyak lagi hal lainnya.

Tung Chih menghabiskan lebih banyak waktu bersama putra Kung, Tsai-chen. Aku lega mengetahui mereka bisa membebaskan diri dari tekanan-tekanan Kerajaan dengan keberadaan satu sama lain, betapapun singkatnya. Dalam bayanganku, aku ikut serta dalam perjalanan mereka menyusuri taman-taman dan pekarangan istana yang lebih jauh. Semangatku naik saat melihat kepulangan mereka, dengan wajah tampak kemerah-merahan. Aku merasakan sikap kemandirian yang lebih besar mulai tumbuh pada diri anakku. Namun, aku mulai berpikir apakah itu sesungguhnya perasaan kemandirian yang nyata ataukah hanya usahanya menghindar dari diriku, ibunya, yang dia hubungkan dengan kewajiban-kewajiban audiensi yang melelahkan—orang yang menyuruhnya melakukan hal-hal yang tak dia inginkan.

Aku tak tahu bagaimana caranya untuk mengakhiri rasa marahnya kecuali dengan meninggalkannya sendiri, dan berharap masa ini akan lewat dengan sendirinya. Semakin lama, kami hanya berkesempatan untuk bertatap muka pada saat audiensi, yang hanya menambah rasa sepiku dan menjadikan malam-malamku terasa semakin panjang. Pikiranku semakin sering melayang kembali pada selir-selir lama dan para janda di Kuil Istana, memikirkan apakah takdir mereka sebenarnya lebih sulit dijalani daripada hidupku ini.


Demi melindungiku, Yung Lu berpindah ke sudut terjauh dari kerajaan. Aku sudah menjadi bahan cemoohan dan kesalahpahaman semenjak hari pertama aku melahirkan Tung Chih, jadi aku sudah terbiasa. Aku tak berharap rumor dan mimpi-mimpi buruk itu akan berhenti hingga saat Tung Chih telah menjalani upacara resmi kenaikan takhta.

Satu-satunya impian sejatiku hanyalah untuk mewujudkan kehidupanku sendiri, satu kemungkinan yang kutakuti makin tampak mustahil. Demi masa depan putraku, aku tak bisa berhenti dari tugas-tugasku sebagai Wali. Namun untuk terus tinggal, sama artinya dengan menceburkan diri dalam konflik-konflik yang penyelesaiannya tak pernah ada. Aku penasaran kehidupan seperti apakah yang dijalani Yung Lu di medan tempur. Aku sudah berkehendak untuk menghentikan diriku dari memimpikan kehidupan kami sebagai sepasang kekasih, tetapi perasaanku terus saja mengkhianatiku. Ketidakhadirannya menjadikan proses audiensi makin terasa berat.

Mengetahui diriku tak akan pernah bisa berada dalam pelukan Yung Lu, aku sangat mencemburui mereka yang bibirnya bisa menyebutkan namanya. Dia adalah bujangan paling tenar di seantero Cina, dan setiap gerakgeriknya selalu diamati. Aku bisa bayangkan ambang pintu rumahnya pasti sudah hampir ambruk saking seringnya digedor oleh para mak comblang.

Untuk menghindari rasa frustrasi, aku berusaha menyibukkan diri dan terus memelihara persahabatan. Aku menghubungi Jenderal Tseng Kuofan untuk mendukung strateginya menggagalkan pemberontakan petani Taiping. Atas nama anakku, aku mengucapkan selamat atas setiap kemenangannya.

Kemarin aku menghadirkan satu audiensi bagi seorang pemuda penuh bakat, murid sekaligus rekan Tseng Kuofan, Li Hungchang. Li adalah pemuda Cina berbadan tinggi dan tampan. Aku tak pernah mendengar Tseng Kuofan memuji seseorang sebelumnya sebagaimana dia memuji Li Hungchang, dengan menyebutnya “Li Pemuda Tak Terkalahkan”.  Kali pertamanya kudengar aksen Li, aku bertanya apakah dia berasal dari Anhwei, provinsi asalku. Betapa gembiranya aku mengetahui itu memang daerah asalnya. Berbicara dengan dialek provinsinya, dia mengatakan padaku bahwa asalnya dari Hefei, tempat yang dekat dari Wuhu, kota kelahiranku. Dalam perbincangan kami, kuketahui bahwa dia adalah seorang yang sukses dari usahanya sendiri, sama seperti gurunya, Tseng.

Aku mengundang Li Hungchang menghadiri opera Cina di teaterku. Tujuan utamaku sesungguhnya adalah untuk mencari tahu lebih dalam mengenai dirinya. Li memiliki latar belakang sebagai ilmuwan, tetapi dia merintis awal kariernya sebagai tentara sebelum kemudian menjadi jenderal. Sebagai pebisnis ulung, dia sudah menjadi salah seorang terkaya di negara. Dia memberi tahuku bahwa bidang terbaru yang kini digelutinya adalah diplomasi.

Aku bertanya apa yang sebelumnya dia lakukan sebelum memasuki Kota Terlarang. Dia menjawab bahwa dia tengah membangun satu rel kereta yang suatu saat akan membentang di sepenjuru Cina. Aku berjanji akan hadir pada acara peresmian jalur relnya; sebagai gantinya, aku bertanya apakah dia bisa memperpanjang jalurnya hingga ke Kota Terlarang. Dia jadi begitu bersemangat dan berjanji akan membangunkan untukku sebuah stasiun.


Jalinan pertemananku dengan orangorang dari luar lingkar Istana meresahkan Pangeran Kung. Jarak di antara kami kembali melebar. Kami berdua tahu bahwa pertentangan di antara kami bukan disebabkan karena menjalin hubungan dengan sekutu yang memiliki banyak potensi—mengingat dia sendiri memiliki keinginan yang sama denganku—melainkan karena kekuasaan itu sendiri.

Aku tak bermaksud menjadi rival seseorang, terutama rival bagi Pangeran Kung. Meski bingung dan merasa tertekan, kusadari bahwa perbedaan di antara kami sudah sangat mendasar dan mustahil untuk disatukan. Aku bisa pahami kekhawatiran Pangeran Kung, tetapi aku tak bisa membiarkan dirinya memimpin negara dengan caranya. Pangeran Kung bukan lagi sosok berpikiran terbuka dan berhatiluas sebagaimana yang kukenal pada kali pertama bertemu dengannya. Pada masa lalu, dia telah menunjuk orangorang untuk menduduki satu jabatan berdasarkan kemampuannya dan menjadi seorang pendukung terkuat terhadap upaya untuk menyertakan orang-orang dari kaum Cina lebih banyak lagi. Dia mempromosikan tidak saja orangorang Cina Han, tetapi para pegawai asing, seperti Robert Hart yang berkebangsaan Inggris, yang selama bertahuntahun telah bertanggung jawab terhadap layanan bea cukai. Namun, ketika kaum Cina Han mengisi mayoritas kursi di pemerintahan, Pangeran Kung mulai resah dan pandangannya pun berubah. Koneksiku dengan orangorang seperti Tseng Kuofan dan Li Hungchang hanya memperburuk masalah.

Pangeran Kung dan aku juga berbeda pandangan terkait Tung Chih. Aku tak tahu bagaimana Pangeran Kung membesarkan anaknya, tetapi kusadari—dengan sangat jelas—bahwa Tung Chih masih bocah ingusan. Di satu sisi, aku berharap Pangeran Kung bisa lebih tegas agar Tung Chih dapat mengambil manfaat dari memiliki sosok pengganti ayahnya. Namun di sisi lain, aku ingin Pangeran berhenti meremehkan anakku di hadapan Dewan Istana, “Tung Chih mungkin secara karakter lemah,” ucapku pada kakak ipar, “tetapi dia dilahirkan untuk menjadi Kaisar Cina.”

Pangeran Kung mengajukan proposal resmi agar Dewan Istana membatasi kekuasaanku. “Melanggar batas lelakiwanita” disebut sebagai kejahatanku. Aku sanggup memaatahkan gerakan itu, tetapi jadi semakin sulit untuk mengisi jabatan dengan orangorang dari nonManchu. Sikap antiHan Pangeran Kung mulai mendapatkan pengaruh negatif.

Para menteri Cina Han memahami kesulitanku dan berusaha membantuku sebisa mungkin, termasuk menelan hinaan dari rekanrekan Manchu mereka. Tak adanya rasa hormat yang kusaksikan setiap harinya benarbenar meremukkan hatiku.

Saat Pangeran Kung mendesak kepada para audiensi agar aku segera mempekerjakan kembali orangorang Manchu yang dulu telah gagal dalam tugasnya, aku pergi meninggalkan audiensi. “Orangorang Manchu seperti kembang api rusak yang tak bisa meledak!” adalah perkataanku yang diingat oleh orangorang. Dan sekarang perkataan itu digunakan untuk melawan anakku.

Konsekuensinya harus kutanggung: aku kehilangan kasih sayang anakku. “Kaubuat Paman Pangeran Kung jadi korban!” teriak putraku.

Aku berdoa pada Langit untuk menganugerahiku kekuatan karena aku yakin akan apa yang kulakukan. Aku ingin menyadarkan Pangeran Kung bahwa dia tak akan pernah bisa menghentikanku. Aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa tak ada yang perlu kutakutkan. Aku telah memimpin negeri ini tanpa dirinya dan akan terus melanjutkannya sebagaimana seharusnya.”




5



MASA PEMERINTAHAN PUTRAKu disebut sebagai “Masa Kebangkitan Tung Chih yang Agung”, meski tak ada jasa Tung Chih yang patut mendapatkan pujian. Jenderal Tseng Kuofan adalah orang yang membawakan keagungan itu. Dia telah berperang melawan kekuatan pemberontak Taiping sejak 1864. Pada 1868, dia berhasil menumpas sebagian besar dari kekuatan musuh. Karena Tseng merupakan pilihanku, kalangan dalam Istana menyebutku “Sang Buddha Tua” atas kebijaksanaanku.

Merasa berterima kasih pada Jenderal Tseng, aku memberikannya promosi. Betapa terkejutnya aku ketika dia menolaknya.

“Bukannya aku tak mau diberi penghargaan,” Tseng menjelaskan dalam suratnya padaku. “Aku sungguh berterima kasih. Namun, yang tak kuinginkan adalah ketika dilihat rekanrekanku sebagai simbol kekuasaan. Aku cemas jika kenaikan peringkatku akan mengenyangkan orangorang yang haus kekuasaan di pemerintahan. Aku ingin agar semua Jenderal di sekelilingku merasa setingkat dan nyaman. Aku ingin agar prajuritku menganggapku sebagai salah seorang dari mereka, berjuang demi satu tujuan, bukan untuk kekuasaan atau mendapatkan hak istimewa.”

Dalam jawabanku, kutulis: “Sebagai Wali Kaisar, yang diinginkan oleh Nuharoo dan aku, adalah melihat terwujudnya ketertiban dan kedamaian, dan tujuan ini tak akan tercapai tanpa peranmu sebagai pemimpin. Sampai kauterima promosi ini, kami tak akan bisa merasa tenang.” Dengan enggan, Tseng Kuofan akhirnya menerimanya.

Sebagai Gubernur Senior yang bertanggung jawab atas provinsi Jiangsu, Jianghsi, dan Anhwei, Tseng Kuofan menjadi orang Cina Han pertama yang memiliki pangkat sejajar dengan Yung Lu dan Pangeran Kung.

Tseng bekerja tak kenal letih, tetapi tetap bersikap terlalu hatihati. Dia menjaga jarak dengan pusat kekuasaan. Kecurigaannya merupakan hal yang wajar. Dalam berbagai kejadian sepanjang sejarah Cina, seberapa pun besarnya kekuatan seorang Jenderal atas penghargaan yang diterimanya, akan muncul banyak orang yang ingin menghabisinya. Kasus seperti ini sangat umum terjadi ketika Penguasa cemas melihat sang jenderal telah memiliki kekuasaan melebihi mereka.

Tung Chih mulai terpengaruh oleh sikap pamannya, Pangeran Kung, terhadap kaum Han. Aku memohon pada mereka berdua untuk melihat dari perspektif berbeda dan membantuku untuk memperoleh kepercayaan Tseng Kuo fan kembali. Aku berpikir jika Tseng dapat menciptakan stabilitas, anakkulah yang akan memperoleh manfaatnya.

Atas nama Tung Chih, aku membiarkan Tseng Kuofan tahu bahwa aku akan menjamin keselamatannya. Saat Tseng mengemukakan keraguannya, aku berusaha meyakinkannya—aku berjanji takkan mundur dari kekuasaan hingga putraku cukup matang untuk memangku takhta. Kuyakinkan Tseng bahwa akan aman baginya untuk mengambil tindakan apa pun yang dirasanya tepat. Dengan dorongan dariku, sang Jenderal mulai merencanakan peperangan dengan cakupan yang lebih luas dan dengan target yang lebih ambisius. Mengumpulkan kekuatan tentaranya dari Utara, dia bergerak perlahan menuju Selatan sampai dia memusatkan markas di dekat Anking, sebuah kota yang penting secara strategis di Anhwei. Tseng Kuofan kemudian memerintahkan saudaranya, Tseng Kuoquan, untuk menempatkan pasukannya di luar Ibu Kota Taiping di Nanking.

Antehai membuatkanku peta untuk membantuku memvisualisasikan pergerakan Tseng. Peta itu tampak bagai lukisan indah. Antehai menaruh benderabendera kecil berwarnawarni di atasnya. Kulihat Tseng mengirim Jenderal Manchu Chou Tsungtang ke Selatan untuk mengepung Kota. Hangchow di Provinsi Chekiang. Jenderal Peng Yulin ditugaskan untuk memblokade tepi Sungai Yangtze. Li Hungchang, orang kepercayaan Tseng Kuofan, diberikan tugas memblokir jalur pelarian diri musuh dekat Soochow.

Benderabendera di peta berubah warna tiap harinya. Sebelum memasuki Tahun Baru 1869, Tseng meluncurkan serangan utama, membungkus Taiping seperti kue pastel. Untuk mengamankan posisinya, dia menarik kekuatan pasukan dari Utara Yangtze. Sebagai penutupan akhir, dia bekerja sama dengan Yung Lu. Tentara di bawah komando Yung Lu datang dari belakang untuk memotong garis persediaan Taiping.

“Pengepungannya luar biasa rapat,” ujar Antehai, membusungkan dadanya dan meniru pose Tseng. “Nanking sudah jatuh!”

Kupindahkan benderabendera kecil itu layaknya pion-pion di atas papan catur. Ini jadi satu kesenangan buatku. Dengan melihat pergerakan Tseng Kuofan, aku bisa mengikuti jalan pikirannya dan kagum atas kecemerlangan otaknya.

Berharihari aku duduk di depan peta, melahap makananku di sana sembari terus menyimak beritaberita peperangan. Dari laporan terbaru, kuketahui bahwa pemberontak Taiping telah menarik mundur kekuatan terakhirnya dari Hangchow. Secara strategi, itu adalah kesalahan fatal. Li Hungchang segera menangkap sisasisa pasukan di Soochow. Rekan Li, Jenderal Chou Tsungtang masuk dan mengambil alih Hangchow. Para pemberontak kehilangan basis mereka. Dengan seluruh kekuatan kerajaan mengepung mereka, Tseng Kuofan mengambil alih.

Tung Chih gembira, sementara aku dan Nuharoo menangis terharu saat laporan atas kemenangan akhir itu mencapai Kota Terlarang. Kami menaiki tandu dan pergi ke Altar Surgawi untuk memberitahukan berita gembira ini pada arwah Hsien Feng.

Sekali lagi atas nama Tung Chih, kukeluarkan dekrit penghargaan atas jasa Tseng Kuofan dan rekanrekannya sesama Jenderal. Beberapa hari kemudian, kuterima laporan terperinci dari Tseng, mengonfirmasi kemenangan yang diraih. Kemudian Yung Lu kembali ke ibu kota. Kami berbagi kegembiraan dalam sikap kaku kami. Dengan kehadiran dayangdayang dan Antehai menatap kami, Yung Lu memberitahukan perannya dalam peperangan dan memuji kepemimpinan Jenderal Tseng. Menunjukkan kekhawatirannya, dia memberi tahuku bahwa Tseng akhir-akhir ini telah kehilangan sebagian besar penglihatannya disebabkan infeksi mata serius. Penanganan yang terlambat makin memperburuk kondisinya.

Kupanggil Tseng Kuofan untuk menghadiri audiensi pribadi bersamaku segera setelah dia kembali ke Peking.

Berbalut jubah longgar sutranya dan topi dengan ekor burung meraknya, jenderal Cina itu bersimpuh ke depan kakiku. Keningnya tetap menempel di atas lantai untuk menunjukkan rasa terima kasihnya. Selagi dia menungguku untuk berucap “bangkit”, aku sendiri bangkit berdiri dan membungkuk ke arahnya. Kuabaikan etika; rasanya itulah hal yang sepantasnya kulakukan.

“Biarkan aku melihatmu baikbaik, Tseng Kuofan,“ ucapku dengan air mata menggenang. “Aku sangat senang kau kembali dengan selamat.'

Dia bangkit dan pergi duduk ke kursi yang disediakan Antehai.

Aku terkejut melihat dirinya tampak tak sebugar yang kuingat hanya selang beberapa tahun sebelumnya. Jubah megahnya tak dapat menyembunyikan keringkihannya. Kulitnya tampak kering terbakar dan alis matanya yang lebat memutih bagai bolabola salju. Usianya sekitar enam puluh tahun, tetapi gundukan kecil di punggungnya membuatnya tampak sepuluh tahun lebih tua.

Setelah teh disuguhkan, kuajak dia mengikutiku ke ruang tamu, yang di sana dia bisa duduk lebih nyaman. Dia tak mau beranjak sebelum kukatakan padanya bahwa diriku letih duduk seharian di atas kursi yang ukirannya membuat punggungku sakit. Aku tersenyum sambil mengatakan bahwa furnitur indah di balairung hanya bagus digunakan untuk pertunjukan.

“Begini Tseng Kuofan, aku hampir tak bisa mendengarmu.” Kutunjukkan jarak yang terbentang di antara kami. “Tidak mudah buat kita berdua. Di satu sisi, di anggap tak sopan bagimu untuk mengeraskan suaramu. Di sisi lain, aku tak mau tak bisa mendengarkanmu.“

Tseng mengangguk dan bergerak untuk duduk di dekatku, di sisi kiri bawahku. Dia tak tahu sebelumnya bahwa aku harus memaksa untuk bisa mengadakan pertemuan ini. Para klan Manchu dan Pangeran Kung mengabaikan permintaanku untuk mengadakan audiensi pribadi demi menghormati Tseng. Kutekankan bahwa tanpa jasa Tseng Kuofan, Dinasti Manchu sudah akan berakhir.

Nuharoo menolak memihakku saat aku mendatanginya untuk meminta dukungan. Sama seperti yang lain, dia mengabaikan jasa Tseng Kuofan begitu saja. Pada akhirnya, aku berhasil membujuknya untuk mendukung undanganku, tetapi beberapa jam sebelum pertemuan dilangsungkan, dia sekali lagi mengubah pikirannya.

Aku benarbenar marah.

Nuharoo akhirnya menyerah. Namun sembari mendesah, dia berujar, “Jika saja kau memiliki satu tetes darah ningrat mengalir dalam tubuhmu.”

Memang benar, aku tak memiliki darah ningrat setetes pun. Namun, itulah sebabnya yang membuatku merasa senasib dengan Tseng Kuofan. Memperlakukannya dengan penuh rasa hormat, sama artinya dengan menghormati diriku sendiri.

Negosiasiku dengan Klan Kerajaan berakhir dengan kompromi: Aku diizinkan bertemu dengan Tseng selama lima belas menit.

“Kudengar kau sudah kehilangan penglihatanmu. Apa itu benar?” tanyaku sambil menatap detak jam di dinding. “Boleh kutahu penglihatan mata mana yang bermasalah?”

“Penglihatan kedua mataku buruk,” jawab Tseng. “Mata kananku sudah hampir buta. Tetapi mata kiriku masih bisa melihat cahaya. Saatsaat tertentu, aku masih bisa lihat bayangan kabur.”

“Apa kau sudah pulih dari penyakitmu yang lain?”

“Ya, bisa dibilang begitu.”

“Kau sepertinya berlutut dan bangkit dengan leluasa. Apa tubuhmu masih cukup kuat?”

“Yah, tak sama seperti dulu.”

Bayangan untuk segera mengakhiri pertemuan itu membuatku kehilangan katakata. “Tseng Kuofan, kau telah bekerja keras demi Kerajaan.”

“Merupakan kebahagiaan bagiku bisa melayani Anda, Yang Mulia.”

Aku berharap bisa mengundangnya lagi suatu saat nanti, tetapi aku takut kelak tak dapat memenuhi janjiku.

Kami duduk dalam hening.

Sebagaimana yang dituntut oleh etika, Tseng menjaga kepalanya tetap rendah. Tatapannya dipakukan pada satu titik di permukaan lantai. Jepitan besi dari seragam jubahnya menimbulkan bunyi dentingan tiap kali dia mengubah posisi. Dia tampak mencarimencari posisi tepatku. Aku yakin dia tak mampu melihatku, meski dengan kedua mata terbuka lebar. Mencoba meraih cangkir tehnya, tangannya merabaraba udara. Ketika Antehai menating roti manis isi biji wijen, siku tangannya hampir menumpahkan bakinya.

“Tseng Kuofan, apa kauingat saat kali pertama kita bertemu?” aku berusaha membangkitkan keriangan di antara kami.

“Ya, tentu saja.” Lelaki itu mengangguk. “Itu empat belas tahun lalu... pada audiensi dengan Yang Mulia Kaisar Hsien Feng.”

Kukeraskan suaraku sedikit hingga yakin bahwa dia dapat mendengarku. “Kau tampak begitu kuat dengan badan besar. Alis matamu yang menyambung membuatku mengira kau sedang marah.”

“Benarkah begitu?” Dia tersenyum. “Dulu aku memang tak sabaran. Aku ingin sekali bisa memenuhi harapan Yang Mulia padaku.”

“Kau sudah membuktikannya. Kau telah meraih begitu banyak, jauh dari yang diperkirakan orang sebelumnya. Suamiku pasti akan bangga. Aku sudah mengunjungi altarnya untuk melaporkan berita yang kaubawakan untuknya.”

Tseng menundukkan wajahnya dan mulai menangis. Sejenak kemudian, dia mendongakkan kepalanya dan menatap ke arahku, berusaha melihat. Akan tetapi, cahaya di ruangan duduk ini terlalu remangremang, dan dia kembali menundukkan pandangannya.

Antehai kembali masuk dan mengingatkan pada kami bahwa waktu kami sudah habis.

Tseng menyiapkan diri untuk pamit.

“Habiskan tehmu,” ucapku lembut.

Selagi minum, kulihat gununggunung perak dan ombak lautan tersulam di jubahnya.

“Apa kau tak keberatan jika aku meminta tabibku untuk mengunjungimu?” tanyaku.

“Kau sungguh berbaik hati, Yang Mulia.”

“Berjanjilah padaku kau akan menjaga dirimu baik-baik, Tseng Kuofan. Aku berharap bisa berjumpa denganmu lagi. Tak lama dari sekarang, kuharap.”

“Tentu Yang Mulia, Tseng Kuofan akan berusaha sebaik mungkin”


Aku tak pernah menemuinya lagi. Tseng Kuofan meninggal kurang dari empat tahun kemudian. Pada 1873.

Menengok kembali ke belakang, aku merasa puas telah memberi penghargaan pada lelaki itu secara pribadi. Tseng telah membuka mataku kepada dunia yang luas di luar tembok Kota Terlarang. Dia tidak saja membuatku mengerti bagaimana bangsabangsa Barat mengambil manfaat dari Revolusi Industri dan menjadi makmur, tetapi menunjukkan bahwa bangsa Cina juga memiliki kesempatan untuk meraih kebesarannya. Pesan Tseng Kuofan kali terakhirnya pada Kerajaan adalah untuk membangun angkatan laut yang kuat. Prestasinya yang begitu luar biasa, kemenangannya menumpas pemberontakan Taiping, menerbitkan rasa percaya diri padaku untuk mewujudkan mimpi itu.

The Last Empress Part 2

6



SEMENJAK KECIL, Tung Chih telah diajari untuk menganggapku sebagai bawahannya ketimbang sebagai ibunya. Dan kini pada usianya yang ketiga belas, aku harus berhatihati atas ucapanku padanya. Seperti mengendalikan layanglayang di bawah embusan angin yang berubahubah, aku berusaha menahan genggamanku pada seutas benang tipis. Aku belajar untuk menahan diri ketika embusan angin mengencang.

Suatu pagi tak lama setelah pertemuan terakhirku dengan Jenderal Tseng, Antehai meminta waktuku sebentar. Kasim itu ingin menyampaikan satu hal penting padaku dan dia meminta pengampunanku sebelum mulai bicara.

Aku berkata “bangkit” beberapa kali, tetapi Antehai tetap berlutut. Ketika kusuruh dirinya untuk mendekat, dia menyeret lututnya mendekatiku dan berhenti di tempat aku bisa mendengarkan bisikannya.

“Baginda Yang Mulia telah terjangkiti oleh penyakit yang parah,” Antehai berujar sedih.

Aku bangkit. “Apa maksudmu?”

“Tuan Putri, Anda harus kuat…” Dia menarik lengan jubahku hingga aku kembali duduk.

“Penyakit apa itu?” Aku kembali bangkit.

“Itu penyakit ... yah, dia mendapatkannya dari rumah bordil lokal.”

Selama sesaat, aku tak sanggup mencerna maksud perkataannya.

“Aku diberi tahu mengenai ketidakberadaan Tung Chih selama beberapa malam,” Antehai melanjutkan, “maka aku mengikutinya. Maafkan aku tak bisa menyampaikan informasi ini lebih cepat.”

“Tung Chih adalah pemilik ribuan selir,” bentakku. “Dia tak perlu…” Aku berhenti, menyadari kebodohanku. “Sudah berapa lama dia biasa mengunjungi rumah pelacuran?” tanyaku, berusaha tetap tenang.

“Sudah beberapa bulan.” Antehai berusaha menyangga lenganku.

“Yang mana yang dia datangi?” tanyaku, bergetar.

“Berbedabeda. Baginda Yang Mulia takut dikenali, jadi dia menghindari tempattempat yang biasa didatangi anggota Kerajaan.”

“Maksudmu Tung Chih pergi ke tempat yang biasa didatangi rakyat jelata?”

“Ya.”

Aku tak bisa menenangkan pikiranku.

“Jangan biarkan kesedihan menguasaimu, Tuan Putri!” tangis Antehai.

“Panggil Tung Chih!” Aku mendorong kasim itu pergi.

“Tuan Putri.” Antehai menjatuhkan dirinya di depanku. “Sebelumnya kita harus membahas strategi.”

“Tak ada yang mesti dibahas.” Kuangkat tanganku dan menunjuk ke arah pintu. “Aku harus mendengarkan kebenaran dari anakku. Itu tugasku.”

“Tuan Putri!“ Antehai membenturkan keningnya ke atas lantai. “Seorang pandai besi tak akan menempa batang besinya ketika dingin. Tolonglah, Tuan Putri, pikirkanlah kembali.”

“Antehai, jika kautakut pada anakku, apa kau juga tak takut padaku?”


Seharusnya aku dengarkan Antehai, dan menunggu. Jika saja aku bisa mengendalikan emosiku, sebaik yang biasanya kulakukan di hadapan Dewan Istana, Antehai tak akan menanggung akibatnya. Aku tak akan kehilangan putraku dan Antehai.

Berdiri di depanku, Tung Chih tampak seperti baru keluar dari kolam air. Keringat membanjiri keningnya. Sambil menggenggam saputangan, dia terusterusan menyeka muka dan lehernya. Wajahnya dipenuhi bisul, dan jerawat menandai garis rahangnya. Tadinya kukira kondisi kulitnya disebabkan oleh usianya yang makin dewasa, bahwa elemen dalam tubuhnya sedang tak seimbang. Ketika kutanyakan tentang rumah pelacuran, dia tidak mengakuinya. Baru ketika kupanggil Antehailah, Tung Chih akhirnya mengakui semua perbuatannya.

Aku tanyakan apakah dia sudah menemui Tabib Sun Paotien. Tung Chih menjawab bahwa dia merasa tak perlu menemuinya karena dia tak merasa sakit.

“Panggilkan Sun Paotien,” perintahku.

Putraku menatap Antehai dengan menyipitkan mata.

Keadaan menjadi kacau saat Tabib Sun Paotien tiba. Semakin Tung Chih berusaha berbohong, semakin sang Tabib mencurigainya. Akan makan waktu berharihari sebelum Sun Paotien memberitakan penemuannya, yarig kutahu akan menghancurkanku.

Kukirim Antehai ke istana Tung Chih. Kubatalkan audiensi hari itu, dan memeriksa barangbarang milik anakku. Selain opium, kutemukan bukubuku cabul.

Kupanggil Tsaichen, putra Pangeran Kung yang berusia lima belas tahun, teman terdekat Tung Chih. Kutekan dan kubujuk Tsaichen sampai dia mengakui bahwa dialah yang meminjamkan bukubuku itu dan dialah yang membawa Tung Chih ke rumah bordil. Tanpa menunjukkan rasa bersalah, Tsaichen menjelaskan bahwa rumah bordil ibarat “rumahrumah opera” dan para pelacurnya adalah “aktrisaktrisnya”.

“Panggil Pangeran Kung!” perintahku.

Pangeran Kung sama terkejutnya dengan diriku, yang membuatku menyadari bahwa situasinya lebih buruk daripada yang kubayangkan.

Ketika kularang Tsaichen menemui anakku lagi, Tung Chih semakin kesal.

“Aku akan mengantarkanmu,” ujar anakku pada temannya.

“Tsaichen akan pergi bersama ayahnya!” ujarku pada anakku. Kemudian kuperintahkan Antehai mengunci pintu agar Tung Chih tak bisa keluar.

“Kalian semua mayat hidup!” Tung Chih berteriak-teriak, menendang Antehai dan kasimkasim lainnya. “Lumut! Ular berbisa!”

Awalnya Tung Chih tak menunjukkan minat untuk memilih pendampingnya. Walau demikian, Nuharoo tetap bersikeras untuk menjalankannya. Ketika kupanggil Tung Chih untuk menetapkan tanggal pemilihan para gadis, dia malah ingin membahas perihal “kelakuan tak pantas” Antehai dan hukuman yang tepat baginya.

Tak kuacuhkan anakku dan berkata, “Apa yang terjadi pada kita berdua mestinya tak mengganggu tugastugasmu.” Kusodorkan laporan Kerajaan ke hadapannya. “Ini tiba tadi pagi. Aku ingin kau memeriksanya.”

“Misionaris asing berhasil mengumpulkan pengikut,” ucap Tung Chih sembari membolakbalik kertas dokumen secara sekilas. “Ya, aku sudah tahu hal itu. Mereka telah menarik hati para bandit dan gelandangan dengan menawarkan makanan. dan tempat tinggal gratis, dan. mereka telah membantu para kriminal. Masalahnya bukan agama, sebagaimana yang mereka sebutkan.”

“Kau belum melakukan apa pun untuk mengatasinya.”

“Memang belum.”

“Mengapa?” Aku berusaha menjaga agar nada suaraku tetap terdengar tenang, tetapi tak bisa. “Apa menggauli para pelacur di seluruh kota lebih penting?”

“Ibu, semua traktat melindungi orangorang Kristen. Apa lagi yang bisa kuperbuat? Ayahlah yang menanda tanganinya! Kau mencoba mengatakan bahwa aku tengah meruntuhkan dinasti, padahal bukan aku. Bangsa asing sudah memasuki Cina jauh sebelum aku dilahirkan. Lihat ini: Para misionaris menuntut uang ganti sewa atas penggunaan kuilkuil Cina selama tiga ratus tahun ke belakang yang dulunya mereka nyatakan sebagai properti milik Gereja. Apa itu masuk akal?”

Aku tak mampu berkata apa pun.

“Aku ingin beranggapan bahwa para misionaris itu sebagai lelaki dan wanita yang baik,“ lanjut anakku, “bahwa hanya aturan moral mereka sajalah yang cacat. Aku setuju dengan Pangeran Kung bahwa ajaran Kristen menaruh penekanan terlampau besar pada belas kasih dan mengabaikan nilai keadilan. Akan tetapi, ini bukan masalahku, dan kau tak seharusnya menjadikannya begitu.”

“Bangsa asing tak punya hak untuk membawa hukum mereka ke Cina. Dan itu jadi masalah yang mesti kau tangani, anakku. “

“Mengurus negara ini membuatku sakit, titik. Maaf, Bu, aku harus pergi.“

“Aku belum selesai. Tung Chih, kau belum cukup mengerti untuk tahu apa yang mesti kaulakukan.”

“Bagaimana aku belum cukup tahu? Kau telah jadikan dokumendokumen kerajaan sebagai buku pelajaranku. Aku selalu dianggap lemah sejak kecil. Kaulah yang bijaksana ... Sang Buddha Tua yang serba tahu segalanya: Aku tak kirimkan matamata untuk memeriksa kamarmu dan mengosongkan lemarimu. Tetapi itu tak berarti bahwa aku bodoh dan tak tahu apaapa. Aku sayang padamu Ibu, tetapi—“ Dia berhenti, kemudian meledak dalam tangis.


Pada masamasa terkelam dalam hidupku, aku akan pergi pada Antehai dan memintanya untuk menenangkanku. Perbuatanku sungguh memalukan.

Tak bisa dibayangkan bagi setiap wanita memikirkan tubuhnya disentuh oleh seorang kasim, makhluk dari dunia hitam. Tetapi aku merasakan diriku sama rendahnya dengan kasim.

Malam itu, suara Antehai menenangkanku. Dia membantuku membebaskan diri dari kenyataan. Aku dibawa ke bagian dunia lain untuk menikmati petualangan asing. Kegembiraan akan memenuhi air muka Antehai selagi dia meniup lilin dan mendatangi pembaringanku untuk berbaring di sisiku.

“Aku telah temukan pahlawanku” bisik Antehai. “Sama seperti diriku, dia orang yang sangat malang. Dilahirkan pada 1371 dan dikastrasi pada umur sepuluh tahun. Untungnya, majikan yang dia layani adalah seorang Pangeran yang berlaku baik padanya. Sebagai balasannya, dia memberikan jasa luar biasa dan membantu Pangeran menjadi Kaisar dari Dinasti Ming…”

Bunyi dari burung hantu di luar jadi hening dan awan-awan yang memantulkan sinar rembulan tampak tak bergerak di luar jendela.

“Namanya Cheng Ho, petualang terhebat di dunia. Kaubisa temukan namanya di semua buku tentang pelayaran, tetapi tak ada satu pun yang mengungkapkan identitas sebenarnya sebagai kasim. Tak ada seorang pun yang tahu bahwa penderitaan yang demikian pedihlah, yang telah menempanya menjadi orang hebat. Kemampuannya menghadapi penderitaan hanya bisa dimengerti olehku, sesama rekan kasimnya.”

“Bagaimana kautahu bahwa Cheng Ho seorang kasim?” tanyaku.

“Kuketahui secara tak sengaja, di buku daftar nama-nama kasim milik Kerajaan, sebuah buku yang tak ada seorang pun tertarik untuk membacanya.”

Pada diri Cheng Ho, Antehai menemukan mimpi yang dapat diraih. “Selaku Laksamana armada pengangkut harta, Cheng Ho memimpin tujuh ekspedisi bahari ke pelabuhanpelabuhan di seluruh Asia Tenggara dan Laut Hindia.” Antehai berbicara penuh semangat. “Pahlawanku berkelana jauh hingga ke Laut Merah dan Afrika Timur, menemukan lebih dari tiga puluh negeri dalam tujuh ekspedisinya. Kastrasi menjadikannya lelaki yang rusak, tetapi tak pernah memadamkan ambisinya.”

Dalam kegelapan malam, Antehai berjalan menuju jendela dalam jubah sutra putihnya. Menghadap terang bulan, dia mengumumkan, “Mulai saat ini aku akan memiliki hari ulang tahun.”

“Bukankah kau sudah punya hari ulang tahun?”

“Yang itu dibikinbikin karena tak seorang pun, termasuk diriku sendiri, yang tahu kapan persisnya aku lahir. Hari ulang tahunku yang baru adalah 11 Juli. Itu akan jadi hari peringatan dan perayaan ekspedisi laut pertama Cheng Ho, yang berangkat pada 11 Juli 1405.”

Dalam mimpiku malam tadi, Antehai berubah menjadi Cheng Ho. Dia berpakaian dalam jubah istana Ming yang megah dan berlayar ke tengah laut lepas, menuju cakrawala jauh.

“…Dia memperkenalkan kekuatan dari dua generasi Kekaisaran Cina.” Suara Antehai membangunkanku. Namun, dia tengah terlelap dalam tidurnya.

Aku duduk dan menyalakan lilin. Aku menatap kasimku yang sedang tertidur, dan tibatiba merasa remuk saat pikiranku kembali ke Tung Chih. Aku ingin sekali pergi menemui anakku dan merangkulnya.

“Tuan Putri.” Antehai berbicara dengan mata terpejam. “Apa kautahu, armada Cheng Ho melibatkan lebih dari enam kapal besar? Krunya hampir mencapai tiga puluh ribu! Mereka punya satu kapal untuk mengangkut kudakuda, dan satu lagi mengangkut hanya air minum!“




7



NUHAROO MEMANGGILKU pada hari peringatan delapan tahun kematian suami kami. Setelah bertukar salam, dia memberitahukan niatnya untuk mengganti semua nama istana di Kota Terlarang. Dia memulainya dari istananya sendiri. Bukannya Istana Kedamaian dan Panjang Umur, nama barunya menjadi Istana Meditasi dan Perubahan. Nuharoo mengatakan bahwa guru fengshuinya menyarankan agar namanama istana yang ditinggali para wanita sebaiknya diganti sekali dalam sepuluh tahun untuk membuat arwaharwah yang ingin menghantui istana lama mereka jadi bingung.

Aku tak suka dengan ide itu, tetapi Nuharoo bukan tipe orang yang mau mengalah. Masalahnya adalah, jika kami mengubah nama istana, namanama yang turut menyertainya juga terpaksa diubah—gerbang istana, tamannya, jalan setapaknya, tempat tinggal pelayannya. Namun, dia terus saja melanjutkan rencananya. Kini, gerbang Nuharoo beralih nama menjadi Gerbang Renungan yang sebelumnya bernama Gerbang Angin yang Tenang. Tamannya sekarang berganti nama dari Keajaiban Alam Liar menjadi Kebangkitan Semi. Jalan setapaknya beralih nama dari Jalur Sinar Rembulan jadi Jalur Pikiran jernih.

Menurutku, namanama yang baru tidak semenarik yang lama. Nama lama untuk kolam Nuharoo adalah Riak Semi terdengar lebih bagus daripada nama barunya, Tetes Kebijakan Zen [Ajaran Buddha yang merupakan perpaduan dari bentuk Mahayana Buddha yang berkembang di India dengan filsafat Taoisme dari Cina. Zen menekankan renungan dan meditasi pribadi, daripada pembelajaran doktrin dan kitab]. Aku juga lebih suka Istana Penghimpunan daripada Istana Kehampaan Besar.

Selama berbulanbulan, Nuharoo menghabiskan waktunya memilih namanama itu. Lebih dari seratus papan dan plang nama diturunkan, dan plang dengan nama-nama baru dibuat dan dipasang. Serbukserbuk gergaji memenuhi udara saat tukang kayu menghaluskan papan nama. Nodanoda cat dan tinta tampak di manamana selagi Nuharoo menyuruh pelukis kaligrafi, yang gaya lukisnya tampak kurang sempurna di matanya, untuk mengulang karyanya.

Aku bertanya pada Nuharoo apakah pihak Istana telah menyetujui namanama baru ini. Dia menggeleng. “Akan butuh waktu lama untuk menjelaskan urgensi hal ini pada Dewan Istana, dan mereka tak akan menyukainya karena biaya yang harus dikeluarkan. Lebih baik aku tak merepotkan mereka.”

Dia mulai menyebutkan istana dengan namanama baru, seorang diri. Hal itu menimbulkan banyak kebingungan. Tak ada orang dalam departemendepartemen Kerajaan, yang biasa menerima perintah hanya dari Dewan Istana, diberi tahu. Tukang kebun menemui kesulitan besar mencari tahu di mana mereka seharusnya bekerja. Para pemikul tandu pergi ke tempat yang salah untuk mengantarjemput penumpangnya, dan Departemen Persediaan membuat kekacauan dengan mengirim barang ke alamat yang salah.

Nuharoo mengatakan bahwa dia telah membuat nama baru yang mengesankan untuk Istanaku. “Apa kausuka dengan 'Istana Tiada Bingung'?”

Namanya selama ini adalah Istana Musim Semi nan Panjang.

“Apa yang kauharap untuk kukatakan?”

“Katakan kau menyukainya, Putri Yehonala!” Dia memanggilku dengan gelar resmiku. “Itu adalah hasil kerja terbaikku. Kau harus menyukainya! Keinginanku adalah namanama baru ini akan menginspirasimu untuk mundur dari kesibukan duniamu, dan menemukan kesenangan yang lebih menenangkan.”

“Aku akan senang sekali jika bisa meletakkan jabatan mulai hari esok, jika saja aku bisa melupakan ancaman penggulingan kekuasaan.”

“Aku tak memintamu untuk menghentikan audiensi,” ucap Nuharoo, menepuk kedua pipinya dengan saputangan sutranya. “Lelaki bisa begitu licik dan perilaku mereka harus diawasi.”

Sungguh mengejutkanku mengetahui bahwa dia tidak sungguhsungguh saat menyuruhku untuk menyerahkan urusan pemerintahan pada para lelaki. Yang membuatku tak pernah habis pikir adalah melihat bagaimana dirinya bisa mencapai kekuasaan dengan menampakkan diri seolah tidak ingin berurusan sedikit pun dengannya.

Aku merasa lega mengetahui bahwa sebagian besar istana yang namanya diubah adalah area tinggal bagian dalam yang ditempati para selir. Karena tak ada catatan resmi tentang perubahan ini, semua orang kecuali Nuharoo, terus menyebut gedunggedung ini dengan nama lama mereka. Agar Nuharoo tak tersinggung, kata “lama” dilekatkan pada semua nama. Sebagai contoh, istanaku disebut Istana Musim Semi nan Panjang nan Lama.

Pada akhirnya, Nuharoo sendiri merasa lelah atas permainan ini. Dia akhirnya mengakui bahwa namanama baru itu membingungkan. Kasim rumahnya begitu kebingungan hingga mereka kehilangan arah sendiri saat berusaha menjalankan perintah. Nuharoo bermaksud mengirim kue bijiteratai padaku, tetapi kiriman itu berakhir di meja penjaga gerbang.

“Para kasim terlalu tolol,” ujar Nuharoo menyimpulkan. Dengan demikian, semuanya diubah kembali seperti semula, dan namanama baru itu segera terlupakan.


Antehai mengirim Li Lienying, yang sekarang merupakan murid kepercayaannya, untuk memijat kepalaku. Dengan pijatan yang lembut, aku merasa ketegangan tubuhku larut seperti lumpur dalam air. Aku memandang bayanganku di cermin dan menyadari bahwa keriput sudah merayapi kening mulusku. Kedua mataku memiliki kantong di bawahnya. Meski kecantikan wajahku tetap terpelihara, pancaran masa muda wajahku telah hilang.

Tak kuberi tahukan Antehai mengenai percakapanku dengan Tung Chih, tetapi sepertinya dia merasakannya. Dia mengirim Li Lienying untuk menjagaku pada malam hari dan memindahkan matras tidurnya ke luar kamar tidurku. Beberapa tahun kemudian, aku akan mengetahui bahwa kasimku telah mendapatkan ancaman dari putraku. Antehai diancam agar tak turut campur kalau tak ingin dihilangkan—yang artinya dibunuh. Untuk memastikan agar tak ada kasim yang menjadi akrab denganku, Antehai menggilir tugas pelayan kamarku. Butuh waktu cukup lama untukku menyadari maksudnya.

Di antara semua pelayanku, aku menyukai Li Lienying, yang telah melayaniku semenjak dirinya masih bocah kecil. Perangainya ramah dan memiliki kecakapan seperti Antehai, meski aku tak dapat berbincang leluasa dengannya sebagaimana dengan Antehai. Sebagai orang yang mahir melayani orang lain, Li Lienying adalah seorang yang terampil dengan tangannya, sementara Antehai adalah seorang seniman. Sebagai contoh, Antehai telah merancang berbagai cara untuk membawa Yung Lu memasuki pekarangan dalamku sekali waktu. Dia mengatur perbaikan jembatan dan genteng di sekitar istanaku sehingga pekerja dari luar harus dibawa masuk, yang akan dikawal oleh para pengawal kerajaan. Antehai meyakini rencananya akan memberi Yung Lu kesempatan untuk mengawasi. Rencana itu belum berhasil, tetapi Antehai terus berupaya mewujudkannya.

Li Lienying adalah kasim yang jauh lebih populer daripada Antehai. Dia memiliki kepandaian untuk menjalin pertemanan, kemampuan yang tak dimiliki oleh Antehai. Para pelayan tak pernah tahu kapan Antehai akan muncul menginspeksi pekerjaan mereka. Dan jika Antehai merasa tak puas, dia akan mencakmencak, berusaha “mendidik” mereka.

Rumor mulai berembus di kalangan para pelayan bahwa posisi Antehai sebagai kepala kasim akan segera digantikan oleh Li Lienying. Antehai terbakar rasa cemburu dan menduga Li telah merebut perhatianku. Suatu hari, Antehai menemukan satu alasan untuk menginterogasi Li. Saat Li protes, Antehai menyalahkan sikapnya yang dianggap tak sopan dan memerintahkan hukum cambuk padanya.

Untuk menunjukkan keadilan, aku juga memerintahkan hukum cambuk pada Antehai, menahan makanannya selama tiga hari, dan menempatkannya di ruang para kasim. Seminggu kemudian, aku pergi mengunjunginya. Dia sedang duduk di ruangan sempitnya, memeriksa lukalukanya. Ketika kutanyakan apa saja yang telah dia lakukan selama masa hukumannya, Antehai menunjukkan padaku sesuatu yang dia buat dari sisasisa kayu dan bahan kain.

Aku terkejut akan apa yang kulihat. “Sebuah kapal naga kecil!” Itu merupakan miniatur kapal, ditirukan dari salah satu armada Cheng Ho. Kapal itu tak lebih besar dari lengan Antehai, tetapi memiliki detail yang rumit, dengan layar, tiangtiang kapal, dan peti muatan yang sangat kecil.

“Suatu hari nanti aku ingin berlayar ke Selatan untuk melihat situs makam Cheng Ho di Nanking,” ujar Antehai. “Aku akan menghaturkan persembahan dan memohon pada arwahnya agar menerimaku sebagai murid dari jauh.”

Akhir musim panas 1869 sangat panas dan lembap. Aku harus mengganti pakaian dalamanku dua kali sehari. Jika aku tidak menggantinya, keringat akan melunturkan tinta celupnya ke jubah resmi kerajaanku. Karena Kota Terlarang hanya memiliki sedikit pohon, panas yang menerpa makin tak tertahan. Terpaan sinar terik matahari memanggang jalur setapak dari bebatuan. Setiap kali para kasim menuangkan air ke permukaan tanah, kami dapat mendengar bunyi desisan dan melihat uap air berwarna putih membubung ke udara.

Dewan Istana berusaha memendekkan waktu audiensi. Bongkahan es didatangkan, dan para tukang kayu membuat bangkubangku pengganti untuk menaruh bongkah es itu. Tamu yang dipanggil menghadap, yang mengenakan jubah resmi kerajaan yang tebal, akan menduduki tepat di atas es. Tengah hari, tumpahan air akan menggenang di bawah kursi. Hal itu membuatnya tampak seolah menteri-menteri itu mengompol.

Nuharoo mengenakan pakaian warna hijaulumutnya ketika dia memasuki Balairung Pemeliharaan Jiwa sewaktu masa reses audiensi. Para kasim mulai membuat kipas dari kayu untuk mendatangkan angin. Nuharoo kesal karena kipaskipas itu membuat bunyibunyi berisik, seperti suara jendela dan pintu terbanting.

Nuharoo duduk dengan anggunnya di kursi di depanku. Kami saling menatap pakaian, riasan wajah, dan tatanan rambut satu sama lain saat bertukar sapa. Aku benci mengenakan riasan wajah pada musim panas dan mengenakannya hanya tipistipis saja. Kuhirup teh dan berusaha menampilkan diri tertarik. Saat ini, aku sudah cukup kenal dengan Nuharoo hingga dapat memperkirakan bahwa undangan yang datang dari dirinya tak akan ada hubungannya dengan urusan penting negara. Pada masa lalu, Aku telah berusaha keras untuk mengajarkan sedikit padanya akan urusanurusan Istana. Namun, dia akan segera mengalihkan topik atau langsung mengabaikanku.

“Karena kau akan segera balik ke audiensi, aku akan sampaikan singkat saja.” Sembari tersenyum, Nuharoo menghirup tehnya. “Aku tengah berpikir tentang bagaimana orang yang telah mati akan senang mendengarkan orang hidup menangis pada hari arwah mereka kembali pulang. Bagaimana kita bisa tahu jika suami kita tidak menginginkan hal yang sama?”

Aku tak tahu maksud dari perkataannya, maka aku hanya menggumamkan masalah tumpukan kertas dokumen kerajaan yang tengah menggunung di atas mejaku. “Kenapa kita tak bisa membuat bayangan Surga untuk menyambut arwaharwah?” ujar Nuharoo. “Kita bisa mendandani para pelayan dalam kostum Dewi Bulan dan menempatkan mereka secara acak di atas kapal yang dihias di Sungai Kun Ming. Para kasim bisa bersembunyi di balik bukit dan di belakang paviliun, serta memainkan suling dan kecapi. Tidakkah Hsien Feng akan menyenanginya?”

“Aku takut itu akan mahal,” ujarku datar.

“Aku tahu kau akan berkata begitu!” Bibirnya mengerucut. “Pangeran Kung pasti penyebab suasana hatimu yang masam. Omongomong, aku sudah mulai memerintahkan dilangsungkannya pesta ini. Baik Dewan Istana punya uangnya atau tidak, Menteri Pendapatan akan bertanggung jawab untuk membayar perayaan mengenang kematian Kaisar. Ini hanya hal kecil.”

Di tengah audiensi, aku menyempatkan waktu mengurusi halhal yang dianggap oleh Pangeran Kung tak penting. Sebagai contoh, sebuah artikel merebut perhatianku. Artikel ini diterbitkan dalam Berita Terkini Istana, harian yang dibaca oleh sebagian besar pejabat pemerintah. Harian itu mencetak ulang esai pemenang pertama ujian pegawai kerajaan tahunan, berjudul “Penguasa yang Melebihi Kaisar Pertama Cina.”

Penulisnya memuji anakku habishabisan. Pilihan judulnya saja mengejutkan. Tulisan ini mengungkapkan padaku bahwa sesuatu yang tak sehat tengah berkembang di jantung pemerintahan sendiri.

Aku meminta diberikan daftar pemenang ujian dari para juri. Ketika daftar tersebut kuterima, kulingkari nama penulis itu dengan kuas tinta merah. Aku mencoretnya dari peringkat pertama dan mengirimkan kembali daftar itu,

Bukannya aku tak menyukai pujian, melainkan aku bisa membedakan antara pujian yang pantas diterima dan pujian yang ditujukan untuk menjilat. Sayangnya, orang-orang cenderung menerima berita yang disampaikan dari surat kabar begitu saja. Yang kucemaskan adalah jika aku gagal menghentikan kecenderungan memuji ini, rezim anakku pada akhirnya nanti, akan kehilangan kritik yang berharga.


“Aku belum mendengar kicauan burung merpati. Apa yang terjadi pada mereka?” Aku bertanya pada Antehai.

“Merpatimerpati itu telah pergi” jawab kasim. Meski gerakannya masih penuh gaya dan sikapnya tampak anggun, Antehai tampak gugup dan mata besarnya sudah kehilangan cahayanya. “Burungburung itu pasti memutuskan untuk menemukan rumah yang lebih ramah.”

“Apa itu karena kau telah mengabaikannya?”

Antehai diam. Lalu dia membungkuk. “Kubiarkan mereka pergi, Tuan Putri.”

“Mengapa?”

“Karena sangkarnya tak sesuai untuk mereka.”

“Sangkarsangkar mereka begitu luas! Rumah merpati kerajaan sama besarnya dengan kuil! Seberapa besar yang mereka butuhkan? Jika kaupikir mereka butuh ruangan lagi, minta saja pada tukang kayu untuk meluaskannya. Kau bahkan bisa menjadikannya dua tingkat, kalau kau mau. Buat jadi dua puluh sangkar, empat puluh sangkar, seratus sangkar!”

“Bukan ukurannya yang jadi masalah, Tuan Putri, atau jumlah sangkarnya itu sendiri.”

“Lalu apa yang jadi masalahnya?”

“Masalahnya adalah sangkar itu sendiri.”

“Itu tak pernah menjadi masalah buatmu sebelumnya.”

“Tapi sekarang ya.”

“Mustahil.”

Kasim itu menundukkan kepalanya. Setelah sejenak, dia bergumam, “Sangat menyakitkan terkungkung.”

“Merpati hanya binatang, Antehai! Imajinasimu mulai kacau.”

“Mungkin. Namun itu imajinasi yang sama dengan menganggap kegagalan sebagai kebahagiaan dan keagungan dalam hidupmu, Tuan Putri. Hal baiknya adalah, merpati tak sama seperti beo. Merpati bisa terbang bebas, sementara beo dirantai. Beo dipaksa untuk melayani, untuk menyenangkan orang dengan menirukan suarasuara manusia. Tuan Putri, kita juga telah kehilangan beo kita.”

“Yang mana?”

“Konfusius. “

“Bagaimana bisa?”

“Burung itu menolak mengatakan apa yang telah diajarinya. Ia telah bicara dengan bahasanya sendiri dan oleh karena itu, mesti dihukum. Kasim yang telah melatihnya telah berusaha sebisa mungkin. Dia telah mencoba berbagai trik yang dikenal berhasil pada masa lalu, termasuk melaparkan diri. Namun, Konfusius keras kepala dan tak mau mengucapkan satu patah kata pun. Ia mati kemarin.”

“Konfusius malang,“ Aku ingat burung yang cantik dan pandai itu, yang merupakan hadiah dari suamiku untukku. “Apa yang bisa kukatakan? Konfusius memang benar saat mengatakan bahwa manusia dilahirkan jahat.”

“Merpatimerpati itu beruntung,” ujar Antehai, menatap langit. “Jauh mereka terbang ke angkasa dan menghilang di balik awan. Aku tak menyesal telah membantu mereka membebaskan diri, Tuan Putri. Aku sesungguhnya merasa senang dengan apa yang telah kulakukan.“

“Bagaimana dengan pipa buluh yang kauikatkan pada kakikaki merpati itu? Apa kaubiarkan mereka membawa musik bersama mereka? Mereka akan diberikan makanan di bawah atap mana pun jika membawa musik.”

“Aku sudah singkirkan musik itu, Tuan Putri.”

“Semuanya?”

“Ya, semuanya.”

“Mengapa kau mau melakukan hal itu?”

“Bukankah mereka burungburung kerajaan, Tuan Putri? Tidakkah mereka berhak atas kebebasan?”


Pikiranku disibukkan oleh Tung Chih. Tiap menitnya aku ingin tahu di mana dia berada, apa yang sedang dia lakukan, dan apakah Tabib Sun Paotien berhasil mengobatinya. Kuperintahkan menu makanan Tung Chih diantarkan padaku karena aku tak yakin dia diberi makanan yang menyehatkan. Kukirim kasimkasim mengikuti temannya Tsaichen untuk memastikan bahwa kedua anak itu tetap tak berhubungan.

Aku merasa resah dan merasa terperangkap dalam kekuatan misterius yang mengatakan bahwa anakku tengah dalam bahaya. Baik Tung Chih maupun Tabib Sun Paotien menghindariku. Tung Chih bahkan menyibukkan diri dengan mengurusi dokumendokumen kerajaan agar aku meninggalkannya sendiri. Namun, kecemasanku tak juga hilang. Rasa itu bahkan berubah jadi ketakutan. Dalam mimpimimpi burukku, Tung Chih meminta pertolonganku dan aku tak mampu meraihnya.

Sebagai usaha untuk mengalihkan pikiran, aku memerintahkan pertunjukan opera ponpon dan mengundang kalangan dalam Istana untuk bergabung denganku. Semua orang terkejut karena opera ponpon dianggap sebagai hiburan orangorang kelasbawah. Aku sudah pernah melihat pertunjukan opera semacam itu di desa saat aku masih kecil. Setelah ayahku diturunkan pangkatnya, ibuku memanggil pertunjukan untuk menceriakan suasana hatinya. Aku ingat betapa aku sangat menikmatinya. Setelah tiba di Peking, aku ingin sekali menontonnya lagi, tetapi aku diberitahukan bahwa pertunjukan rendahan semacam itu dilarang di istana.

Anggota grup opera itu tak banyak, hanya dua wanita dan tiga pria, dan memiliki kostum lama dan properti yang menyedihkan. Mereka menemui kesulitan melewati gerbang karena pengawalnya tak memercayai bahwa aku telah memanggil mereka. Bahkan, Li Lienying tak bisa meyakinkan para pengawal, dan rombongan itu akhirnya baru diizinkan masuk setelah. Antehai muncul.

Sebelum pertunjukan, aku menyambut kepala rombongan secara pribadi. Dia seorang pria bertubuh kerempeng dengan mata rabun. Kuduga jubah yang dia kenakan adalah yang terbaik dimilikinya, tetapi itu pun dipenuhi dengan tambalan. Aku menyampaikan rasa terima kasihku atas kedatangannya dan menyuruh. para pelayan dapur untuk memberi mereka makan sebelum memulai pertunjukan.

Panggungnya sederhana. Tirai merah polos jadi latar belakangnya. Kepala grup duduk di atas bangku. Dia menyetem erhunya [Alat musik dengan dua senar yang dikenal sejak abad ke14 dan menjadi alat musik yang populer digunakan pada operaopera Cina pada abad ke19.], instrumen dengan dua senar, dan mulai memainkannya. Dia membuat suara yang mengingatkanku pada suara kain disobek. Musik itu terdengar seperti tangis kesedihan, tetapi anehnya ia terdengar lembut di telingaku.

Ketika sandiwara telah dimulai, aku melihat sekeliling dan menyadari hanya aku sendiri yang tinggal di kursi penonton selain Antehai dan Li Lienying. Semua orang diamdiam beranjak pergi. Alunan lagunya terdengar tak sama seperti ingatanku. Nadanya terdengar seperti suara angin bertiup tinggi ke angkasa. Jagat raya serasa disesaki oleh suarasuara kain sobek. Kubayangkan mungkin seperti inilah suara arwaharwah yang dikejar akan terdengar. Dalam benakku bisa kulihat lapangan bebatuan dan hutan-hutan cemara perlahanlahan tertutupi pasir.

Musik itu perlahan menghilang. Ketua grup merendahkan kepalanya ke atas dada seolaholah tertidur. Panggung pertunjukan hening. Kubayangkan Gerbang Surgawi membuka dan menutup dalam kegelapan.

Dua wanita dan seorang pria memasuki panggung. Mereka mengenakan blus biru besar. Masingmasing mereka membawa tongkat bambu dan genta Cina dari tembaga. Mereka mengelilingi ketua grup dan memukuli lonceng mereka sesuai dengan irama erhunya.

Seolah baru saja terbangun, lelaki itu mulai menyanyi. Lehernya memanjang seperti burung kalkun dan nada suaranya memekakkan telinga, seperti capung berderak di tengah musim panas yang paling menyengat:


Ada lobster tua

Yang hidup dalam lubang di bawah batu raksasa.

Ia keluar untuk melihat dunia

Dan ia pun kembali.

Kuangkat batu untuk menyapanya.

Semenjak aku melihatnya

Lobster itu menetap dalam lubangnya.


Hari demi hari,

Tahun demi tahun,

Perlahan


Terbungkus kegelapan dan genangan air,

MakhIuk yang penuh keyakinan

Tentunya lobster ini.


Ia mendengar suara bumi

Dan menyaksikan perubahannya.

Jamur di punggungnya mulai tumbuh

Menjadi rumput nan indah.


Memukul gentanya mengikuti alunan lagu, tiga orang lainnya bergabung menyanyi:


Oh lobster,

Tak kuketahui apa pun tentangmu.

Dari mana asalmu?

Di mana keluargamu?

Apa yang membuatmu pindah

dan bersembunyi dalam lubang ini?


Aku ingin anakku bisa tinggal untuk menyaksikan seluruh pertunjukannya.





8



AKU MEMULAI MEMBAcA Kisah Kehidupan Tiga Dinasti, sejarah Kaisar Cina pada masa setelah Dinasti Han, mencakup empat ratus tahun. Buku enam jilid itu setebal dan seberat batu bata. Buku ini hanya berisi catatancatatan kemenangan, satu kemenangan mengikuti yang lainnya seolah tiada akhir. Aku berharap bisa mengetahui keinginan para karakternya, tidak hanya petualangan militernya. Aku ingin tahu mengapa orangorang ini berperang, bagaimana setiap pahlawannya dibesarkan, dan peran apakah yang dimainkan ibunya.

Usai menuntaskan jilid pertama, kusimpulkan buku ini tak akan bisa memberi apa yang kucari. Aku bisa saja menyebut namanama dari semua karakter yang ada, tetapi aku tetap tak mengerti diri mereka sebenarnya. Puisi dan syair mengenai peperangan terkenal mereka sangat indah, tetapi aku tak dapat menangkap arti peperangan itu bagi mereka. Sangat tak masuk akal bagiku mengetahui orangorang akan berperang tanpa adanya alasan. Pada akhirnya, aku menenangkan diriku dengan berpikir bahwa aku akan aman—dan meraih halhal besar—selama aku bisa membedakan antara orangorang baik dan jahat. Pada masa lima puluh tahunku berkuasa di balik singgasana, akan kuketahui bahwa bukan itulah masalahnya. Sering kali rencanarencana terburuk ditampilkan oleh orang-orang terbaikku, dan dengan niatan paling baik sekalipun.

Aku belajar untuk lebih memercayai naluriku daripada penilaianku. Perspektif dan pengalamanku yang kurasa kurang membuatku jadi lebih awas dan berhati-hati. Sekali waktu, rasa ketidakamananku akan membuatku meragukan naluriku sendiri, yang mengakibatkan keputusankeputusan yang kelak kusesali. Sebagai contoh, kutahan persetujuanku ketika Pangeran Kung menyarankan agar kami menggunakan guru Inggris untuk mengajari Tung Chih tentang masalah dunia. Dewan Istana juga tak menyetujui ide itu. Aku setuju dengan para Penasihat Agung bahwa Tung Chih berada dalam usia yang rentan dan masih bisa dengan mudahnya dimanipulasi dan dipengaruhi.

“Paduka Yang Mulia harus memahami apa yang telah diderita bangsa Cina,” satu penasihat mendebat. “Kenyataan bahwa bangsa Inggris bertanggung jawab atas kejatuhan dinasti kita belum juga tertanam kuat dalam benak Tung Chih.” Yang lain menyetujuinya: “Mengizinkan Tung Chih dididik oleh Inggris sama artinya dengan pengkhianatan terhadap para leluhur kita.“

Kenangan akan kematian suamiku masih kuat dalam ingatan. Bau asap dari terbakarnya rumah kami—Taman Agung Bundar, Yuan Ming Yuan—belum juga hilang. Tak dapat kubayangkan putraku berbicara dalam bahasa Inggris dan berkawan dengan musuhmusuh ayahnya.

Setelah malammalam kulalui tanpa tidur, aku telah memutuskan. Kutolak proposal Pangeran Kung dan mengatakan padanya bahwa “Yang Mulia Kaisar Muda Tung Chih harus memahami dirinya sendiri terlebih dulu.”

Akan kuhabiskan sisa hidupku menyesali keputusanku kelak.

Jika Tung Chih telah belajar berkomunikasi dengan orangorang Inggris, atau pergi atau menuntut ilmu di luar, dia mungkin bisa menjadi kaisar yang berbeda. Dia mungkin akan terinspirasi oleh pencapaian mereka dan menyaksikan kepemimpinan mereka. Dia mungkin akan mengembangkan Cina yang lebih berpandangan ke depan, atau setidaknya tertarik untuk mencobanya.


Sore itu tak berawan ketika Nuharoo mengumumkan bahwa semua telah siap untuk pemilihan final calon mempelai bagi Tung Chih. Kuikuti saja kemauannya karena kupikir itulah yang seharusnya. Untuk memastikan dukungan dari Nuharoo di Istana, aku perlu menjaga hubungan baik dengannya. Aku merasa tak siap menyaksikan Tung Chih menikah; aku belum bisa menerima kenyataan bahwa dia telah menjadi lelaki dewasa. Rasanya baru kemarin dia masih bayi yang kutimangtimang. Tak pernah kurasakan perih yang begitu menghunjam, mengingat masamasa kebersamaan dengan anakku pada saat kecilnya yang terampas.

Karena peraturan yang ditetapkan oleh Nuharoo dan juga jadwal Istanaku, aku nyaris tak pernah hadir dalam masa kanakkanak Tung Chih. Meski aku menyimpan bekas goresan di bingkai pintu yang menandai tinggi badan anakku yang terus tumbuh seiring tahun, aku tahu sebagian kegemaran atau pikirannya, tetapi dia sangat membenci liarapan yang kumiliki atas dirinya. Dia kesal jika aku bertanya padanya, bahkan salam yang kusampaikan tiap paginya membuat wajahnya merengut. Dia mengatakan pada semua orang bahwa Nuharoo lebih menyenangkan. Kenyataan bahwa aku dan dia saling bersaing untuk merebut kasih sayangnya makin memperburuk masalah. Bisa dimengerti mengapa Tung Chih tidak menaruh hormat padaku; aku sangat membutuhkan cintanya. Namun semakin aku memohon, semakin dia tak ingin bersamaku.

Kini, tibatiba, dia sudah tumbuh dewasa. Masaku untuk bisa berdekatan dengan dirinya telah habis.

Dengan senyum terkulum di wajahnya, Tung Chih memasuki balairung utama berpakaian serba emas. Tak seperti ayahnya dulu, dia akan turut berpartisipasi dalam pemilihan. Ribuan gadis cantik dari seluruh penjuru Cina dibawa memasuki gerbang Kota Terlarang untuk berjalan di hadapan Kaisar.

“Tung Chih tak pernah bisa bangun pagi, tetapi hari ini dia bangun sebelum para kasim,” Nuharoo memberi tahuku.

Aku tak yakin apa harus menganggapnya sebagai berita baik. Kunjungannya ke rumah bordil menghantuiku. Dengan bantuan Tabib Sun Paotien, penyakit Tung Chih tampak sudah terkendali. Namun, tak ada yang bisa memastikan bahwa penyakit itu tak akan kambuh lagi.

Tung Chih akan diberi kewenangan lebih besar untuk melakukan apa yang dia inginkan dalam kehidupan pribadinya kini, setelah dia secara resmi naik takhta. Baginya, pernikahan sama dengan kebebasan.

“Kebandelan Tung Chih disebabkan oleh kebosanannya,” ujar Nuharoo. “Kalau tidak, bagaimana kaubisa jelaskan tentang prestasi akademisnya?”

Aku sangsi guruguru Tung Chih mengatakan yang sebenarnya mengenai kemajuan akademisnya. Nuharoo akan segera memecat seorang guru jika dia berani melaporkan nilai buruknya. Aku berusaha menguji kejujuran guru-guru itu terhadap prestasi Tung Chih sebenarnya, dengan mengusulkan agar Tung Chih mengikuti ujian pegawai kerajaan. Ketika guru utama menjadi panik dan menghindari pembahasan topik itu, aku tahu kebenarannya.

“Tung Chih perlu diberi tanggung jawab agar jadi lebih matang,“ saran Pangeran Kung.

Aku merasa hanya itu satusatunya pilihan yang masuk akal. Namun, aku tetap saja merasa khawatir. Tung Chih naik takhta sama artinya aku menyerahkan kekuasaan. Meskipun selama ini aku selalu menantikan saatsaat pengunduran diriku, tetapi aku mencurigai bukan Tung Chihlah yang akan mengambil alih kekuasaanku sekarang, melainkan Dewan Istana dan Pangeran Kung.

Nuharoo juga bersemangat menantikan pengunduran diriku. Dia mengatakan bahwa dia sangat menantikan kebersamaanku: “Akan banyak sekali yang bisa kita lakukan bersama, terutama saat cucucucu kita nanti lahir.” Apa dia akan merasa lebih aman saat aku mundur dari jabatan? Ataukah dia memiliki niatan lain? Tung Chih sebagai pemegang kendali, berarti Nuharoo akan memiliki pengaruh lebih besar atas keputusankeputusan yang dia ambil. Bukankah sudah kuketahui selama ini bahwa Nuharoo sesungguhnya tak sama dengan apa yang dia tampilkan?

Aku putuskan untuk menyetujui proposal Dewan Istana, bukan karena aku percaya Tung Chih sudah siap, melainkan karena sudah saatnya baginya untuk mengendalikan hidupnya sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sun Tzu dalam bukunya Seni Peperangan, “Seseorang tak akan tahu caranya berperang sebelum dirinya benar-benar terjun dalam peperangan.”


Pada 25 Agustus 1872, pemilihan calon istri Kerajaan usai. Tung Chih belum genap tujuh belas tahun.

Nuharoo dan aku merayakan “masa bahagia pengunduran diri” kami. Kami akan disebut Ibu Suri Agung meskipun dia baru berusia tiga puluh tujuh dan aku hampir tiga puluh delapan.

Calon istri Kaisar terpilih adalah seorang gadis cantik delapan belas tahun bermata kucing bernama Alute. Dia adalah anak dari seorang pejabat Mongol yang merupakan relasi lama kerajaan. Ayah Alute adalah kerabat pangeran yang merupakan sepupu jauh suamiku.

Tung Chih beruntung memperoleh wanita seperti itu. Istana tak akan menyetujui pilihannya hanya semata karena kecantikannya. Alasan pihak kerajaan memilih Alute adalah karena pernikahan ini akan membantu memulihkan perselisihan antara pihak kekuasaan Manchu dan klan Mongol yang berkuasa.

“Meski Alute seorang Mongol, dia tak pernah diperbolehkan bermain di bawah sinar terik matahari atau menunggang kuda,” ujar Nuharoo bangga, mengingat Alute merupakan pilihannya. “Itu sebabnya kulitnya sangat cerah dan wajahnya begitu lembut.”

Aku tak terlalu terkesan dengan Alute. Dia sangat pemalu sampaisampai kukira bisu. Saat kami diberi kesempatan menghabiskan waktu bersama, perbincangan tak berjalan. Dia akan menyetujui apa pun yang kukatakan sehingga aku tak bisa mencari tahu kepribadiannya lebih mendalam. Nuharoo mengatakan aku terlalu muluk. “Selama menantu kita melakukan apa yang kita katakan, apa gunanya mengetahui pikirannya?”

Pilihanku jatuh pada seorang gadis tujuh belas tahun yang tampak penuh semangat, bernama Foocha. Meski wajahnya tak seeksotis Alute, Foocha juga sangat memenuhi kualifikasi. Dia memiliki bentuk wajah lonjong, bermata sipit melengkung ke atas, dan berkulit kecokelatan sedikit terbakar matahari. Dia seorang anak gubernur dan telah dididik sastra dan puisi secara pribadi, yang tak umum. Foocha tampak manis, tetapi penuh semangat. Saat Nuharoo dan aku menanyakan apa yang akan dia lakukan jika suaminya menghabiskan terlalu banyak waktu bermainmain dengannya dan mengabaikan urusanurusan negara, Foocha menjawab, “Aku tak tahu.”

“Dia seharusnya menjawab bahwa dia akan membujuk suaminya untuk mengerjakan tugasnya, bukannya mengejar kesenangan,“ Nuharoo mengambil sebatang pena dan meneoret nama Foocha dari daftar.

“Tetapi bukankah kejujuran yang memang kita cari?” debatku, meski mengetahui Nuharoo tak akan bisa diminta untuk mengubah pikirannya.

Tung Chih tampak tertarik pada Foocha, tetapi dia sungguh jatuh hati pada Alute.

Aku tak mendesak Tung Chih untuk memilih Foocha sebagai Permaisurinya. Foocha akan menjadi istri kedua Tung Chih.


Pernikahan Kerajaan direncanakan akan dilansungkan pada 16 Oktober. Persiapannya, terutama pembelian barangbarang dan materi upacara, mulai dilaksanakan di bawah pengawasan Nuharoo. Sebagai upaya membungkamku, Nuharoo mengizinkanku untuk memilih tema pernikahannya dan menyarankan agar Antehai diberi tanggung jawab memimpin tugas pembelian.

Ketika kukatakan pada kasimku akan keputusan Nuharoo ini, dia sangat senang. Namun kuperingatkan dia, “Ini akan jadi perjalanan jauh yang melelahkan dalam jangka waktu yang singkat. “

“Jangan khawatir, Tuan Putri. Akan kutaklukkan Kanal Besar.”

Aku tertarik pada ide Antehai. Kanal Besar merupakan hasil karya sejarah luar biasa yang menghampar sejauh delapan ratus mil, menghubungkan Tungchow di dekat ibu kota dengan Hangchow di Selatan.

“Seberapa jauh kau bersedia berlayar lewat kanal?” tanyaku.

“Hingga ke ujungnya, Hangchow,” jawab Antehai. “Ini akan membuat mimpi jadi kenyataan! Jumlah barang yang diminta untuk kubeli akan membutuhkan armada dengan beberapa kapal, mungkin sebesar armada Cheng Ho! Kepala kasim dari Dinasti Ch'ing yang Agung akan menjadi Pemimpin Pelayaran! Oh, tak dapat kubayangkan bagaimana perjalanan ini nantinya! Aku akan berhenti di Nanking untuk mencari sutra terbaik. Aku akan berziarah ke situs makam Cheng Ho. Tuan Putri, kau telah menjadikanku manusia paling bahagia di dunia!” Tak pernah kupikir kesayanganku tak akan pernah kembali.

Kejadian yang mengelilingi kematian Antehai tetap menjadi sebuah misteri. Tetapi jelas, itu merupakan pembalasan musuhmusuhku. Satusatunya pikiran yang menghiburku adalah bahwa saat itu Antehai betulbetul bahagia. Tak pernah kusadari betapa besarnya rasa sayangku padanya dan betapa aku sangat membutuhkannya, hingga saat dia telah pergi. Bertahuntahun berikutnya, aku berkesimpulan bahwa itu tak terlalu buruk untuknya. Meski dia memperoleh restuku dan memiliki kekayaan besar, dia sudah muak hidup dalam tubuh seorang kasim.




8



AKU MEMULAI MEMBAcA Kisah Kehidupan Tiga Dinasti, sejarah Kaisar Cina pada masa setelah Dinasti Han, mencakup empat ratus tahun. Buku enam jilid itu setebal dan seberat batu bata. Buku ini hanya berisi catatancatatan kemenangan, satu kemenangan mengikuti yang lainnya seolah tiada akhir. Aku berharap bisa mengetahui keinginan para karakternya, tidak hanya petualangan militernya. Aku ingin tahu mengapa orangorang ini berperang, bagaimana setiap pahlawannya dibesarkan, dan peran apakah yang dimainkan ibunya.

Usai menuntaskan jilid pertama, kusimpulkan buku ini tak akan bisa memberi apa yang kucari. Aku bisa saja menyebut namanama dari semua karakter yang ada, tetapi aku tetap tak mengerti diri mereka sebenarnya. Puisi dan syair mengenai peperangan terkenal mereka sangat indah, tetapi aku tak dapat menangkap arti peperangan itu bagi mereka. Sangat tak masuk akal bagiku mengetahui orangorang akan berperang tanpa adanya alasan. Pada akhirnya, aku menenangkan diriku dengan berpikir bahwa aku akan aman—dan meraih halhal besar—selama aku bisa membedakan antara orangorang baik dan jahat. Pada masa lima puluh tahunku berkuasa di balik singgasana, akan kuketahui bahwa bukan itulah masalahnya. Sering kali rencanarencana terburuk ditampilkan oleh orang-orang terbaikku, dan dengan niatan paling baik sekalipun.

Aku belajar untuk lebih memercayai naluriku daripada penilaianku. Perspektif dan pengalamanku yang kurasa kurang membuatku jadi lebih awas dan berhati-hati. Sekali waktu, rasa ketidakamananku akan membuatku meragukan naluriku sendiri, yang mengakibatkan keputusankeputusan yang kelak kusesali. Sebagai contoh, kutahan persetujuanku ketika Pangeran Kung menyarankan agar kami menggunakan guru Inggris untuk mengajari Tung Chih tentang masalah dunia. Dewan Istana juga tak menyetujui ide itu. Aku setuju dengan para Penasihat Agung bahwa Tung Chih berada dalam usia yang rentan dan masih bisa dengan mudahnya dimanipulasi dan dipengaruhi.

“Paduka Yang Mulia harus memahami apa yang telah diderita bangsa Cina,” satu penasihat mendebat. “Kenyataan bahwa bangsa Inggris bertanggung jawab atas kejatuhan dinasti kita belum juga tertanam kuat dalam benak Tung Chih.” Yang lain menyetujuinya: “Mengizinkan Tung Chih dididik oleh Inggris sama artinya dengan pengkhianatan terhadap para leluhur kita.“

Kenangan akan kematian suamiku masih kuat dalam ingatan. Bau asap dari terbakarnya rumah kami—Taman Agung Bundar, Yuan Ming Yuan—belum juga hilang. Tak dapat kubayangkan putraku berbicara dalam bahasa Inggris dan berkawan dengan musuhmusuh ayahnya.

Setelah malammalam kulalui tanpa tidur, aku telah memutuskan. Kutolak proposal Pangeran Kung dan mengatakan padanya bahwa “Yang Mulia Kaisar Muda Tung Chih harus memahami dirinya sendiri terlebih dulu.”

Akan kuhabiskan sisa hidupku menyesali keputusanku kelak.

Jika Tung Chih telah belajar berkomunikasi dengan orangorang Inggris, atau pergi atau menuntut ilmu di luar, dia mungkin bisa menjadi kaisar yang berbeda. Dia mungkin akan terinspirasi oleh pencapaian mereka dan menyaksikan kepemimpinan mereka. Dia mungkin akan mengembangkan Cina yang lebih berpandangan ke depan, atau setidaknya tertarik untuk mencobanya.


Sore itu tak berawan ketika Nuharoo mengumumkan bahwa semua telah siap untuk pemilihan final calon mempelai bagi Tung Chih. Kuikuti saja kemauannya karena kupikir itulah yang seharusnya. Untuk memastikan dukungan dari Nuharoo di Istana, aku perlu menjaga hubungan baik dengannya. Aku merasa tak siap menyaksikan Tung Chih menikah; aku belum bisa menerima kenyataan bahwa dia telah menjadi lelaki dewasa. Rasanya baru kemarin dia masih bayi yang kutimangtimang. Tak pernah kurasakan perih yang begitu menghunjam, mengingat masamasa kebersamaan dengan anakku pada saat kecilnya yang terampas.

Karena peraturan yang ditetapkan oleh Nuharoo dan juga jadwal Istanaku, aku nyaris tak pernah hadir dalam masa kanakkanak Tung Chih. Meski aku menyimpan bekas goresan di bingkai pintu yang menandai tinggi badan anakku yang terus tumbuh seiring tahun, aku tahu sebagian kegemaran atau pikirannya, tetapi dia sangat membenci liarapan yang kumiliki atas dirinya. Dia kesal jika aku bertanya padanya, bahkan salam yang kusampaikan tiap paginya membuat wajahnya merengut. Dia mengatakan pada semua orang bahwa Nuharoo lebih menyenangkan. Kenyataan bahwa aku dan dia saling bersaing untuk merebut kasih sayangnya makin memperburuk masalah. Bisa dimengerti mengapa Tung Chih tidak menaruh hormat padaku; aku sangat membutuhkan cintanya. Namun semakin aku memohon, semakin dia tak ingin bersamaku.

Kini, tibatiba, dia sudah tumbuh dewasa. Masaku untuk bisa berdekatan dengan dirinya telah habis.

Dengan senyum terkulum di wajahnya, Tung Chih memasuki balairung utama berpakaian serba emas. Tak seperti ayahnya dulu, dia akan turut berpartisipasi dalam pemilihan. Ribuan gadis cantik dari seluruh penjuru Cina dibawa memasuki gerbang Kota Terlarang untuk berjalan di hadapan Kaisar.

“Tung Chih tak pernah bisa bangun pagi, tetapi hari ini dia bangun sebelum para kasim,” Nuharoo memberi tahuku.

Aku tak yakin apa harus menganggapnya sebagai berita baik. Kunjungannya ke rumah bordil menghantuiku. Dengan bantuan Tabib Sun Paotien, penyakit Tung Chih tampak sudah terkendali. Namun, tak ada yang bisa memastikan bahwa penyakit itu tak akan kambuh lagi.

Tung Chih akan diberi kewenangan lebih besar untuk melakukan apa yang dia inginkan dalam kehidupan pribadinya kini, setelah dia secara resmi naik takhta. Baginya, pernikahan sama dengan kebebasan.

“Kebandelan Tung Chih disebabkan oleh kebosanannya,” ujar Nuharoo. “Kalau tidak, bagaimana kaubisa jelaskan tentang prestasi akademisnya?”

Aku sangsi guruguru Tung Chih mengatakan yang sebenarnya mengenai kemajuan akademisnya. Nuharoo akan segera memecat seorang guru jika dia berani melaporkan nilai buruknya. Aku berusaha menguji kejujuran guru-guru itu terhadap prestasi Tung Chih sebenarnya, dengan mengusulkan agar Tung Chih mengikuti ujian pegawai kerajaan. Ketika guru utama menjadi panik dan menghindari pembahasan topik itu, aku tahu kebenarannya.

“Tung Chih perlu diberi tanggung jawab agar jadi lebih matang,“ saran Pangeran Kung.

Aku merasa hanya itu satusatunya pilihan yang masuk akal. Namun, aku tetap saja merasa khawatir. Tung Chih naik takhta sama artinya aku menyerahkan kekuasaan. Meskipun selama ini aku selalu menantikan saatsaat pengunduran diriku, tetapi aku mencurigai bukan Tung Chihlah yang akan mengambil alih kekuasaanku sekarang, melainkan Dewan Istana dan Pangeran Kung.

Nuharoo juga bersemangat menantikan pengunduran diriku. Dia mengatakan bahwa dia sangat menantikan kebersamaanku: “Akan banyak sekali yang bisa kita lakukan bersama, terutama saat cucucucu kita nanti lahir.” Apa dia akan merasa lebih aman saat aku mundur dari jabatan? Ataukah dia memiliki niatan lain? Tung Chih sebagai pemegang kendali, berarti Nuharoo akan memiliki pengaruh lebih besar atas keputusankeputusan yang dia ambil. Bukankah sudah kuketahui selama ini bahwa Nuharoo sesungguhnya tak sama dengan apa yang dia tampilkan?

Aku putuskan untuk menyetujui proposal Dewan Istana, bukan karena aku percaya Tung Chih sudah siap, melainkan karena sudah saatnya baginya untuk mengendalikan hidupnya sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sun Tzu dalam bukunya Seni Peperangan, “Seseorang tak akan tahu caranya berperang sebelum dirinya benar-benar terjun dalam peperangan.”


Pada 25 Agustus 1872, pemilihan calon istri Kerajaan usai. Tung Chih belum genap tujuh belas tahun.

Nuharoo dan aku merayakan “masa bahagia pengunduran diri” kami. Kami akan disebut Ibu Suri Agung meskipun dia baru berusia tiga puluh tujuh dan aku hampir tiga puluh delapan.

Calon istri Kaisar terpilih adalah seorang gadis cantik delapan belas tahun bermata kucing bernama Alute. Dia adalah anak dari seorang pejabat Mongol yang merupakan relasi lama kerajaan. Ayah Alute adalah kerabat pangeran yang merupakan sepupu jauh suamiku.

Tung Chih beruntung memperoleh wanita seperti itu. Istana tak akan menyetujui pilihannya hanya semata karena kecantikannya. Alasan pihak kerajaan memilih Alute adalah karena pernikahan ini akan membantu memulihkan perselisihan antara pihak kekuasaan Manchu dan klan Mongol yang berkuasa.

“Meski Alute seorang Mongol, dia tak pernah diperbolehkan bermain di bawah sinar terik matahari atau menunggang kuda,” ujar Nuharoo bangga, mengingat Alute merupakan pilihannya. “Itu sebabnya kulitnya sangat cerah dan wajahnya begitu lembut.”

Aku tak terlalu terkesan dengan Alute. Dia sangat pemalu sampaisampai kukira bisu. Saat kami diberi kesempatan menghabiskan waktu bersama, perbincangan tak berjalan. Dia akan menyetujui apa pun yang kukatakan sehingga aku tak bisa mencari tahu kepribadiannya lebih mendalam. Nuharoo mengatakan aku terlalu muluk. “Selama menantu kita melakukan apa yang kita katakan, apa gunanya mengetahui pikirannya?”

Pilihanku jatuh pada seorang gadis tujuh belas tahun yang tampak penuh semangat, bernama Foocha. Meski wajahnya tak seeksotis Alute, Foocha juga sangat memenuhi kualifikasi. Dia memiliki bentuk wajah lonjong, bermata sipit melengkung ke atas, dan berkulit kecokelatan sedikit terbakar matahari. Dia seorang anak gubernur dan telah dididik sastra dan puisi secara pribadi, yang tak umum. Foocha tampak manis, tetapi penuh semangat. Saat Nuharoo dan aku menanyakan apa yang akan dia lakukan jika suaminya menghabiskan terlalu banyak waktu bermainmain dengannya dan mengabaikan urusanurusan negara, Foocha menjawab, “Aku tak tahu.”

“Dia seharusnya menjawab bahwa dia akan membujuk suaminya untuk mengerjakan tugasnya, bukannya mengejar kesenangan,“ Nuharoo mengambil sebatang pena dan meneoret nama Foocha dari daftar.

“Tetapi bukankah kejujuran yang memang kita cari?” debatku, meski mengetahui Nuharoo tak akan bisa diminta untuk mengubah pikirannya.

Tung Chih tampak tertarik pada Foocha, tetapi dia sungguh jatuh hati pada Alute.

Aku tak mendesak Tung Chih untuk memilih Foocha sebagai Permaisurinya. Foocha akan menjadi istri kedua Tung Chih.


Pernikahan Kerajaan direncanakan akan dilansungkan pada 16 Oktober. Persiapannya, terutama pembelian barangbarang dan materi upacara, mulai dilaksanakan di bawah pengawasan Nuharoo. Sebagai upaya membungkamku, Nuharoo mengizinkanku untuk memilih tema pernikahannya dan menyarankan agar Antehai diberi tanggung jawab memimpin tugas pembelian.

Ketika kukatakan pada kasimku akan keputusan Nuharoo ini, dia sangat senang. Namun kuperingatkan dia, “Ini akan jadi perjalanan jauh yang melelahkan dalam jangka waktu yang singkat. “

“Jangan khawatir, Tuan Putri. Akan kutaklukkan Kanal Besar.”

Aku tertarik pada ide Antehai. Kanal Besar merupakan hasil karya sejarah luar biasa yang menghampar sejauh delapan ratus mil, menghubungkan Tungchow di dekat ibu kota dengan Hangchow di Selatan.

“Seberapa jauh kau bersedia berlayar lewat kanal?” tanyaku.

“Hingga ke ujungnya, Hangchow,” jawab Antehai. “Ini akan membuat mimpi jadi kenyataan! Jumlah barang yang diminta untuk kubeli akan membutuhkan armada dengan beberapa kapal, mungkin sebesar armada Cheng Ho! Kepala kasim dari Dinasti Ch'ing yang Agung akan menjadi Pemimpin Pelayaran! Oh, tak dapat kubayangkan bagaimana perjalanan ini nantinya! Aku akan berhenti di Nanking untuk mencari sutra terbaik. Aku akan berziarah ke situs makam Cheng Ho. Tuan Putri, kau telah menjadikanku manusia paling bahagia di dunia!” Tak pernah kupikir kesayanganku tak akan pernah kembali.

Kejadian yang mengelilingi kematian Antehai tetap menjadi sebuah misteri. Tetapi jelas, itu merupakan pembalasan musuhmusuhku. Satusatunya pikiran yang menghiburku adalah bahwa saat itu Antehai betulbetul bahagia. Tak pernah kusadari betapa besarnya rasa sayangku padanya dan betapa aku sangat membutuhkannya, hingga saat dia telah pergi. Bertahuntahun berikutnya, aku berkesimpulan bahwa itu tak terlalu buruk untuknya. Meski dia memperoleh restuku dan memiliki kekayaan besar, dia sudah muak hidup dalam tubuh seorang kasim.

 Sudah lewat dari tengah malam dan semua suara di pekarangan Kota Terlarang sudah lenyap. Kunyalakan lilin dengan harum bunga melati kesukaan Antehai, dan membacakan sebuah puisi yang kurangkai untuknya.


Betapa terangnya sungai dan Bukit Selatan,

Dengan padang merentang bagai benang emas.

Seberapa seringnya, dengan segelas arak di tangan, kau hadir di sini

Untuk membuat kita bertahan, meski bagai mabuk.

Di tengah Kolam Lili, begitu terang lampion baru dinyalakan,

Kau mainkan Alunan Air di kegelapan malam.

Ketika kukembali, embusan angin berhenti,

terang bulan membuka jalan

Bersama rerumputan hijau, sungai pun melambai.




10



USAI PERNIKAHAN TUNG CHIH, Nuharoo dan aku meminta ahli nujum untuk memilih tanggal yang dinilai membawa keberuntungan bagi Kaisar untuk menaiki takhta. Tanda perbintangan menunjukkan pada 23 Februari 1873. Meskipun Tung Chih sudah mulai mengerjakan tugastugas kerajaan, menduduki takhta belum dianggap sah hingga upacaraupacara seremonial yang panjang dan rumit selesai dilangsungkan. Upacara ini bisa memakan waktu berbulanbulan: seluruh anggota klan senior harus hadir, dan semuanya harus mengunjungi kuil-kuil leluhur mereka dan melakukan ritualritual persembahan di altar yang diwajibkan. Tung Chih harus memintakan izin pada para arwah leluhur dan memohonkan restu dan perlindungan mereka.

Tak lama setelah pentahbisannya sebagai Kaisar, Tsungli Yamen, Biro Urusan Luar Negri, menerima catatan dari para duta besar beberapa negara asing yang meminta diadakannya audiensi. Biro ini telah menerima permintaan semacam ini sebelumnya, tetapi pihak Istana selalu menjadikan usia Tung Chih yang masih muda sebagai alasan untuk tak mengabulkannya. Kini Tung Chih mengabulkan permintaan itu. Dengan bantuan Pangeran Kung, dia berlatih tata cara audiensi secara menyeluruh.

Pada 29 Juni 1873, anakku menerima duta besar Jepang, Inggris Raya, Prancis, Rusia, Amerika Serikat, dan Belanda. Para tamu berkumpul pada pukul sembilan pagi dan dibawa masuk ke Paviliun Sinar Ungu, sebuah bangunan besar yang berundakundak tempat Tung Chih duduk di atas kursi singgasana.

Aku merasa cemas karena itu adalah kali pertama anakku berhadapan dengan dunia. Aku tak tahu akan ditantang seperti apakah dia, dan berharap dia bisa meninggalkan kesan yang kuat. Kukatakan padanya bahwa Cina tak bisa lagi menanggung kesalahpahaman.

Aku tak akan menghadiri pertemuan itu, tetapi kukerjakan apa yang bisa kulakukan sebagai seorang Ibu: Kupastikan anakku mendapatkan sarapan yang baik dan menangani pakaiannya secermat mungkin—memeriksa kancingkancing pada jubah naganya, batu permata pada topinya, rendarenda pada hiasan bajunya. Setelah apa yang diperbuatnya pada Antehai, aku telah bersumpah untuk menahan rasa sayangku pada Tung Chih, tetapi aku tak sanggup menepati janjiku. Aku tak bisa tak mencintai anakku.


Beberapa hari kemudian, Pangeran Kung mengirimiku salinan publikasi asing bernama The Peking Gazette (Harian Gazette). Harian itu menunjukkan bahwa Tung Chih cukup sukses dalam audiensinya: “Para menteri mengakui bahwa kebajikan agung memancar dari diri Kaisar sehingga mereka merasa takut dan gemetar meski mereka tak menatap diri Kaisar Yang Mulia.”

Aku bisa mundur sekarang adalah pikiran yang saat itu melintas dalam benakku. Aku akan menyerahkan urusan-urusan istana pada orang lain, memberiku waktu untuk bisa mengejar kesenangan pribadi yang selama ini hanya bisa kuimpikan. Berkebun dan opera merupakan dua minatku yang ingin kukerjakan. Satu hal pasti, aku selalu ingin mencoba menanam sayuran. Keinginanku menanam tomat dan kol telah membuat Menteri Kerajaan bidang Pertamanan kerepotan, tetapi akan kucoba lagi. Opera selalu menjadi hiburan yang menyenangkan buatku, dan mungkin aku akan mengikuti pelajaran vokal agar aku bisa menyanyikan lagulagu kesukaanku. Dan tentu, aku memimpikan kehadiran cucu: dalam kunjungan khususku ke Alute dan Foocha, aku berjanji pada menantuku akan meningkatkan peringkat jika mereka berhasil mengandung. Aku rindu saatsaat membesarkan Tung Chih ketika bayi dan menginginkan sebuah kesempatan baru.

Ketika aku duduk mengerjakan lukisan untuk anakku, aku berusaha menggambar berbagai objek lukis berbeda. Selain bunga dan burung, aku juga melukis ikan di kolam, tupai bermain di pohon, rusa di tengah padang luas. Beberapa lukisan terbaikku kupilih untuk disulam. “Untuk cucucucuku,” kataku pada penjahit kerajaan.

Anakku ingin mulai memugar rumah tamanku yang lama, Yuan Ming Yuan, yang telah dibakar habis oleh bangsa asing sembilan tahun lalu. Jika saja aku tak mengkhawatirkan biayanya, aku akan sangat senang. “Yuan Ming Yuan adalah simbol kebanggaan dan kekuatan Cina,” anakku mendesak. “Ibu, ini akan jadi hadiah untuk ulang tahunmu yang keempat puluh dariku.”

Kukatakan padanya bahwa aku tak bisa menerima hadiah semacam itu, tetapi dia mengatakan akan menanggung biayanya.

“Dari mana dananya akan berasal?” tanyaku.

“Paman Pangeran Kung sudah menyumbang dua puluh ribu tael,” anakku menjawab penuh semangat. “Teman-teman, relasi, para menteri, dan pegawai lainnya diharapkan akan menyusul Ibu, untuk sekali ini saja, cobalah untuk menikmati hidup.“

Sudah sembilan tahun lamanya semenjak kali terakhirnya aku mengunjungi Yuan Ming Yuan. Tempat itu semakin dirusak oleh terpaan angin, cuaca, hewan perusak, dan pencuri. Rumput liar setinggi badan manusia menutupi seluruh area. Selagi berdiri di sisi pilarpilar batu yang rusak, aku dapat mendengar derak suara roda gerobak dan suara langkah kaki kasimkasim, dan teringat leembali akan hari ketika kami nyaris tak berhasil menyelamatkan diri dari serangan musuh yang kian mendekat.

Aku tak pernah menceritakan pada Tung Chih bahwa Yuan Ming Yuan adalah tempat dia dibesarkan dalam kandungan. Pada saat itu aku memiliki segalanya—Kaisar Hsien Feng hanya ingin menyenangkan hatiku. Meski begitu singkat, rasanya begitu nyata, dan masa itu datang pada saat aku benarbenar merasa putus asa. Telah kuhabiskan semua yang kupunya untuk menyogok Kepala Kasim Shim untuk menghabiskan satu malam bersama Kaisar. Ketika Hsien Feng mengejekku, nyaris kukorbankan nyawaku dengan berani menantangnya terangterangan.

Keterusterangankulah yang membuatnya menghormatiku, kemudian mengagumiku. Aku ingat suara lembut Hsien Feng memanggilku, “Anggrekku.” Aku ingat akan hasratnya yang tak habishabisnya terhadap diriku, dan juga hasratku terhadap dirinya. Kesenangan yang kami berdua rasakan. Tetes air mata bahagia kami. Kasimkasimnya sangat takut Kaisar akan menghilang pada tengah malam, sementara para kasimku menanti di gerbang untuk menyambutnya. Sebagai “putri malam”, aku memang harus selalu menyiapkan diriku layaknya sepiring hidangan yang disuguhkan pada Baginda Kaisar, tetapi Kaisar sendirilah yang menawarkan dirinya padaku. Dia sendiri merasa sangat gembira akan perasaan cintanya.

Di kemudian hari, ketika Hsien Feng menghabiskan waktunya dengan wanitawanita lain, rasanya aku sudah begitu dekat dengan kematian. Mustahil bagiku untuk terus hidup, tetapi aku tak dapat mengambil nyawaku sendiri karena Tung Chih tengah hidup dalam kandunganku.

Tempat pertama yang ingin dibangun kembali oleh Tung Chih adalah istana tempat dulu kuhabiskan banyak waktu bersama Hsien Feng. Aku berterima kasih pada Tung Chih dan bertanya bagaimana dia bisa tahu betapa istimewanya istana itu bagiku. “Ibu,” jawabnya sambil tersenyum, “Ketika Ibu diam tentang suatu hal, aku tahu hal itu adalah yang paling Ibu sayangi.”


Aku tak pernah meragukan niat Tung Chih. Aku tak tahu bahwa alasan utama anakku begitu bersemangat memugar Yuan Ming Yuan adalah untuk menjauhkanku darinya, agar dia dapat meneruskan kehidupan rahasianya yang nantinya akan menghancurkannya.

Para penasihat kerajaan mendorong keinginan Tung Chih karena mereka ingin aku mundur. Mereka benci menerima perintahperintahku dan menantikan saat mengurus negara tanpa campur tanganku. Dengan persetujuan dari mereka, Tung Chih memerintahkan pemugaran segera dimulai, bahkan sebelum dananya cukup terkumpul. Proyek ini sudah menemui masalah  sedari awal. Saat kepala pemasok kayu tertangkap dalam kasus penggelapan, pendanaan pun dihentikan. Proyek ini adalah awal dari mimpi buruk yang tak kunjung habis.

Pejabat lokal menulis surat keluhan ke Istana dan menuduh Tung Chih terlalu menuruti kerakusanku. Dia mengutarakan bahwa pemugaran Yuan Ming Yuan adalah bentuk penyalahgunaan dana negara. “Dinasti sebelum kami, Dinasti Ming, adalah salah satu dari enam belas penguasa Cina yang bertahan paling lama,“ ungkap pejabat itu. “Namun KaisarKaisar Ming yang datang belakangan menghamburhamburkan energi mereka pada kesenangan. Pada akhir abad ke16, Dinasti Ming telah jatuh koma, menanti untuk disingkirkan. Kas kosong, pungutan pajak mustahil, dan tandatanda tradisional dari ketidakbecusan pemerintah—banjir, kekeringan, dan kelaparantampak di manamana. Orangorang memindahkan kesetiaan mereka ke pemimpin baru karena Dinasti telah kehilangan mandat dari Langit.”

Pihak Istana tidak memerlukan pejabat rendah untuk mengingatkannya bahwa kondisi negara masih kacau akibat pemberontakan Taiping terbaru dan bahwa pemberontakan kaum Muslim di Barat belum juga berhasil dipadamkan. Walau demikian, Dewan Istana memprotes para pejabat yang “menghalangi bakti Kaisar sebagai seorang anak terhadap ibunya.” Tung Chih berkehendak merealisasikan keinginannya, tetapi setelah berjalan setahun dan setelah menanggung pengeluaran yang begitu besar, dia ditekan oleh Pangeran Kung untuk meninggalkan proyek tersebut.

Selama bertahuntahun, aku akan disalahkan atas segala sesuatu yang terjadi pada Yuan Ming Yuan, tetapi aku sudah tak berada pada posisi untuk menasihati Tung Chih—aku telah mundur secara resmi. Yang membingungkanku adalah sikap Pangeran Kung yang berubah pikiran. Dialah yang pertama mendukung pelaksanaan restorasi dengan memberikan donasi untuk memulai pemugaran, tetapi dia kini jadi salah seorang yang memohon kepada Tung Chih untuk membatalkan proyek tersebut.

Dengan mengamuk, Tung Chih menuduh pamannya telah menggunakan bahasa yang kasar, kemudian menurunkan pangkatnya. Nuharoolah yang membujuk Tung Chih untuk mengembalikan posisi pamannya beberapa minggu kemudian.

Aku tak mau turut campur karena aku merasa Tung Chih perlu belajar bagaimana menjadi seorang Kaisar. Terlalu mudah baginya untuk menyuruh orangorang di sekitarnya tanpa pernah merasakan kesusahannya.





11



PADA HARI YANG HANGAT di musim panas 1874, aku melihat kasimku Li Lienying memotong bunga bunga gardenia di tamanku. Dia memindahkan dan membuang kuncup bunga dan daun pinggirnya, kemudian memotong tangkainya menjadi sepanjang tiga inci, dengan hatihati memastikan potongannya di bawah awal tangkai. “Akar baru akan tumbuh dari sini,“ dia menjelaskan sambil memasukkan potongan bunga ke dalam suatu wadah. “Pada musim semi berikutnya, tanaman ini akan mulai bermekaran di taman.” Sebulan kemudian, potongan-potongan yang dilakukannya gagal menumbuhkan dedaunan baru.

Untuk menguji apakah akarnya tumbuh, Li Lienying pelanpelan mencabut setangkai. Dia tak merasakan perlawanan, yang menunjukkan bahwa akarakarnya tidak tumbuh kembali. Dia mengatakan pada dirinya sendiri untuk bersabar dan menunggu lagi selama beberapa hari. “Telah kulakukan hal ini selama bertahuntahun,“ ujarnya padaku. “Inilah caraku merawat tamantaman gardenia lama.” Namun, tanaman itu mulai layu dan pada akhirnya mati. Kasim tersebut percaya bahwa itu merupakan pertanda Langit mengenai 'hal buruk yang akan terjadi'”.

“Tak akan terjadi apaapa,” Penanggung jawab taman menenangkan Li. “Itu mungkin karena salah penangananmu. Mungkin airnya terkontaminasi oleh air kencing hewan atau ada serangga tersembunyi di balik lumut. Masalahnya, tanamantanaman ini mati karena terlalu banyak stres.”

Aku jadi berpikir tentang anakku. Selama ini dia tampak seperti tanaman hias dalam rumah, terlindungi hingga sekarang dari kekerasan dan ketidakpastian yang ada di taman luar.

Tung Chih menderita pilek yang tak kunjung sembuh selama berbulanbulan. Dia mulai menderita demam, dan saat musim gugur, tubuhnya sudah sangat lemah.

“Tung Chih perlu keluar rumah dan berolah raga,” saran Pangeran Kung.

Pamanpaman anakku yang lain, Pangeran Ts'eng dan Pangeran Ch'un, menduga kesenangan Tung Chih pada malam hari merupakan penyebab memburuknya kesehatannya. Ketika Tabib Sun Paotien meminta diadakannya pertemuan untuk membahas kondisi kesehatan Tung Chih sebenarnya, permintaannya ditolak.

Aku tak sanggup melihat Tung Chih terbaring di atas ranjangnya. Itu mengingatkanku pada harihari ketika ayahnya sekarat. Aku memanggil Alute dan Foocha serta istriistrinya yang lain dan bertanya pada mereka, selagi mereka bersimpuh di hadapanku, jika mereka mengetahui apa yang tengah terjadi pada suami mereka.

Pengakuan mereka mengejutkanku. Tung Chih tak pernah berhenti mengunjungi rumahrumah bordil. “Yang Mulia Kaisar lebih memilih bungabunga di tempat liar,” keluh Foocha. Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ  http://kangzusi.com/

Alute tak mau menjawab pertanyaanku. Kujelaskan bahwa aku tak bermaksud turut campur atau menyinggungnya, dan bahwa aku tak tertarik mengusik kehidupan pribadinya.

Dengan alis bertaut membentuk dua pedang, Alute mengatakan bahwa sebagai Permaisuri Cina, dia mempunyai hak untuk tak menjawab. “Ini antara Tung Chih dan aku,” ungkapnya keras kepala. Kulit putihnya yang lembut bagai porselen berubah jadi merah jambu.

Aku berusaha tak menunjukkan kejengkelanku. Kukatakan padanya bahwa aku hanya bermaksud membantu.

“Aku tak meragukan niatmu,” ujar Alute padaku. “Hanya saja ... aku tak merasa lebih rendah dalam status.”

Aku bingung. “Apa yang kaubicarakan? Siapa yang membuatmu merasa 'lebih rendah dalam status'?”

Alute mengangguk ke arah istriistri yang lain. “Semua orang di sini takut mengungkapkan pikirannya di hadapanmu, tetapi aku akan melakukannya. IbuSuri, Tung Chih merupakan tanggung jawabmu, bukan kami.”

Aku merasa tersinggung. “Alute, kau tak punya hak berbicara atas nama yang lain.”

“Aku akan bicara atas namaku sendiri, kalau begitu. Sebagai ibu dari Kaisar, pernahkah kautanyakan pada putramu ada masalah apa dengan dirinya?”

“Aku tak akan mendatangimu untuk meminta bantuan jika aku bisa bicara sendiri padanya.”

“Pasti ada alasan kenapa dia meninggalkan Kota Terlarang untuk mendatangi rumah pelacuran.”

“Kau sedang marah, Alute. Kau benarbenar berpikir itu salahku?”

“Ya.”

“Sebutkan faktanya, Alute.”

Gadis itu menggigit bibirnya, kemudian berkata,

“Kaisar Tung Chih baikbaik saja denganku, sampai saat kausuruh dirinya untuk mendatangi Foocha. Kau tak bisa terima jika dia memiliki anak denganku, bukannya dengan Foocha. Itu sebabnya Tung Chih jadi muak pada kami semua karena dia muak padamu!”

Yang dikatakan Alute mungkin ada benarnya, tetapi aku tak terima atas kekasarannya. “Alute, beraninya kau! Kau tak punya hak untuk bersikap begitu kasar padaku.”

“Tetapi anak dalam perutku punya!”

Aku terkejut. Kuminta Alute mengulang perkataannya barusan.

“Aku hamil!“ ungkapnya bangga.

“Oh, Alute!” Aku sangat gembira. “Kenapa tak kauberi tahu aku? Selamat! Bangkit! Bangkit! Yah, aku harus membagi kabar gembira ini dengan Nuharoo! Kami akan mempunyai cucu!”

“Belum tentu, Yang Mulia.” Alute menghentikanku.

“Sampai Tung Chih kembali padaku, aku tak yakin punya kekuatan untuk meneruskan kehamilanku.”

“Tung Chih sedang…” Kucoba menemukan katakata yang tepat untuk menenangkannya. “Memang menyakitkan mengetahui dia bersama wanitawanita lain. Percayalah padaku, Alute, aku tahu bagaimana rasanya.”

“Aku benci apa yang kaukatakan.” Alute mulai menangis.

“Yah,” ucapku, merasa bersalah, “bersyukurlah kau memiliki anak dari Tung Chih.”

“Bukan keputusanmu atau aku, untuk menentukan apakah anak ini akan lahir ke dunia. Tubuhku dan jiwaku begitu sakit, hingga bisa kurasakan dia mencari pembalasan. Aku takut sesuatu yang tak diinginkan akan terjadi.”

“Adalah kehendak Langit memberikanmu anak, Alute. Benih naga akan bertahan, bagaimanapun caranya, “

Tanpa meminta izin, Alute berjalan ke jendela dan berdiri dengan punggung membelakangiku. Di luar, pohonpohon eik besar tampak gundul.

“Kacangkacang eik sudah jatuh di manamana,“ ujar Alute, menggelenggelengkan kepalanya. “Susah untuk berjalan tanpa menginjaknya. Ini pertanda buruk. Apa yang harus kulakukan? Aku tak siap menghadapi penderitaan.“

“Alute,” ucapku lembut, “aku yakin tak ada yang salah. Kau hanya lelah, itu saja.”

Dia tak mengacuhkanku, terus menatap jendela. Suaranya terdengar lemah dan jauh. “Semakin keras suaranya. Aku dengar suara kacangkacang berjatuhan dan pecah di tanah siang dan malam.”

Kutatap punggung menantuku dari belakang. Rambut hitam lurusnya dikepang rumit dan diikat pada sebilah papan. Jepit rambut bunga merah jambu dengan taburan permatanya berkilat di tengah cahaya. Tibatiba kupahami mengapa dia merupakan pilihan pertama Tung Chih: sama seperti dirinya, Alute punya pikirannya sendiri.


Pada pagi awal musim dingin, Tabib Sun Paotien mengumumkan bahwa putraku tak akan bertahan hidup.

Aku gemetar di depan tabib seperti anak pohon diterpa badai. Mata dalam benakku melihat lampionlampion merah melayang turun dari langitlangit.

Aku berusaha memahami perkataan tabib, tetapi tak bisa. Dia menjelaskan tentang kondisi Tung Chih, tetapi terdengar seperti dia sedang berbicara dalam bahasa asing. Kemudian aku pasti jatuh pingsan. Saat sadar, Li Lienying berada di hadapanku. Dia mengikuti instruksi dari tabib, menekan ibu jarinya di antara hidung dan atas bibirku. Aku berusaha mendorongnya pergi, tetapi aku tak punya kekuatan.

“Tung Chih telah dikunjungi oleh bungabunga surga…” aku akhirnya mendengarnya bicara.

“Katakan pada Tabib Sun Paotien”—aku menarik napas dan menangis—“kalau ada kesalahan, aku tak akan segan menghukumnya!”

Usai makan siang, Tabib datang lagi. Sembari berlutut, dia mulai membacakan laporannya. “Kondisi kesehatan Baginda Yang Mulia sangat sulit. Aku tak bisa memastikan penyakit apa yang menyerangnya terlebih dulu, cacar atau penyakit kelamin. Bagaimanapun, kondisinya parah, dan di luar kemampuanku untuk menyembuhkan, bahkan mengendalikannya.”

Tabib mengakui bahwa sulit baginya mengungkapkan kenyataan sebenarnya. Tim medisnya telah dituduh membhawa kesialan pada Kaisar. Semua orang berusaha menutupnutupi kondisi Tung Chih.

Aku meminta maaf pada Tabib dan berjanji akan mengendalikan emosiku.

Sebuah upaya dilakukan untuk menstabilkan kondisi Tung Chih. Pada Desember 1874, lukaluka pada tubuhnya mengering dan demamnya mereda. Kalangan Istana merayakan tandatanda pemulihan. Tetapi itu terlalu prematur. Beberapa hari kemudian, demam Tung Chih kembali, dan kali ini terus bertahan.

Aku tak bisa mengingat bagaimana kuhabiskan hari-hariku. Hanya satu hal yang bisa kupikirkan: menyelamatkan anakku. Aku menolak memercayai bahwa Tung Chih akan meninggal. Sun Paotien menyarankan agar aku mencari pendapat kedua dari para dokter Barat. “Mereka punya alatalat untuk mengambil cairan tubuh dan contoh darah Baginda Kaisar,” bisiknya, menyadari tak semestinya dia memberikan saran itu. “Akan tetapi, kuragukan hasil diagnosis mereka akan berbeda.”

Dewan Istana menolak permintaanku atas kehadiran dokter Barat, cemas jika orangorang asing itu akan mengambil keuntungan dari kondisi Tung Chih dan melIihat kesempatan untuk melancarkan serangan.


Aku berbaring di isi anakku yang tengah demam. Kudengar napas beratnya turunnaik. Pipinya terbakar. Pada saatsaat sadar, dia akan merintih dan mengerang dengan suara lemah.

Tung Chih meminta agar Nuharoo dan aku meneruskan tugas perwallan. Aku menolak pada awalnya karena aku tahu tak akan sanggup memusatkan pikiran pada urusanurusan Istana. Namun, Tung Chih memaksa. Ketika kubacakan dekritnya pada negara, kusadari arti bantuanku untuknya.

Tulisan tangan dengan tinta pada kertas nasi merupakan kaligrafi terakhir yang ditulis anakku. Di atas segalanya, aku paling sedih memikirkan cucuku tak akan pernah melihat cara ayahnya memegang pena kuasnya.

“Aku memohon pada dua Permaisuri untuk mengasihani bangsaku dan mengizinkanku untuk mengurus diri sendiri,” isi dekrit Tung Chih. “Dengan mengurusi kepentingan negara untuk sementara, kedua Permaisuri akan menunjukkan besarnya kebaikan mereka padaku, dan akan kuhaturkan pada mereka rasa terima kasihku yang tak terkira.”

Setiap hari usai audiensi, aku pergi duduk di sisi Tung Chih. Aku bicara dengan Tabib Sun Paotien dan para pelayan Tung Chih. Kuperiksa lukaluka bernanah yang muncul di kulit anakku dan berharap lukaluka itu ada di tubuhku. Aku memohon ampunan Langit dan berdoa: “Tolong jangan bersikap terlalu kejam pada seorang Ibu.” Kuperintahkan agar tak ada seorang pun yang boleh mengganggu istirahat Tung Chih, tetapi Tabib menyarankan agar aku membiarkan anakku bertemu dengan siapa pun yang diinginkannya. “Baginda Yang Mulia mungkin tak akan punya kesempatan lagi.”

Aku menyetujuinya. Namun, aku tetap duduk di sisi anakku dan memastikan tak ada yang akan melelahkannya. Alute menolak datang ketika Tung Chih memanggilnya. Dia berkata bahwa dia tak akan memasuki ruangan jika aku berada di sana.

Aku mengalah.


Pukul dua pagi, anakku membuka matanya. Meski kedua pipinya masih hangat, semangatnya tampak baik. Dia memintaku duduk di sisinya. Kubantu dia menegakkan sandaran kepalanya. Aku memintanya membiarkanku menyuapinya dengan bubur. Dia menggeleng.

“Mari kita bersenangsenang berdua sebelum aku mati.” Dia mengulas senyum lebar.

Aku menangis dan mengatakan padanya bahwa aku tak tahu kesenangan seperti apa yang sedang dia bicarakan. Bagiku, kesenanganku akan langsung berakhir jika dia meninggal.

Tung Chih menggenggam tanganku dan meremasnya. “Aku rindu pada bulan,” ujarnya. “Apa Ibu mau membantuku keluar ke pekarangan?”

Kubungkus pundaknya dengan selimut dan membantunya bangkit dari ranjangnya. Berpakaian saja sudah membuatnya kepayahan, dan tak lama, dia kehabisan napas.

Dengan lengannya di kedua bahuku, dia berjalan menuju pekarangan.

“Malam yang indah,” desahnya.

“Terlalu dingin, Tung Chih!” ujarku. “Mari kita kembali ke dalam.”

“Sebentar saja, Ibu. Aku sedang menikmatinya.”

Dengan sinar rembulan di belakang, pepohonan dan semaksemak tampak bagai potonganpotongan kertas berwarna hitam.

Kutatap anakku, dan tangisku meledak. Cahaya bulan menerangi wajahnya, membuatnya tampak bagai pahatan batu.

“Ibu, ingatkah kau ketika berusaha mengajariku puisi? Aku benarbenar payah.”

“Ya, tentu saja. Pelajaran itu terlalu berat buatmu. Itu terlalu berat bagi anak mana pun.”

“Sebenarnya adalah karena aku tak terinspirasi. Guruguruku mengatakan padaku bahwa aku harus merasakannya terlebih dulu, kemudian menjelaskannya.” Tung Chih tertawa lemah. “Dulu aku menulis, tetapi tak merasakan apaapa. Percaya atau tidak, semenjak harihariku hampir habis, aku begitu penuh dengan inspirasi.”

“Hentikan, Tung Chih.”

“Ibu, aku punya sebuah puisi untukmu, di sini.” Dia menunjuk ke kepalanya. “Boleh aku membacakannya?”

“Aku tak mau mendengarnya.”

“Ibu, kau akan menyukainya. Puisi ini berjudul 'Untuk yang Tercinta...’”

“Tidak, aku tak mau dengar.”

Dengan suara pelan, Tung Chih memulai:


Berpisah, tetapi untuk perjalanan pulang

Dalam mimpimimpi yang melekat

Sepanjang lorong berhias dan birai berkelok,

Di pekarangan, hanya bulan musim semi

yang menerangi penuh simpati,

Karena bagi kami yang berpisah,

kelak tetap bersinar saat gugurnya bungabunga.

The Last Empress Part 3


12



PADA PAGI HARI, 12 Januari 1875, putraku meninggal. Balairung Pemeliharaan jiwa dipenuhi bunga plum salju segar yang baru dipetik, kelopakkelopak kecilnya yang lengket dan tangkainya menjulang anggun dalam vas. Bungabunga itu merupakan kesukaan Tung Chih. Dia selalu ingin memetiknya saat salju, hal yang tak pernah diperbolehkan baginya. Aku mengenakan gaun dukaku, bersulam bungabunga plum salju serupa, yang kujahit semalaman. Wajah Tung Chih ditelengkan ke arah selatan, dan dia didandani dengan jubah megah berpola simbolsimbol umur panjang. Dia berusia sembilan belas tahun, dan telah jadi Kaisar sejak 1861. Dia telah memimpin selama dua tahun.

Aku duduk di sisi peti mati Tung Chih, sementara tukang kriya menyelesaikan pekerjaan besinya. Beberapa pelukis mendoyong ke atas peti, memberikan sentuhan akhir kuasnya. Peti itu dipenuhi ukiran naga yang dicat emas.

Kusentuh lembut pipi dingin anakku dengan jemariku. Etika tak mengizinkanku untuk memeluk dan menciuminya. Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ  http://kangzusi.com/  Tung Chih meninggal dengan barisan luka lepuh akibat demam tinggi di sekitar mulutnya. Dua minggu sebelum kematiannya, lukaluka lepuh ini muncul di manamana, membusukkan tubuhnya dari dalam. Lukaluka infeksi juga memenuhi lidah dan gusinya, begitu banyaknya hingga dia tak mampu menelan. Sudah tak ada lagi tempat yang tersisa di kulitnya. Bisulbisul juga tumbuh di selasela jari tangan dan kakinya, mengeluarkan nanah. Salep obat hitam yang diolesi Sun Paotien membuatnya jadi tampak menjijikkan.

Setiap hari selama mingguminggu akhir itu, kubersihkan anakku, dan setiap harinya selalu kutemukan lukaluka baru bermunculan. Luka baru tumbuh di atas yang lama. Tangan dan kakinya tampak seperti akar ginseng.

Ketika rasa sedihku tak tertahan lagi, aku berlari keluar dari kamar dan jatuh berlutut. Aku tak dapat mengangkat tubuhku. Li Lienying mengingatkanku bahwa aku belum makan.

Pada sore hari, Li Lienying akan mengejarku dengan semangkuk sup ayam di tangannya. Dia membungkuk dan berkelit lincah dengan mangkuk diangkat tinggi karena sudah kutendang beberapa mangkuk yang dia tawarkan. Tanganku sudah penuh luka memar. Aku telah melakukan begitu banyak pekerjaan, memotong ayam, bebek, ikan, dan ular serta membawanya ke altar persembahan. Kutatap langit dan menangis, “Setansetan lapar telah diberi makan. Sekarang mereka sudah kenyang dan harus tinggalkan anakku!”

Asapasap dupa membuat Kota Terlarang tampak bagai kebakaran. Air mataku tak habishabisnya mengucur seperti air mancur yang bocor. Tabib Sun Paotien mengatakan akan lebih baik bagiku untuk tak berkonsultasi lagi dengannya. Aku pergi ke seorang biksu Tibet, yang menyarankan agar aku memusatkan perhatian pada kehidupan akhirat Tung Chih. “Jubah keabadian dan peti mati akan menjadi awal yang baik.” Biksu menyatakan bahwa aku belum menyerahkan pada para dewa kepasrahan diriku. Bukannya menolong putraku, aku hanya menambahkan kesusahan baginya.

Aku mulai berpikir akan mengambil nyawaku sendri untuk menemani putraku. Saat berusaha mencari jalan untuk melakukannya, kusadari aku tengah dibuntuti. Para kasim dan pelayan mengawasi lekat tiap tindak tandukku. Wajah mereka yang biasa tenang, kini tampak selalu cemas. Mereka berbisikbisik di belakangku. Setiap kali aku bangun pada tengah malam, suara batuk akan terdengar di antara kasim.

Juru masakku menyembunyikan pisau dapur dan cairan yang bisa mematikan, sementara dayangdayang menyingkirkan semua tali. Ketika kusuruh Li Lienying mencarikanku opium, dia membawakan Tabib Sun Paotien. Para pengawal kerajaan mengadangku saat aku mencoba keluar gerbang Kota Terlarang. Ketika kuancam mereka dengan hukuman, mereka mengatakan bahwa Yung Lu telah memerintahkan kepada mereka untuk menjaga keselamatanku.


Anakku meninggal dalam pelukanku selagi fajar menyingsing. Semaksemak gardenia di pekarangan hancur oleh hantaman salju beku yang datang di penghujung musim, dedaunannya berubah kering dan hitam. Tupaitupai berhenti berloncatan dari pohon ke pohon. Mereka duduk di dahan pohon mengunyah kacang dan membuat celotehan berisik. Bulubulu berjatuhan dari angkasa dari angsaangsa liar yang beterbangan.

Aku ingat memegang Tung Chih, dan merasakan detak jantungnya melemah. Aku ingat jatuh tertidur dalam posisi duduk sehingga aku tak tahu kapan persisnya detak jantungnya berhenti.

Kepala Kasim Nuharoo membawakan pesan bahwa majikannya terlalu terpukul sehingga tak mampu meninggalkan istananya.

Dewan Istana sudah mulai mempersiapkan upacara pemakamannya. Kurirkurir dikirim agar para gubernur provinsi bisa memulai perjalanan mereka ke ibu kota.

Setelah sang Tabib dan timnya mengundurkan diri, Kota Terlarang jadi begitu sunyi. Suara derap kaki menghilang, begitu pula bau pahit yang menyerbak dari obat-obat herbal Tung Chih.

Para kasim dan pelayan membungkus semua tempat tinggal dengan kain sutra putih. Pakaian duka yang dulu pernah dikenakan oleh mendiang suamiku disiapkan, setelah beres dicuci dan disetrika, untuk dikenakan oleh putranya.

Tung Chih dipindahkan untuk kali terakhirnya dari tempat tidurnya. Aku membantu menggantikan pakaiannya. jubah keabadiannya terbuat dari benang emas. Putraku tampak seperti boneka tidur dengan tangankaki kaku. Kubersihkan wajahnya dengan kapas. Aku tak suka dengan cara penata rias kerajaan mendandani wajah anakku, lapis demi lapis cat, dengan lapisan lilin di atas riasannya. Putraku tampak tak bisa dikenali; kulitnya tampak begitu mengilat.

Akhirnya, aku ditinggalkan sendiri bersama Tung Chih. Kusentuh riasan wajahnya. Kuhapus bersih semua lapisan catnya. Kulitnya kembali seperti sediakala, meski bekasbekas luka menodainya. Aku membungkukkan badan, mengecup kening, mata, hidung, pipi, dan bibirnya. Kusapu seluruh wajahnya dengan minyak biji kapas, dimulai dari keningnya. Aku berusaha menahan getaran tanganku dengan bertopang pada lengan kursiku. Kuwarnai bibir dan pipinya dengan sentuhan merah untuk membuatnya tampak sebagaimana yang kuingat. Kubiarkan wajahnya selebihnya tak terusik.

Tung Chih memiliki kening lebar yang indah. Alis matanya telah tumbuh ke dalam bentuk tetapnya, layaknya dua sapuan kuas yang begitu cantik. Ketika Tung Chih masih kecil, warna alis matanya begitu tipis sehingga membuatnya tampak seperti tak memiliki alis. Nuharoo tak pernah puas dengan riasan wajah yang biasa dikenakan Tung Chih untuk audiensi. Terutama alisnya. Sering kali dia telat hadir pada audiensi karena Nuharoo memaksakan untuk merias ulang wajahnya.

Kedua mata jernih anakku sungguh menjadi hiburan hatiku. Sama sepertiku, matanya memiliki satu lipatan kelopak dan berbentuk kacang almond. Menurut mendiang ibuku, yang terbaik dari wajah Tung Chih adalah hidung lurusnya. Hidungnya sangat selaras dengan tulang pipinya yang tinggi, yang merupakan karakteristik orang Manchu. Bibirnya penuh dan tampak sensual. Dalam kematiannya pun, dia tetap tampan.

Kuikuti saran biksu dan berusaha menganggap kematian anakku sebagai peristiwa alami yang terjadi dalam hidup. Namun penyesalan, entah bagaimana caranya, telah merasuk batinku. Hatiku tenggelam dalam larutan racunnya.


Peti mati Tung Chih seukuran dengan peti mendiang ayahnya. Peti ini akan dipikul oleh 160 orang. Ketika Li Lienying memberi tahuku bahwa sudah waktunya untuk menyampaikan salam perpisahan, aku bangkit berdiri hanya untuk terjatuh di atas lututku. Li menopang lenganku dan aku berdiri seperti orang renta. Kami maju ke arah peti, di mana aku akan melihat anakku untuk kali terakhirnya.

Li Lienying bertanya apakah Tung Chih ingin membawa mainan lama kesukaannya, kertas miniatur Kota Peking, bersamanya. Lingkardalam kota akan tetap bersamanya; lingkarluar akan ditinggalkan untuk upacara pembakaran kertas, untuk membantu melepaskan arwah Tung Chih pergi.

“Ya,” ucapku.

Di depan peti, sang Kasim memohon pengampunan anakku karena harus memisahkan sebagian dari lingkar dalam kota agar muat ke dalam peti. “Ini adalah Gang Tangga milik Yang Mulia,” ucap Lienying. “Seperti yang bisa dilihat Paduka Yang Mulia, ia tampak seperti tangga yang menjulur naik ke tepi gunung. Di sini ada Gang Tas dan Gang Semen, jalanan yang bisa kita masuki tetapi tidak jelajahi. Dan sekarang, di sisi ini, jalanan Soochow. Baginda Yang Mulia pernah menanyakanku apakah jalanjalan asli ini sebelumnya dibuat oleh orangorang dari Selatan Mereka mungkin bukan berasal dari Soochow, tetapi Hangchow. Yang Mulia tak pernah punya waktu untuk meneliti detaildetail dan perbedaanperbedaan kecil yang ada, tetapi sekarang waktu berada di sisi Yang Mulia. “

Sekilas pikiranku berkelana ke tempat lain, dan Li Lien-ying berubah jadi Antehai. Apa yang akan dikatakan Antehai akan semua ini? Tak pernah ada acara peringatan mengenangnya. Hanya sedikit yang menyebut tentang dirinya setelah eksekusi. Para istri dan selirnya membagi-bagi harta peninggalannya, dan dengan segera melupakannya. Tak ada yang berduka untuknya. Secara diamdiam, aku menyewa pengukir batu untuk membuat tablet bagi kubur Antehai. Karena statusku, aku tak pernah bisa mengunjungi makamnya dan tak punya bayangan seperti apa tempat peristirahatan terakhirnya. Adalah kernalangan bagi Tung Chih, tak pernah mengenal Antehai sebagai teman.

Selesai membenahi peti jenazahnya, Li Lienying terus berbicara dengan mayat anakku. “Aku tak pernah punya kesempatan untuk menjelaskan padamu arti dari 'Gang Dewa Kuda' atau 'Kuil Dewa Kuda. Leluhur Yang Mulia mungkin akan menanyakanmu halhal ini, dan penting bagimu untuk mempersiapkan diri. Orangorang Manchu pada masa lalu adalah orangorang yang hidup dengan menunggang kuda. Tanpa bantuan dari kudakuda mereka, tak mungkin mereka bisa menaklukkan Cina. Bangsa Manchu mengagumi, menghargai, dan menghormati kuda. Kuilkuil yang dibangun di Peking didirikan untuk menghormati kudakuda yang menurut legenda, tewas dalam peperanganpeperangan penting. Mungkin dalam kehidupan selanjutnya, Yang Mulia memiliki kesempatan untuk mengunjungi jalanjalan dan kuilkuil yang dibangun untuk menghormati kudakuda itu.”

Dalam kematiannyalah, Tung Chih baru berkesempatan mempelajari kota tempat tinggaInya. Dengan bantuan kasimku, kubakar sisa kota, lingkarluar kota, untuk dibawa bersama arwah anakku. Namanamanya disalin dari aslinya: Gang Sumur Manis, Gang Sumur Pahit, Gang Sumur MataTiga, Gang Sumur MataEmpat, Toko Domba, Toko Babi, Toko Keledai. Toko sayurmayur terletak di sebelah pabrik anakpanah Dinasti, dan lapangan latihan militer, Tempat Pagar Besar, yang dipenuhi prajurit dan kudakuda dari kertas.

Yang juga termasuk dalam persembahan pembakaran ini adalah area pusat perbelanjaan kertas di Peking, mencontoh dari Gang Kebaikan Kerajaan, yang membentang bermilmil jauhnya. Li Lienying tak melupakan tempat eksekusi, yang disebut Pasar Penjagalan. Semua ini, menurutnya, akan dibutuhkan oleh Tung Chih sebagai penguasa pada kehidupan berikutnya. Kuperintahkan agar Tungku Keramik yang terkenal juga disertakan, yang merupakan toko buku terbesar, dibangun di atas bekas area tungkupembakaran porselen yang terbengkalai. Mengingat anakku akan memiliki banyak waktu untuk memerhatikan detail, kami menambahkan Gang Ekor Anjing, Gang Penebang Kayu, dan Gang Tirai Terbuka.

Saat itu dingin dan gelap, ketika kukembali ke istanaku. Li Lienying hendak menutup jendelajendela, tetapi kuhientikan dia. “Biarkan saja terbuka. Arwah Tung Chih mungkin akan datang berkunjung.”

Di luar, bulan pucat besar yang menggantung di atas pepohonan gundul memicu kembali kenangan. Aku teringat kejadian di Jehol ketika Tung Chih memohon padaku untuk mengizinkannya mandi di sebuah mata air panas. Aku menolaknya karena dia sedang pilek. Aku ingat menghirup udara segar dan bermimpi bisa membesarkan Tung Chih di sana. Kami berdiri di antara pepohonan bambu tinggi liar malam itu. Dedaunannya menarinari tertiup semilir angin. Sulur yang lebat menutupi pohonpohon eik usia ratusan tahun, menggantung sepanjang empat puluh atau lima puluh kaki bagai tirai surgawi. Jalur berbatunya disinari cahaya bulan, seterang malam ini. Bayangbayang bunga melati di sisi jalan tampak bagai gulungan ombak beku.

Aku pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan yang bisa membantuku menyusun obituari untuk Tung Chih. Sebuah buku tipis, Rumah Pemulihan bagi BungaBunga Plum Salju, menarik perhatianku. Pengarangnya adalah J.Z. Zhen dari awal Dinasti Ch'ing. Aku tak bisa menaruh bukunya kembali, begitu mulai membacanya:


Di selatan Cina, terutama di Soochow dan Hangchow, berseminya pohon plum salju begitu populer. Pohon ini menjadi objek lukis para pelukis terkernuka. Akan tetapi, keindahan pohon ini terletak pada kepedihannya: bentuk abnormal dan dahan yang membengkok dengan tonjolantonjolan raksasa dan akar pohon yang terlihat adalah yang digemari. Pohon-pohon yang berdiri tegak dan sehat dianggap tak menarik dan tak bernilai seni. Dedaunannya dipangkas habis dan pohon itu dibiarkan gundul.

Begitu para penanam pohon memahami keinginan pelanggan mereka, mereka mulai membentuk pepohonan mereka. Untuk menahan pertumbuhan alami, pepohonan itu diperlakukan layaknya kaki wanita. Dahandahannya dipelintir mengikuti rangka sedemikian rupa untuk menghasilkan bentuk yang diinginkan. Pohonpohon itu tumbuh mengarah ke samping dan ke bawah. Saat diperlihatkan pada umum, orangorang menganggapnya “menakjubkan” dan “elegan”.

Bungabunga plum salju di seluruh Cina kini tengah sakit karena para penanamnya telah mengundang cacingcacing untuk membuat batang dan dahan yang melintir, berwujud simpul. Dahandahannya yang berbentuk tak keruan menyebabkan pohon tersebut sekarat, sementara pedagang memperoleh untung.

Seorang lelaki mengumpulkan kekayaan keluarganya dan pergi ke kebun bibit setempat. Dia membeli tiga ratus pot plum salju yang sakit. Mengubah rumahnya menjadi rumah pemulihan, orang itu mulai merawat pohonpohonnya. Dia memotong rangkanya, menghancurkan potnya, dan menanam pohon itu di tanah. Dia biarkan pohon itu tumbuh secara alami dan menyuburkan tanahnya dengan pupuk kompos. Meski pohon plum salju yang terparah tak berhasil sembuh, populasi selebihnya berhasil pulih.


Tung Chih sama seperti pohonpohon plum salju itu, pikirku sambil menutup buku. Semenjak lahirnya, dia sudah dibengkokkan dan dipelintir menjadi suatu hasil karya mutakhir. Aku menginginkan dia bisa berenang di sungai dekat kota kelahiranku, Wuhu. Aku bahkan ingin melihatnya menunggangi punggung kerbau layaknya anak lakilaki yang kukenal saat aku kecil. Tetapi Tung Chih adalah plum salju yang harus dibatasi, dikungkung, dan dibengkokkan. Pelajaran sekolahnya menyertakan semua hal, kecuali akal sehat. Dia diajarkan akan harga diri tetapi tidak pemahaman, pembalasan dendam tetapi tidak belas kasih, dan kebijaksanaan universal tetapi tanpa kebenaran. Serangkaian audiensi dan seremonial yang tak kunjung habis mendorongnya pada keputusasaan. Tung Chih mencapai bentuk yang diharapkan, tetapi dengan pengorbanan atas kehidupannya. Dia dicegah dari memperoleh pemahaman akan dirinya sendiri dan dunia, direnggut dari pilihanpilihan dan kesempatan yang ada. Bagaimana mungkin dia akan tumbuh seimbang?

Bersenangsenang dengan para pelacur mungkin merupakan upaya Tung Chih untuk mengenali dirinya yang sebenarnya di balik topeng kekaisaran. Mungkin dia mewarisi tabiat pemburu dan merasa perlu mengejar kebebasan dan merasakan petualangan. Tiga ribu selir memperebutkan benih naganya, telah mematikan jiwa pemburu dalam dirinya. Jika saja aku mencoba melihatnya dari sudut pandangnya, aku mungkin bisa memahami penderitaannya. Setelah pemakamannya, kutemukan lagi barangbarang tak senonoh dalam kamarnya. Barangbarang ini tersembunyi di dalam bantalbantalnya, di dalam kain seprai, dan di bawah ranjangnya. Bukubuku ini menampilkan kualitas dan selera paling rendah. Sisi tersembunyi dari kehidupan anakku, sang Kaisar Cina.

Aku ingat suatu ketika, suamiku berkata padaku, “Kau datang menyerang tempat tidurku layaknya tentara.” Dia mengatakannya dengan nada suara jijik. Aku telah berperan memaksakan ketidaksenangan yang sama terhadap anakku, yang membuat kematiannya bagai pembalasan nyata.


Kukirim Li Lienying untuk mengundang menantuku, Alute, minum teh. Tanpa kusangka, dia mengirim dewikzpesan balasan mengancam untuk bunuh diri.

Aku bingung dan meminta penjelasan padanya.

“Aku berhak untuk memimpin Istana begitu anakku lahir,“ Alute menuntut pada pesan balasannya. “Dan ku harap kau akan menyerahkan kekuasaan. Akan tetapi, aku telah diberitahukan bahwa kau tak akan mau mundur karena kau hidup hanya demi kekuasaan itu. Aku tak punya pilihan lain, selain menghilangkan diriku dari dunia yang rendah ini. Kuputuskan bahwa anak dalam kandunganku harus turut menemaniku.”

Aku tak pernah menganggap serius Alute saat dia bertingkah seperti ini. Aku tak pernah ambil pusing ketika dia merasa tidak perlu bersikap manis atau sopan di hadapanku. Dia tak menyukai hadiah pernikahan dariku, sebuah baju musim panas berwarna hijau muda dengan sulaman sutra. Dengan terangterangan, dia mengkritik seleraku dan mendesak untuk menata ulang seluruh istananya. Ketika kuundang dirinya ke opera kesukaanku, Paviliun Bunga Peoni, dia membuang mukanya sepanjang pertunjukan. Dia berpendapat sebagai Janda Kerajaan, tak sepantasnya aku menonton opera roman yang konyol.

Aku merasa jengkel, tetapi kubiarkan saja. Kupikir jika dia bersikap seperti itu padaku, pasti dia akan berlaku sama pada para kasimnya, pelayannya dan para selir, yang pada akhirnya nanti akan mencelakakannya. Kota Terlarang adalah tempat para wanita berkomplot satu sama lain. Sepertinya Alute menjadikan sikap diamku sebagai undangan untuk hinaanhinaan selanjutnya.

Akankah Alute sanggup memimpin suatu negara, jika cucuku lakilaki, dan dia mengambil alih pusat pemerintahan? Dia tampaknya meyakini bisa menangani krisis nasional tanpa berbekal pendidikan atau pengalaman. Sebagai orang luar, dia hanya melihat sisi kemewahan dan keagungan dari kedudukanku. Sebaliknya, aku bisa melihat bayangan pedang bermata dua. Jika saja Alute menampilkan sisi kecerdasan dan kebaikan dari dirinya, dengan senang hati aku akan membantunya.

Semua yang dilakukan Alute hanya menunjukkan padaku bahwa dirinya hanya seorang gadis yang manja dan tidak punya ide sedikit pun akan akibat dari tindakan-tindakannya. Bukannya mengambil bagian dalam proses pemakaman suaminya, dia malah menghabiskan waktunya bersama para anggota kerajaan senior, rivalrival politikku.

Jika saja Alute memberikanku pilihan, aku akan bisa menunjukkan jalan padanya. Tetapi dia tak mampu memahami bahwa proses alihkekuasaan akan melibatkan pertentangan antargolongan politik di Istana dan di pemerintahan negara secara keseluruhan. Dia tak tahu bahwa akan muncul perlawanan. Alute memberi tahukanku bahwa dirinya tidak memerlukan bantuanku, dan bahwa dia sudah berkeras hati untuk tak memercayaiku.

Bagaimana mungkin seorang gadis polos yang tidak mengenalku bisa begitu membenciku? Kebingunganku lebih besar daripada rasa marahku. Meski Alute adalah pilihan Nuharoo, kukira Nuharoo juga tak menyadari dalamnya kebencian Alute terhadap diriku.

Aku khawatir akan Alute, dan aku meneemaskan kondisi cucuku. Kenyataan bahwa Alute telah mempertimbangkan untuk mengambil nyawa janinnya sungguh menakutkanku. Apa yang akan diperbuatnya pada Cina jika dirinya diberikan kekuasaan penuh?

Kutulis balasan untuk Alute, setelah dia menampik secara kasar proposalku untuk menawarkan solusi yang masuk akal bagi perselisihan kami: “Para Menteri, Gubernur, dan Panglima Jenderal Cina tak akan mau mengabdi kecuali jika pemimpin mereka bisa membuktikan dirinya pantas mendapatkan kesetiaan dan nyawa mereka. Tugas ini tak akan semudah menghadiri pesta makan malam, membuat sulaman, atau menonton opera.”


Alute menjawab suratku dengan aksi bunuh diri.

Dia meninggalkan sebuah surat terbuka, yang mungkin tak ditulisnya sendiri. Bahasanya kabur dan kiasan yang digunakan tak jelas artinya.

“Saat burung mati, lagunya sedih,” awal surat Alute. “Saat wanita mati, katakatanya baik. Ini adalah kondisi yang kutemui pada hari ini. Suatu ketika, seorang wanita pergi menuju kematiannya, dan dia tak mampu berjalan tegak. Seseorang yang melihatnya berkata padanya, 'Apa kau takut?' Jawab wanita itu, 'Ya.’ ‘Jika kau takut, mengapa tak berbalik saja?' Wanita itu menjawab, 'Rasa takutku adalah kelemahan pribadi, tetapi kematianku adalah tugas publik...’”

Apakah Alute meyakini bahwa kematiannya merupakan tugas mulia? Aku melihat tindakan yang dia lakukan hanyalah bentuk protes dan hukuman bagiku semata. Tidak saja aku telah kehilangan Tung Chih, tetapi anaknya yang belum dilahirkan. Tak ada musuh yang bisa menghancurkanku melebihi ini.

Pelayan Alute mengatakan bahwa majikannya merasa senang dengan keputusannya untuk mengakhiri hidupnya. Alute menjadikan aksi bunuh dirinya sebagai peristiwa yang harus dirayakan. Dia menghadiahi para pelayannya dengan uang dan tanda mata karena menolongnya. Para pelayan dipanggil untuk menyaksikan aksi bunuh dirinya. Alute memerintahkan bahwa siapa pun yang berani menghentikannya akan dicambuk hingga mati. Ketika pagi hari yang direncanakan itu tiba, Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ http://kangzusi.com/ Alute menghirup opium, kemudian mendandani dirinya dengan mengenakan jubah keabadian. Para pelayan kemudian disuruh pergi. Alute mengunci dirinya di kamar, dan pada sore hari dia ditemukan meninggal.

Opium yang dihirup Alute diselundupkan ke Kota Terlarang oleh ayahnya, yang sudah mengetahui rencana anaknya. Walaupun dia tak setuju, sebagai bangsawan loyal yang telah dianugerahi gelar kerajaan yang tinggi dari pernikahan putrinya, dia menyetujui keinginan anaknya.

Dia takut perilaku salah putrinya akan mengorbankan kehidupan baiknya. Setelah ayahnya menyediakan opium yang cukup untuk membunuh Alute, dia menuliskan laporan untuk Dewan Istana bahwa dia tidak tahumenahu akan tindakan anaknya.

Kupanggil ayah Alute dan kutanyakan apakah dia telah mengatakan suatu hal yang membuat Alute marah. Lelaki itu menjawab, “Kukatakan padanya agar berhenti mengusik kemarahan Baginda Ratu Yang Mulia.”

Aku merasa kasihan pada Alute karena dia tidak menerima dukungan dari keluarganya. Lebih dari itu, aku membencinya karena tindakannya membunuh cucuku yang belum dilahirkan. Kemudian terbit dugaanku bahwa aku tak pernah menerima konfirmasi akan kehamilan Alute dari tabib mana pun, juga tak pernah kulihat perutnya yang membesar.

Tabib Sun Paotien tiba atas panggilanku. Dia melaporkan bahwa pemeriksaan tak pernah dilakukan karena Alute tak pernah mengizinkannya masuk.

Apakah mungkin semuanya hanyalah tipuan?

Jika kehamilannya hanya tipuan, aksi bunuh diri Alute jadi lebih masuk akal. Hidupnya akan berakhir hanya sebagai salah seorang wanita Tung Chih yang terbuang. Dia tidak akan diberikan peran sebagai Wali Kaisar, mengingat dia tak memiliki keturunan. Dengan menemani Tung Chih ke kuburnya, perbuatannya akan dinilai sebagai satu kebajikan dan akan dihargai oleh rakyat. Sebaliknya, suratnya menyiratkan bahwa tanggung jawab sepenuhnya atas kematiannya tertuju pada diriku.

Di balik sikap malumalu Alute, tersimpan pikiran yang keras dan ambisius. Karakter yang tak tenang, dengan ambisi raksasa.

Lawanlawanku memanfaatkan Alute dengan baik. Aku sangat muak melihat ayahnya, yang tampak begitu tak berbahaya. Aku tak akan memaafkan orang yang bisa mendorong anaknya untuk menghabisi nyawanya sendiri. Jika begini cara Alute dibesarkan, mungkin suatu keberuntungan dia tidak memiliki anak.

Dalam imajinasi Alute, aku merupakan ancaman besar. Dia mungkin telah membayangkan kehidupannya sebagai Wali Kekaisaran, dan hanya aku satusatunya rintangan yang harus dia atasi. Cara Alute menulis suratnya terdengar begitu percaya diri. Fakta bahwa dia seperti meyakini dirinya tengah mengandung seorang bayi laki-laki adalah bukti tersendiri bahwa dirinya menderita gangguan jiwa.

Ada atau tidak adanya cucuku, kemungkinan itu akan tetap terus menghantuiku. Yang membuatku sedih adalah mengetahui bahwa kematian suaminya tak juga membangkitkan rasa simpati dalam diri Alute. Jika dia pernah sungguhsungguh mencintai Tung Chih, dia tak akan tega membunuh anak suaminya.

Aku sangat terluka memikirkan kemungkinan bahwa kehidupan putraku mungkin telah terampas dari cinta satusatunya. Pikiran itu mengarah pada kemungkinankemungkinan lain, seperti alasan di balik ketagihan Tung Chih pada para pelacur. Apa karena kasih sayang yang tak diterimanya? Tung Chih bukanlah malaikat, melainkan seorang anak yang selalu haus akan cinta.

Aku berusaha menghentikan pikiranku agar tak berkutat pada rasa bersalah. Kukatakan pada diri sendiri bahwa Tung Chih dan Alute pernah menjadi sepasang kekasih sejati dan itu pasti ada artinya, dan akan tetap begitu.


Sebelum musim semi, seorang pejabat Kerajaan menuduhku “telah memicu kambuhnya penyakit Kaisar” Aku tak ambil pusing akan pendapat ini; ide itu begitu menggelikan. Yang tak kuduga adalah bahwa kisah itu telah beredar cukup luas dan akhirnya dimuat dalam sebuah jurnal Inggris terkemuka. Berita ini menjadikanku sebagai pusat skandal internasional—tersangka utama dari “pembunuhan” Kaisar Tung Chih.

“Alute yang penuh kasih sedang mengunjungi Tung Chih yang tengah sakit di pembaringannya,” bunyi artikel itu. “Dia mengeluhkan kelakuan ibu mertuanya yang suka ikut campur dan selalu mendominasi, dan dia menantikan dengan senang hati hari ketika Tung Chih akan sembuh. Pada saat itulah, Janda Kaisar Putri Yehonala yang gusar, masuk. Dia masuk kamar dengan mengamuk, menjambak rambut Alute dan menghajarnya. Sementara itu, Tung Chih yang sedang menderita sakit saraf yang parah, menyebabkan demamnya kembali kambuh, dan pada akhirnya membunuhnya.”





13




KUBAYANGKAN ES MENGAPUNG di atas sungai ketika tengah mencair, begitu tipis dan rapuh. Es itu tak tampak bagai es, tetapi seperti kertas nasi. Tung Chih tak pernah tahu seperti apa salju di Selatan Cina. Dia sudah terbiasa dengan Salju Peking, dengan es yang keras. Dia tak pernah diperbolehkan berseluncur di atas sungai istana yang beku; sebaliknya, dia hanya menonton sepupusepupunya bermain sepanjang hari. Hal yang masih boleh dilakukan oleh Tung Chih hanyalah mengikat tali jerami di sekitar sepatunya agar dia dapat berjalan di atas es dengan bantuan kasimkasimnya.

Dalam kenangan masa kecilku, musim salju selalu dingin dan lembap. Saat angin barat laut bertiup kencang menerpa jendela dan membuat kacakaca jendela berderak seolah ada yang mengetuknya, Ibu akan mengumumkan bahwa musim salju terdingin telah tiba. Karena temperatur tak pernah mencapai titik beku di Selatan, hanya sedikit rumah di sana yang memiliki pemanas.

Aku ingat Ibu mengeluarkan semua pakaian musim dingin kami dari peti cendana. Kami memakai jaket katun tebal, topi dan syal, serta semua orang akan berbau kayu cendana. Saat dalam rumah terlalu dingin, orangorang akan keluar ke jalan untuk mengangatkan badan mereka di bawah matahari. Sayangnya, musim dingin di Selatan sering kali tidak bermatahari. Udaranya lembap dan langit berwarna abuabu sepanjang musim dingin.

Hari ini aku terbangun di ruangan yang cukup penghangat. Li Lienying sangat lega melihatku tak menyingkirkan makananku hinaga nyaris menangis. Dia menghidangkan makanan citarasaSelatan: bubur panas dengan tahu yang diawetkan, sayurmayur dan kacangkacangan, dengan ganggang laut panggang dan biji wijen. Dia mengatakan bahwa selama ini aku sakit dan telah tertidur sepanjang hari.

Aku menengadah ke atas dan merasakan leherku kaku dan pegal. Kusadari lampionlampion merah di ruangan telah berganti putih. Pikiran akan Tung Chih kembali, dan hatiku kembali merasakan perihnya tikaman. Aku bersusah payah bangkit dari ranjang. Mataku menangkap tumpukan dokumen di atas meja.

“Apa yang mesti kuketahui?” tanyaku.

Tak ada jawaban. Li Lienying menatapku seolah tak mengerti. Kusadari bahwa aku masih terbiasa dengan cara Antehai, dan Li Lienying masih belum memahami peranannya sebagai sekretaris kasimku.

“Kaubisa terangkan dengan singkat padaku, dimulai dari cuaca.”

Li Lienying adalah pelajar yang cepat. “Angin salju telah membawa badai debu dari gurun,” dia mengawalinya, sembari membantuku berpakaian. “Kemarin malam, tungkeu arang dinyalakan di pekarangan.”

“Teruskan.”

“Li Hungchang memindahkan tentaranya dari Chihli atas perintahmu. Dia telah mengamankan Kota Terlarang. Para gubernur dari delapan belas provinsi telah bergegas kemari. Sebagian dengan keretanya dan sebagian lagi dengan menunggang kuda. Mereka sedang memasuki gerbang saat ini. Yung Lu telah diberi tahu akan situasinya dan akan datang ke sini beberapa hari lagi.”

Aku terkejut. “Aku tak memerintahkan atau memanggilnya.”

“Permaisuri Nuharoo yang melakukannya.”

“Kenapa dia tak memberi tahuku?”

“Permaisuri Nuharoo datang ke sini beberapa kali saat Yang Mulia tertidur,” Li Lienying menjelaskan, “Katakata persisnya adalah, 'Tung Chih tak meninggalkan keturunan, dan seorang Kaisar baru harus dipilih”.

“Ke Balairung Pemeliharaan Jiwa! Siapkan tandu!” perintahku.


Nuharoo tampak lega saat melihatku memasuki balairung. “Tiga kandidat sudah dipilih…” Dia menyodorkanku catatan dari diskusi hari itu, “Seluruh anggota Klan Kerajaan hadir.”

Meski rasa lelahku tak juga surut, aku berusaha tampil seolah tak pernah meninggalkan urusan Kerajaan. Kuteliti namanama kandidat itu. Kandidat pertama adalah seorang bayi berusia dua bulan bernama P'ulun, cucu dari anak sulung Kaisar Tao Kuang—saudara suamiku, Pangeran Ts'eng. Mengingat generasi “Tsai” Tung Chih diikuti oleh generasi “P'u” bayi ini adalah satusatunya kandidat yang memenuhi aturan hukum keluarga Kerajaan, yang menyebutkan bahwa penerus takhta tak bisa anggota keluarga dari generasi yang sama dengan pendahulunya.

Dengan cepat, kucoret P'ulun. Alasanku adalah karena suamiku pernah. mengatakan bahwa kakek P'ulun, Pangeran Tseng, telah diadopsi dari keturunan anggota rendah keluarga Kerajaan, jadi bukan berasal dari garis darah sesungguhnya. “Dari pendahulu kami, tak ada cucu dari anak adopsi yang menaiki singgasana,” ungkapku.

Alasan sebenarnya di balik penolakanku adalah karena aku mengetahui lelaki macam apa Ts'eng itu. Selain kegemarannya bersenangsenang, dia adalah seorang radikal politik yang korup. Dia benarbenar tidak menghormatiku, hingga saat dia mendengar tentang kematian anakku. Dia tahu aku akan memiliki kuasa untuk memilih penerusnya.

Ketika penasihat Pangeran Ts'eng, seorang pejabat Istana, menunjukkan dokumen dari catatancatatan Dinasti Ming yang membuktikan keabsahan Pangeran, kuperingatkan Dewan Istana. “Masa pemerintahan Pangeran Ming yang satu itu berakhir dengan bencana, dengan pangerannya sendiri tertangkap dan terbunuh oleh kaum Mongol.”

Kandidat terpilih kedua adalah putra sulung Pangeran Kung, Tsaichen, teman lama Tung Chih. Sekeras apa pun usahaku, aku tak bisa melupakan kenyataan bahwa dialah yang mengenalkan Tung Chih pada rumahrumah bordil. Kutolak Tsaichen dengan mengatakan, “Hukum mensyaratkan agar ayah Kaisar yang masih hidup harus mundur dari pemerintahan, dan kupikir Istana tak dapat berfungsi dengan baik tanpa peranan Pangeran Kung, “

Ingin sekali aku berteriak pada Nuharoo dan Dewan Istana: Bagaimana mungkin kita memercayakan tanggung jawab kenegaraan pada seorang hidung belang? Aku akan menyuruh Tsaichen dipenggal, kalau saja dia bukan anak pangeran Kung!

Pilihan terakhir adalah Tsait’ien, keponakanku yang berusia tiga tahun, putra dari Pangeran Ch'un, adik bungsu suamiku, yang juga suami dari saudariku, Rong. Kami terpaksa melanggar aturan “takbolehdarigenerasiyang-sama” jika memilih Tsait'ien, tetapi kami sudah kehabisan pilihan.

Pada akhirnya, baik Nuharoo dan aku, menjatuhkan pilihan pada Tsait'ien. Kami memberitahukan akan mengadopsi anak itu jika Dewan Istana menerima proposal kami. Sebenarnya, selama ini aku memang berpikir untuk mengadopsi Tsait'ien. Ide itu datang ketika kutahu ketiga anak saudariku meninggal secara “kecelakaan” ketika bayi. Kematian mereka dianggap sebagai takdir, tetapi aku sadar akan kondisi mental Rong. Pangeran Ch'un mengeluhkan kondisi istrinya yang makin memburuk, tetapi tak ada tindakan yang diambil dan Rong tidak diberikan perawatan. Aku mencemaskan kemungkinan hidup Tsait’ien begitu dia dilahirkan. Telah kusarankan pada Rong untuk menyerahkan bayinya agar diadopsi, tetapi dia tetap memaksa untuk merawatnya sendiri.

Berat badan Tsait'ien di bawah normal untuk anak seusianya dan geraknya kaku seperti kayu. Para pengasuhnya melaporkan bahwa dia menangis sepanjang malam, sementara ibunya terus meyakini bahwa memberi makan anaknya hingga kenyang akan membunuhnya.

Ayah si anak mendorongnya untuk diadopsi. “Aku bersedia melakukan apa pun untuk membantu putraku terbebas dari ibunya,” ujar Pangeran Ch'un padaku. “Apa tak cukup ketiga putraku meninggal di bawah pengasuhan saudarimu?” Ketika kusampaikan akan kekhawatiranku tentang perpisahan dirinya dari Tsait'ien, dia berkata akan baikbaik saja, mengingat dia masih memiliki beberapa anak lain dari para istri dan selirselirnya.


Selanjutnya, Dewan Istana mendengarkan laporan akan karakter dan sejarah Ayah sang kandidat. Aku tak terkejut mendengar Pangeran Ch'un dianggap sebagai lelaki “berkepribadian ganda” Kuketahui dari suamiku, Kaisar Hsien Feng, bahwa “seluruh tubuh Pangeran Ch'un akan gemetar dan jatuh pingsan jika melihat ayahnya marah.” Akan tetapi, dia juga dikenal sebagai “pembual besar” di keluarga. Pangeran Ch'un mewakili golongan garis keras dari klan Manchu. Sementara mengaku tak memiliki minat dalam politik, dia telah menjadi rival lama saudaranya sendiri, Pangeran Kung.

“Suamiku hanya bisa menjadi lelaki jujur karena kebohongankebohongannya terlalu bodoh,” saudariku sering kali berkata. Pangeran Ch'un tak hentihentinya memberitahukan pada dunia akan filosofi hidupnya. Dia selalu menunjukkan kemuakannya pada kekuasaan dan kekayaan. Di ruang tamunya, terpampang sebuah kuplet dari kaligrafinya sendiri, memperingatkan kepada anak-anaknya betapa kekayaaan akan menjatuhkan, merusak, dan menyebabkan kehancuran. “Tanpa kekuasaan berarti tanpa bahaya,” bunyi baris itu. “Dan tanpa kekayaan berarti tanpa kehancuran.” Walaupun Ch'un seorang pangeran, dia tak memiliki jabatan penting atau diserahi tugastugas negara. Akan tetapi, dia tak pernah malu untuk menuntut kenaikan pendapatan tahunannya. Dia bahkan mengkritik Pangeran Kung, mengeluhkan kompensasi yang diterima saudaranya untuk mengadakan pestapesta demi menjamu para diplomat asing.

Meski semua hambatan itu, dan dengan upaya keras Yung Lu dari belakang untuk membujuk para anggota Klan, Dewan Istana akhirnya memberikan persetujuannya atas Pangeran Ch'un. Tsait’ien dipertimbangkan dengan serius, dan akhirnya terpilih. Satusatunya rintangan tersisa adalah bahwa Tsait'ien merupakan sepupu pertama Tung Chih dan secara hukum tak dapat memimpin secara resmi menggantikan mendiang Tung Chih. Dengan kata lain, Tung Chih tak dapat mengadopsi sepupunya sebagai anak sekaligus penerus.

Setelah perdebatan yang berlangsung berharihari, Dewan Istana memutuskan untuk mengadakan kembali pungutan suara terbuka.

Di luar angin berembus, dan lampionlampion di lorong berkedip. Hasil suara dihitung: tujuh orang memilih cucu Pangeran Ts'eng, P'ulun, tiga orang memilih putra Pangeran Kung, Tsaichen, dan lima belas orang menjatuhkan suaranya pada putra Pangeran Ch'un, keponakanku, Tsait'ien.

Meski Pangeran Ch'un memberitahukan pada Dewan Istana bahwa persetujuan istrinya mengenai pengadopsian resmi Tsait'ien tidak diperlukan, aku tetap menekankan bahwa keputusanku tak akan sah tanpa adanya persetujuan dari Rong.


Rumputrumput liar setinggi lutut memenuhi pekarangan dan sulursulur menutupi jalan setapak. Di dalam wisma utama saudariku, popokpopok bayi, makanan, piring-piring, botolbotol, mainan, dan bantalbantal terserak di manamana. Kecoak melintasi ruangan dan talatlalat hingap dari satu jendela ke jendela lain. Kasim dan pelayan Rong berbisik pada Li Lienying bahwa majikan mereka tak membolehkan bersihbersih.

“Anggrek!” Rong datang menyambutku. Dia tampak seperti habis bangun tidur. Rong mengenakan piama merah jambu terang bergambar bungabunga, dan pada kepalanya, dia mengenakan topi wol yang cocok digunakan saat menghadapi badai salju. Napasnya berbau busuk. Kutanyakan bagaimana kabarnya, dan mengapa dia mengenakan topi itu.

“Makhlukmakhluk aneh telah menjajah pikiranku,” ujar Rong, mengantarku menyusuri lorong yang sangat berantakan. “Aku mengalami sakit kepala akhirakhir ini.“

Kami memasuki ruang tamu, dan dia terjatuh ke sebuah bangku besar. “Makhlukmakhluk itu telah memakanku.” Meraih baki perak yang dipenuhi kue, dia mulai memakan. “Mereka suka yang manismanis, kautahu. Mereka akan tinggalkan aku sendiri setiap kali aku makan kue. Makhlukmakhluk licik dan keji.'

Saudariku tak tagi langsing dan cantik seperti dulu. Orangorang di Wuhu dulu biasa bilang, “Ketika seorang wanita menikah dan melahirkan, dia akan berubah dari “kuntum bunga menjadi sebuah pohon.” Rong justru jadi beruang. Badannya dua kali lebih besar daripada sebelumnya. Kutanyakan bagaimana perasaannya mengetahui anaknya terpilih sebagai Kaisar.

“Aku tak tahu.” Dia mengeluarkan suara kunyahan yang berisik. “Ayahnya seorang penipu.”

Aku tanyakan apa maksudnya.

Dia menyeka mulutnya dan bersandar lebih dalam pada punggung kursi. Perutnya membuncit seperti bantal. “Aku bersyukur aku tak hamil.” Dia menyeringai. Sisa remahremah kue menempel di mulutnya. “Tetapi kukatakan pada suamiku kebalikannya.” Dia mencondongkan badannya padaku dan berbisik, “Dia berkata itu mustahil karena kami sudah tidak melakukan hal itu selama bertahuntahun. Kukatakan padanya bahwa kehamilan ini disebabkan oleh iblis.” Dia mulai terbahak. “Itu benar-benar menakutkannya!”

Aku tak tahu harus berkata apa. Ada masalah serius pada diri saudariku.

“Anggrek, kau benarbenar kurus. Kau tampak menyedihkan. Berapa berat badanmu?”

“Sedikit di atas 55 kilo,” jawabku.

“Aku merindukanmu setelah pemakaman Ibu.” Tangis Rong segera meledak. “Kau tak pernah mau mengunjungiku, kecuali kalau ada urusan penting.”

“Kautahu itu tak benar, Rong,” ucapku, merasa bersalah.

Seorang kasim datang membawakan teh.

“Bukankan sudah kuberi tahu rumah ini tak menyuguhkan teh?” Rong membentak sang Kasim.

“Kupikir mungkin tamunya ingin…”

“Keluar sana,” perintah. Rong.

Si kasim memungut cangkircangkirnya dan memberikan Li Lienying tatapan marah.

“Dasar idiot,” ujar Rong. “Tak pernah belajar.”

Kupandang saudariku. kemudian berkata pelan, “Aku ke sini ingin bertemu Tsait'ien.”

“Si kecil pengurasuang lagi tidur siang,” jawab Rong. Kami mendatangi kamar anaknya. Tsaitien sedang tidur di balik selimutnya, meringkuk seperti anak kucing. Dia sangat mirip dengan Tung Chih. Aku mendekat untuk menyentuhnya.

“Aku tak ingin anak ini.” Suara Rong terdengar begitu jelas. “Dia hanya memberiku kesusahan dan aku sudah muak padaya. Terus terang, Anggrek, dia akan lebih baik tanpaku.”

“Tolong, hentikan Rong.”

“Kau tak mengerti. Aku juga takut pada diriku sendiri.”

“Apa maksudmu?”

“Aku tak merasakan cinta untuk anak ini—dia berasal dari dunia hitam. Dia membuat ketiga saudaranya mati agar dia bisa mendapatkan gilirannya memasuki tubuhku dan hidup. Saat hamil, aku sangat menginginkannya, tetapi setelah dia lahir, aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Aku selalu memimpikan ketiga anakku yang telah mati.” Rong mulai menangis. “Arwaharwah mereka mendatangiku untuk menyuruhku mengambil tindakan terhadap adik mereka.”

“Kau akan melupakannya, Rong.”

“Anggrek, aku tak tahan lagi. Tolong ambil anakku. Kau akan benarbenar menolongku, tetapi kau mesti berliatihati dengan rohnya yang dikuasai iblis. Dia akan merenggut ketenanganmu. Strategi liciknya adalah menangis sepanjang hari. Tak ada orang di sini yang bisa tidur! Anggrek, bantu aku. Cekik anak ini dari iblis yang merasuknya, jika perlu!”

“Rong, aku tak akan mengambilnya karena kau ingin menelantarkannya. Tsait'ien adalah anakmu, dan dia berhak mendapatkan cintamu. Biar kuberi tahu padamu, Rong, satusatunya hal yang kusesali adalah tak cukup memberikan cinta pada Tung Chih.”

“Oh, Mulan, sang pahlawan!” tangis Rong.

Terbangun oleh suara ibunya, Tsait'ien membuka matanya. Sejenak kemudian, dia menangis tanpa suara.

Seolah jijik, Rong meninggalkannya dan kembali ke kursinya.

Kuangkat Tsait'ien dan kugendong. Kuusapusap punggungnya dengan lembut. Badannya berbau air kencing.

Rong datang dan merenggut anaknya dariku. Dia menaruhnya kembali ke tempat tidur dan berkata, “Lihat, kau kasih dia hati, dia akan minta jantung!”

“Rong, dia baru tiga tahun.”

“Bukan, umurnya sudah tiga ratus tahun! Jagonya menyiksa. Dia berpurapura menangis, padahal bersenang-senang.“

Rasa marah dan sedih menyapuku. Aku merasa tak bisa tinggal di ruangan itu lebih lama. Aku mulai berjalan ke arah pintu.

Rong mengikuti. “Anggrek, tunggu sebentar.

Aku berhenti dan menengok ke belakang.

Dia menjepit hidung anak itu dengan jarijarinya.

Tsaitien mulai berteriak, berjuang mencari udara.

Rong terus menekan. “Nangis, nangis, nangis! Apa yang kauinginkan?”

Tsait'ien berusaha membebaskan diri, tetapi ibunya tak mau melepaskannya.

“Apa kaumau aku membunuhmu? Agar kaubisa diam? Mau begitu?” Rong menaruh tangannya di seputar leher Tsait'ien sampai dia tercekik. Rong tertawa histeris.

“Rong!” Aku kehilangan kendali dan menerjang ke arahnya. Kukukuku tanganku menekan pergelangan tangannya.

Saudariku berteriak.

“Lepaskan Tsait'ien!” bentakku.

Rong berusaha melawan, tetapi tak mau melepaskan anaknya.

“Dengarkan, Rong.” Kupelintir pergelangan tangannya lebih kuat. “Ini Permaisuri Tzu Hsi yang bicara. Aku akan memanggil penjaga dan kau akan didakwa karena membunuh Kaisar Cina.”

“Lelucon bagus, Anggrek!” sembur Rong.

“Kesempatan terakhir, Dik, lepaskan Tsait'ien atau kuperintahkan penangkapan dan pemenggalanmu.”

Kudorong Rong menghadap tembok dan kutekan dagunya dengan siku kananku, “Mulai dari sekarang, baik kau setuju atau tidak pada adopsi, Tsait'ien adalah putraku.”





The Last Empress Part 4

14



DALAM KEGELAPAN MALAM, detasemen pengawal dipimpin oleh Yung Lu, berbaris di jalan menuju kediaman Pangeran Ch'un dan Rong. Mereka menjemput Tsait'ien yang tengah tertidur dan membawanya memasuki Kota Terlarang, tempat dia akan menghabiskan sisa hidupnya. Kaki para prajurit dan kudakuda mereka dibungkus dengan jerami dan kain karung agar berita tentang pengganti Kaisar tak akan menyebar ke seluruh kota sebelum waktunya, dan memicu kerusuhan dan kekacauan, yang sering kali menyertai peristiwa pergantian pemimpin.

Fajar baru menyingsing ketika Tsait'ien tiba di istanaku. Aku telah menunggunya dengan menggunakan jubah resmi kerajaan. Masih setengah tidur, Tsait'ien diberikan padaku. Di Balairung Para Leluhur, dipimpin oleh Menteri bidang Etika Istana dan bersama dengan menterimenteri lain yang hadir, kami menjalankan upacara adopsi. Kugendong Tsait'ien dan bersimpuh. Bersamasama, kami membungkuk ke lukisanlukisan di dinding. Anak angkatku kemudian didandani dengan jubah naga dari sutra. Kubawa dia menuju peti jenazah Tung Chih, yang dengan bantuan para menteri, Tsait'ien menyelesaikan upacaranya dengan melakukan kowtow [Cara menghormat dengan bersujud dan menyentuhkan berkalikali ke tanah.] sendiri.

Kugendong Tsaifien saat dia menerima Dewan Istananya. Kami dikelilingi oleh cahaya lilin dan lampion. Kenangan akan Tung Chih kembali menghantuiku.

Pada 25 Februari 1875, keponakanku, yang sekarang menjadi anakku, menduduki Takhta Naga. Dia dinyatakan sebagai Kaisar Guanghsu—Kaisar Suksesi Agung. Namanya diubah dari Tsait’ien menjadi Guanghsu. Para petani di pedesaan akan mulai menghitung tahun itu dengan “tahun pertama Kekaisaran Guanghsu”.

Seperti yang pernah kami lakukan sebelumnya, Nuharoo dan aku mengumumkan di hadapan Dewan Istana dan negara bahwa “kami menantikan saat penyerahan urusan kenegaraan begitu Kaisar menyelesaikan pendidikannya.” Dalam dekrit, kami juga menjelaskan alasan mengapa kami terpaksa memilih Tsait’ien sebagai Kaisar, dan mengapa dia harus menjadi penerus melalui adopsi atas pamannya Kaisar Hsien Feng, dan bukannya atas saudara sepupunya, Tung Chih. “Begitu Guanghsu memiliki keturunan lakilaki,” kami menyebutkan, “anak itu akan diberikan pada mendiang pamannya, Tung Chih, sebagai penerus melalui adopsi untuk menggantikannya.”

Para rival politikku menentang dekrit tersebut. “Kami begitu terkejut atas pengabaian besar terhadap tata cara leluhur Kaisar Tung Chih,” ungkap mereka. Di tempat-tempat pertemuan dan kedaikedai teh di kota utama, fitnah keji dan gosip beredar. Satu kebohongan menyebutkan bahwa Guanghsu adalah anak kandungku dengan Yung Lu. Kebohongan lain mengatakan bahwa ayah Guanghsu adalah Antehai. Seorang hakim lokal bernama Wu K'otu menangkap perhatian negara secara dramatis: dia meracuni dirinya sendiri sebagai bentuk protesnya, dan menyebutkan suksesi yang dilakukan “tidak pantas dan tidak sah”.


Di tengah kekisruhan ini, abangku mengirim pesan yang memintaku untuk mengundangnya. Ketika Kuei Hsiang tiba, dengan mengenakan jubah satin bersulam simbol-simbol keberuntungan warnawarni, dia membawa serta anak perempuannya.

“Keponakanmu berusia empat tahun,” dia membuka percakapan, “dan dia belum dianugerahi nama kerajaan.”

Kukatakan padanya bahwa aku telah memilih satu nama. Dan aku meminta maaf, mengatakan padanya bahwa aku masih begitu terpukul dan belum sempat memikirkan banyak hal. “Namanya adalah Lanyu, atau cukup Lan.” Nama itu berarti “kekayaan mulia”.

Kuei Hsiang begitu gembira.

Aku memandang keponakanku baikbaik. Dia memiliki kening bulat dan dagu kecil yang lancip. Wajahnya yang sempit menguatkan gigi depan atasnya yang tonggos. Dia tampak tak percaya diri, hal yang tak mengherankan melihat bagaimana cara dia dibesarkan. Sosok abangku adalah sebagaimana yang biasa disebut orang Cina, “seorang naga di rumah, tetapi seorang cacing di luar”. Seperti kebanyakan orang Manchu, dia tak menghormati wanita, menganggap istriistri dan selirselirnya sebagai propertinya. Bukannya dirinya tak baik, hanya saja dia cenderung merendahkan orang lain. Aku tak pernah melihat perlakuannya terhadap putrinya, tetapi sikap anaknya sudah cukup memberi tahuku.

“Istriku menganggap anak kami cantik, tetapi kukatakan padanya bahwa Lan begitu tak menarik, sampai-sampai kami nanti harus memberikan potongan harga pada peminangnya. Terkesan oleh selera humornya sendiri, dia pun tergelak.

Kutawarkan pada Lan sebuah kuemangkok, dan keponakanku mengucapkan terima kasih dengan suara nyaris tak terdengar. Dia mengunyah seperti tikus dan menyeka mulutnya setiap kali gigitan. Dia memakukan pandangannya ke atas lantai dan aku bertanyatanya apakah gadis ini menemukan hal menarik untuk dilihat. Dengan bercanda, kutanyakan hal itu padanya. “Remahremah kue,” jawabnya.

Kusarankan agar saudaraku membawa Lan mengunjungi Putri Jung, anak suamiku. Putri Jung telah mengalami begitu banyak kemalangan—ibunya, Putri Yun, melakukan aksi bunuh diri—tetapi dia berhasil tumbuh meniadi wanita muda yang bijak.

“Apa yang kauinginkan kami pelajari dari gadis itu?” tanya Kuei Hsiang.

“Tanyakan pada jung tentang kisah bagaimana dia berjuang dalam hidup,“ jawabku. “Itu akan menjadi pelajaran terbaik bagi Lan. Dan tolonglah, jangan rendahkan anakmu. Menurutku, Lan gadis yang cantik.”

Mendengar katakataku, Lan mengangkat matanya. Ketika ayahnya menjawab, “Baik, Yang Mulia,” dia terkekeh geli.

“Aku tahu Putri Jung, “ Lan berkata dengan suara pelan. “Dia belajar di Eropa, betul tidak?'

“Itu niatnya, tetapi dipaksa pihak Istana untuk kembali pulang.“ Aku mendesah. “Akan tetapi, keberaniannyalah yang kukagumi. Dia memiliki semangat yang positif dan menjalani kehidupan yang produktif. Kau akan bertemu dengannya saat dia membantuku dalam urusanurusanku.“

“Tetapi Anggrek,” abangku protes, “aku menginginkan ajaran darimu, bukan ajaran dari anak selir yang penuh aib.”

“Itulah ajaranku, Kuei Hsiang,” ujarku. “Jung tinggal bersamaku, dan dia telah menyaksikan betapa banyak impianku yang tak terwujud. Keberanian untuk menjaga impianimpian itu tetap hidup meski apa pun yang terjadi adalah yang terpenting.“

Saudaraku tampak bingung.


Guanghsu terusmenerus menangis, dan aku jadi frustrasi. Aku terus menyanyikan lagu anakanak, sampaisampai jadi begitu muak dengan nadanya. Kubandingkan situasi Guanghsu seperti cara petani menanam beras. “Akar dari batang padi harus dipatahkan untuk mendorong keluamya biji padi,” adalah bunyi ungkapan di desa. Aku ingat, bekerja di sawah membantu mematahkan akarnya. Awalnya, suara pecahannya menggangguku karena aku tak percaya padipadi itu akan bertahan. Kutinggalkan sebidang lahan tak tersentuh untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata, batang padi yang dipatahkan tumbuh lebih sehat dan kuat daripada yang tidak.

Para pelayan Guanghsu mengatakan, “Paduka Yang Mulia terusterusan mengompol di ranjangnya tiap malam, dan takut akan kegelapan dan orangorang.” Anak angkatku juga mengalami kesulitan bicara, menampilkan diri bagai tahanan penjara dan tampak sedih setiap saat. Setelah beberapa bulan, berat badannya mulai merosot.

Kupanggil beberapa ibususu lama Guanghsu. Mereka mengatakan padaku bahwa Guanghsu adalah bayi yang bahagia saat dia baru dilahirkan. Adalah ibunya sendiri, saudariku, yang mencoba “memperbaiki tabiat buruknya” dengan memukulinya setiap kali dia ingin makan dan tertawa.

Nuharoo dan aku tidak bisa melakukan apa pun untuk menyenangkan bocah kecil itu. Guanghsu gemetar dan berteriak ketika tukang reparasi memukul paku atau menggergaji kayu. Kilatan guruh pada musim panas menjadi satu masalah baru. Pada harihari terik sebelum hujan datang, kami harus menutup pintu dan jendelanya agar suaranya tak mengganggunya. Guanghsu tak akan mau pergi menjelajah ruangan sendiri. Juru masak tak lagi diperbolehkan memotong sayuran dengan pisau; mereka menggantinya dengan gunting. Para pelayan diperintahkan untuk tak berisik saat meneud piring. Li Lienying menggunakan ketepel untuk mengusir burungburung pelatuk.

Untuk membuat proses adaptasi Kaisar lebih mudah, kuperintahkan salah seorang ibususunya untuk datang ke Kota Terlarang dan tinggal bersama kami. Kuharap Guang-hsu akan menemukan ketenangan darinya. Tetapi Nuharoo menyuruhnya pulang, “Guanghsu harus melupakan semua kondisi lamanya,” desaknya. “Dia harus dan akan diperlakukan seperti anak yang terlahir di Istana.”

Ketegangan mulai terbangun antara Nuharoo dan aku, hal yang sama terjadi seperti saat kami membesarkan Tung Chih. Aku takut akan kembali memperjuangkan perang yang siasia.

Di tengahtengah perselisihan memanas yang nyaris meledak, Nuharoo mengusirku dan aku meninggalkannya dengan berang. Dia mengambil alih pengasuhan Guang-hsu, yang artinya menyerahkan bocah malang itu pada para kasimnya. Nuharoo bukanlah orang yang mau mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mengurusi anak. Ternyata, kasimkasimya yang frustrasi melakukan hal yang paling ditakuti olah Guanghsu. Mereka menguncinya dalam lemari, lalu menakutnakutinya dengan memukuli pintu lemari itu keraskeras.

Saat Li Lienying mengetahui apa yang terjadi dan protes, Kepala Kasim Nuharoo berdalih, “Baginda Yang Mulia memiliki api di dadanya. Beri dia kesempatan untuk bernyanyi dan api itu akan padam dengan sendirinya.”

Untuk kali pertamanya, tanpa memperoleh izin dari Nuharoo, kuperintahkan agar Kepala Kasim itu dicambuk. Dan bagi pelayan selebihnya, mereka tidak memperoleh makanan selama dua hari. Aku tahu itu bukan kesalahan para pelayan, mereka hanya melakukan apa yang disuruh. Tetapi pemukulan itu diperlukan untuk memperingatkan Nuharoo bahwa aku sudah mencapai batas kesabaranku.

Nuharoo mengatakan pada Li Lienying bahwa selama bertahuntahun hidup bersamaku, dia belum pernah melihatku bertindak dengan kemarahan yang begitu liar. Dia menyebutku wanita gila dari kampung, kemudian pergi. Dalam lubuk hatinya, dia pasti tahu betapa pun aku merasa bertanggung jawab atas kematian Tung Chih, aku juga menganggap dirinya sama bersalahnya denganku. Kebijaksanaan Nuharoo memberi tahunya akan betapa bodohnya untuk menabur garam di atas lukaku.


Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Guanghsu, tetapi pada tahuntahun berikutnya, aku merasa seperti seorang pemain akrobat yang memutar piringpiring di atas tongkat. Aku akan berusaha keras menjaga lusinan piring tetap melayang di udara walau menyadari sepenuhnya bahwa apa pun yang kulakukan, sebagian piring akan tetap jatuh pecah.

Perekonomian Cina terpuruk akibat beratnya beban kompensasi perang yang harus ditanggung. Kekuatan asing mengancam untuk menyerang, dengan alasan karena kami menunggak pembayaran. Semua audiensiku menghabiskan waktu berdebat memikirkan cara terbaik untuk mengadu domba bangsabangsa asing satu sama lain agar kami bisa memperpanjang waktu. Berita pemberontakan petani dan permintaan bantuan dari pejabat daerah datang tiap harinya.

Aku bahkan tak punya cukup waktu untuk mandi sewajarnya. Rambutku begitu kotor hingga akarakarnya terasa sakit. Aku tak bisa menunggu hidangan mewah disiapkan untukku; aku biasanya akan menyantap hidanganku dingin di meja tulisku. Aku penuhi janjiku untuk selalu membacakan dongeng sebelum tidur pada anakku, tetapi biasanya aku akan jatuh tertidur sebelum mengakhiri dongengnya. Guanghsu akan membangunkanku untuk menyelesaikannya, dan aku akan memberinya kecupan sebelum tidur dan kembali ke pekerjaanku.

Ketika Guanghsu berusia tujuh tahun, aku menderita insomnia parah, yang segera diikuti dengan rasa sakit di perutku yang tak kunjung hilang. Tabib Sun Paot’ien memberi tahu bahwa aku mengalami gangguan hati. “Denyut nadi Anda menunjukkan bahwa cairan dalam tubuh Anda tidak seimbang. Akibatnya, sistem tubuh Anda bisa rusak.“

Suatu hari, aku merasa begitu lelah untuk bekerja. Nuharoo memberi tahuku bahwa dia akan mengambil alih audiensi hingga kesehatanku pulih.

Hal itu membuatku senang karena aku bisa berkonsentrasi melakukan apa yang paling kuinginkan: membesarkan Guanghsu. Beberapa kali lidahku terpeleset dan aku menyebutnya Tung Chih. Setiap kali pula, Guanghsu akan meraih saputangannya dan menyeka linangan air mataku dengan kesabaran dan penuh simpati. Watak lembutnya sangat menyentuhku. Tak seperti Tung Chih, Guanghsu tumbuh menjadi anak yang manis dan penyayang. Aku ingin tahu apakah itu karena dia sendiri seorang anak yang lemah sehingga lebih memahami bagaimana rasanya menderita.

Seiring berlalunya waktu, Guanghsu mulai memperlihatkan rasa keingintahuannya yang besar. Walaupun dia tak pernah menghilangkan ketakutannya sepenuhnya, rasa percaya dirinya mulai tampak. Guanghsu memiliki sikap yang begitu santun dan menyenangkan tamutamunya dengan pertanyaannya yang antusias akan dunia luar. Dia sangat senang membaca, menulis, dan mendengarkan kisahkisah.

Selama bertahuntahun, Menteri Urusan Etika Kerajaan telah memprotes tindakanku membiarkan Guang-hsu tidur di kamarku. Aku bersikukuh membawanya tidur bersamaku hingga dia sudah siap menghadapi kamarnya yang begitu luas tanpa rasa takut. Aku dituduh terlalu memanjakannya, dan lebih buruk daripada itu, tetapi aku tak peduli, “Bagi pihak Istana, Guanghsu juga tak pernah masuk hitungan sebagai pengganti Kaisar dari awalnya,” keluhku pada Nuharoo.

Tak lama, Guanghsu menemukan minatnya sendiri. Dia jatuh hati pada jamjam dan menghabiskan begitu banyak waktu di Ruang Jam Utama Istana, yang di sana jamjam dengan berbagai bentuk dipajang. jamjam ini merupakan hadiah dari para raja, ratu, dan duta besar asing. Hal ini menyenangkanku, mengingat saat harihari pertamaku di istana dulu aku juga begitu terpikat pada barangbarang baru dan rumit ini. Tak lama aku sudah kehilangan minat terhadapnya, tetapi Guanghsu tak pernah bosan mendengarkan suaranya dan berusaha mencari tahu apa yang membuat jamjam itu “bernyanyi”.

Pada suatu sore, Li Lienying datang padaku dengan kepanikan terlukis di waj ahnya. “Paduka Yang Mulia telah menghancurkan jamjam utama!”

“Yang mana?” tanyaku.

“Jam Kaisar Hsien Feng dan jam Tung Chih!”

Aku pergi memeriksa dan menemukan bahwa jamjam itu telah diobrakabrik, potonganpotongan kecil dari jam terserak di seluruh meja seperti sisa tulangtulang ayam yang habis digerogoti.

“Aku yakin kautahu cara menyusun kembali semua jam ini , “ ujarku pada Guanghsu.

“Bagaimana kalau tak bisa?” tanya Guanghsu, sambil menggenggam obeng di tangan.

“Aku akan menghargai atas usahamu untuk mencoba,” ujarku menyemangatinya.

“Apa kau akan marah jika jam burung kesukaanmu tak lagi bernyanyi?”

“Yah, aku tak bisa bilang aku akan senang, tetapi ahli jam juga harus belajar untuk mengetahui cara membetulkan bagianbagian yang rusak.”




15



YUNG LU BERDIRI di hadapanku dengan jubah satin istana berwarna ungu. Es di hatiku mulai mencair diterpa matahari semi. Seperti hantu sepasang kekasih, tempat pertemuan kami terjadi dalam mimpi-mimpi kami. Pada pagi hari, kami harus kembali merasuki tubuh nyata kami, tetapi mimpimimpi itu terus berlanjut. Dalam kostum dan riasan wajahku, akan kubayangkan kepalaku bersandar di dadanya dan tanganku merasakan kehangatannya. Aku melangkah dengan keanggunan Permaisuri, tetapi merasakan hasrat seorang gadis desa.

Aku tak punya seorang pun untuk membagikan pikiranku tentang Yung Lu, setelah kematian Antehai. Saat menginjak usia empat puluh, aku sudah menerima kenyataan bahwa Yung Lu dan aku tak akan bisa bersatu. Kami berdua hidup di bawah pengawasan bangsa kami. Surat kabar dan majalah memperoleh keuntungan dengan menjual gosip tentang hubungan kami.

Tak ada tempat bagi Yung Lu dan aku untuk bertemu tanpa diketahui. Uang yang ditawarkan untuk memperoleh informasi tentang kehidupan pribadiku menggiurkan para kasim, pelayan, dan pengabdi dari tingkat terendah untuk mengintai, mematamatai, dan menceritakan kisah yang mengadaada.

Namun, saatsaat seperti ini mengingatkanku akan ketidakmampuanku tak mengacuhkan rasa cintaku. Emosiku menemukan kedamaian dari kehadiran Yung Lu. Tatapan matanya membebaskanku dari rasa takut dan mencegahku terbenam dalam pikiranpikiran yang bisa menghancurkanku. Betapapun kepedihan yang kualami, dia meyakinkanku bahwa dia bersamaku. Pada audiensi dan pertemuan Dewan Istana, aku bersandar pada penilaian dan dukungannya. Dia adalah pengkritikku yang paling keras dan jujur, menuntunku untuk melihat permasalahan apa pun yang kuhadapi dari segala sisi. Tetapi begitu aku sudah menetapkan keputusan, dia akan memastikan agar keputusan itu dilaksanakan sepenuhnya.

“Ada apa?” tanyaku.

“Aku…,” Ekspresi wajahnya tampak bagai algojo yang enggan melakukan eksekusi. Yung Lu mengumpulkan napasnya dan mendorong katakata itu keluar dari dadanya.

“Aku ... akan menikah.”

Aku berusaha menahan perasaan yang tibatiba menyerangku. Sekuat tenaga, kutahan air mataku.

Kau tak memerlukan izinku,” aku berhasil berkata.

“Bukan itu sebabnya aku di sini.” Suaranya terdengar pelan tetapi jelas.

“Lalu untuk apa kau datang ke sini?” Aku berpaling menatapnya, marah sekaligus takut.

“Aku memohon izinmu untuk meninggalkan kota,” ucap dia pelan.

“Apa hubungannya itu dengan—“ Aku berhenti karena aku mengerti.

“Keluargaku akan ikut bersamaku,” tambahnya.

“Ke mana kau akan pergi?” kudengar diriku sendiri bertanya.

“Sinkiang.” Sinkiang berada jauh di barat laut, sebuah wilayah kaum Muslim, area gurun yang terpencil, tempat terjauh dari ibu kota.

Aku tak ingin menangis, tetapi aku mulai kehilangan kendali. “Apa kau benarbenar berpikir aku akan bertahan tanpamu?”

Yung Lu terdiam.

“Kautahu aku, kautahu diriku sebenarnya, dan kautahu alasanku hadir tiap pagi untuk audiensi.”

“Tolong, Yang Mulia... ' “

“Aku ingin ... mendapatkan informasi bahwa kau selamat agar aku bisa tenang.”

“Tak ada yang berubah.“

“Tetapi kau akan pergi!”

“Aku akan menulis surat. Aku berjanji…”

“Bagaimana caranya? Sinkiang begitu jauh.”

“Memang tak akan mudah, Yang Mulia. Tetapi ... akan lebih baik bagimu jika aku pergi,” desaknya.

“Yakinkan aku.”

Dia menebarkan pandangan ke sepenjuru ruangan. Walaupun para kasim dan pelayan tak menampakkan diri, mereka tidak pergi. Kami dapat mendengar gerakan mereka di pekarangan.

“Kaum Muslim telah mengobarkan pemberontakan, Yang Mulia. Provinsi itu penuh dengan kerusuhan. Tentara kita sekarang telah mengendalikannya, tetapi belum bisa menumpasnya. Dalam krisis terakhir, sekumpulan pembherontak dalam jumlah besar berkumpul di batas Provinsi Jiansu.”

“Mengapa kau harus pergi ke medan tempur sendiri? Bukankah ibu kota lebih penting?”

Dia tak menjawab.

“Nuharoo dan aku tak bisa memimpin tanpamu.”

“Para prajuritku sudah bersiap pergi, Yang Mulia.”

“Mengasingkan diri sendiri, itu yang kaulakukan!”

Dia menatapku tajam.

“Kau tak peduli bagaimana aku telah kehilangan anakku…”  Kupejamkan mata, berusaha menahan air mataku meleleh keluar. Kesadaranku tahu bahwa dia melakukan hal yang benar.

“Seperti yang kukatakan, ini yang terbaik bagi masa depan,” gumamnya.

“Kau tak akan mendapatkan izinku.” Aku membalikkan badanku darinya.

Kudengar suara debuman lutut Yung Lu menimpa lantai. Aku tak mampu menengok ke arahnya.

“Jika demikian, aku akan meminta dukungan dari Dewan Istana.”

“Bagaimana jika kutolak izin Dewan Istana?”

Dia bangkit dan berjalan ke arah pintu.

“Lupakan, Yung Lu!” Air mata membasahi pipiku. “Aku ... aku akan memberimu izin.”

“Terima kasih, Yang Mulia.”

Aku duduk di kursiku. Saputanganku bernoda cokelat dan hitam dari riasan wajahku yang luntur.

“Mengapa harus Sinkiang?” tanyaku. “Itu adalah tanah yang kejam dengan penyakit dan kematian. Itu adalah tempat yang dikuasai oleh orangorang yang fanatik dengan agama. Di mana kaubisa dapatkan tabib saat sakit? Ke mana kaubisa dapatkan pertolongan jika kalah dalam peperangan dengan Muslim? Di mana akan kautempatkan pasukan cadanganmu? Siapa yang bertanggung jawab terhadap jalur persediaanmu? Bagaimana caramu menjaga informasi terus sampai padaku?”


Wanita itu seorang Manchu, tetapi memiliki nama seorang Han, Willow. Dia memperlakukan para kasim dan pelayannya bagai keluarga sendiri. Hal itu saja cukup memberi tahuku bahwa dia bukan keturunan darah biru. Seorang turunan kerajaan akan memperlakukan kasim dan pelayannya bagai budak. Wanita itu adalah pengantin muda Yung Lu. Nyonya Yung Lu—lidahku akan lebih terbiasa memanggilnya dengan Willow—berusia akhir dua puluh. Perbedaan usia di antara mereka menimbulkan bisikbisik karena Yung Lu cukup tua untuk menjadi ayahnya. Namun, Willow tetap tersenyum dan mulutnya tetap terkunci. Untuk pernikahannya, dia mengenakan gaun biru muda sutra bersulam tanaman air hibiseus. Seperti namanya, Willow memiliki tubuh langsing dan bergerak dengan anggun.

Aku lega Nuharoo memberi alasan untuk tak menghadiri pernikahannya. Sikap sok tahunya akan mengalihkanku dari memerhatikan perayaannya, terutama pada kedua mempelai baru itu.

Saat Yung Lu mengenalkan pengantinnya padaku, wanita itu bersikap sangat manis. Dia menatap mataku lekat, yang sungguh mengejutkanku. Sambutannya pada diriku, seolah dia telah menantikan saat ini sepanjang hidupnya.

Bertahuntahun kemudian, setelah kami menjadi teman baik dan setelah kematian suaminya, Willow akan memberi tahuku bahwa dia mengetahui kebenarannya selama ini. Yung Lu tak pernah menyembunyikannya darinya, yang membuat sosoknya jadi begitu luar biasa di mataku. Dia adalah anak dari seorang panglima perang yang merupakan teman Yung Lu, seorang pemimpin suku Mongol. Prestasiprestasi luar biasa Yung Lu telah lama menjadi topik pembicaraan di tengah keluarganya saat dia tumbuh besar. Setiap kali Yung Lu berkunjung menemui ayahnya, Willow muda akan mencari alasan untuk terus menemani. Dia sudah jatuh cinta pada Yung Lu sebelum bertemu dengannya.

Kelak, Willow akan mengungkapkan padaku bahwa aku telah menjadi objek yang dipelajarinya sebelum dia mengawali hubungannya dengan suaminya. Bahkan, aku adalah satusatunya topik yang menarik hatinya tiap kali Yung Lu datang berkunjung. Dia akan menanyakan banyak hal, dan terkesan oleh jawabanjawaban yang diberikannya. Dia mengungkapkan bahwa minat yang sama akan dirikulah yang mengarahkan mereka untuk saling menulis surat, berteman, dan akhirnya, menemukan rasa yang lebih mendalam akan diri satu sama lain. Willow satusatunya orang tempatnya berbagi rahasia.

Baru ketika Willow menolak banyak peminanglah, Yung Lu menyadari rasa cintanya. Kesetiaan dan keterbukaan yang ditunjukkan Willow telah menyentuhnya. Yung Lu akhirnya melamar, dan gadis itu menerimanya. Yung Lu sadar dia tak akan mampu menjaga hubungan yang sehat bersama istrinya jika dia terus menemuiku pada audiensi.

Willow tak berhasil menutupi kepurapuraannya terhadapku. Kali pertama kami bertemu, aku merasa seolah seseorang telah mengintip ke dalam jiwaku. Ada rasa pemahaman yang aneh dan misterius di antara kami berdua. Bertahuntahun kemudian, Willow akan mengingat sambutanku pada pesta pernikahannya. Dia mengingatku sebagai orang yang hangat dan jujur. Dia menanyakan bagaimana caraku bersikap begitu tenang. Aku katakan padanya bahwa aku telah berlatih memerankan lakon di panggung kehidupan. “Begitu pula denganmu ujarku padanya.”

Yung Lu tak dapat menutupi perasaannya di hadapan istrinya. Dia berusaha, tetapi tak bisa memberi Willow yang diinginkan hatinya. Rasa bersalah selalu tampak dari sikapnya. Sikap menghindarnya dari diriku dan permohonan maafnya yang berlebihlebihan, membuat Willow merasa lebih buruk.

Aku menenggak cukup banyak arak di pesta itu. Kurasa aku berusaha melupakannya. Aku mengenakan gaun sutra emas bersulam burungburung phoenix. Rambutku digelung ke papan tipis dan ditata membentuk awan. Li Lienying menata awannya dengan jepit rambut giok warna biru tua. Antinganting burung phoenixku berwarna biru muda. Aku ingin menyenangkan hati Yung Lu, tetapi aku tak bisa terus berpurapura riang. Pikiran tak bisa menemuinya lagi, membuatku mabuk dan menangis. Aku merasa begitu pusing dan mual, hingga aku harus berlari keluar dan muntah di semaksemak.

Pada saat memalukan dan putus asa itulah, Willow mendatangi dan duduk di sampingku, menawarkan simpatinya. Dia tak mengungkapkan padaku apa yang kukatakan padanya pada malam itu. Aku yakin telah bersikap kasar dan jahat padanya. Li Lienying yang mengatakan padaku setelahnya bahwa Willow menggenggam tanganku dan tak membiarkan orangorang yang tampak usil mendekatiku.

Itulah awal mula pertemananku dengan Willownya Yung Lu. Tak pernah sekali pun dia menyebutkan rahasia suaminya. Rasa harunya terhadap penderitaanku mengalahkan rasa cemburunya. Sikap persahabatan yang dia tunjukkan adalah dengan memastikanku tahu bahwa suaminya tak pernah berhenti mencintaiku hingga akhir hidupnya.

“Mustahil untuk tak mencintaimu, Anggrek—jika aku boleh memanggilmu dengan nama itu,“ ujar Willow, dan aku tahu mengapa Yung Lu mencintainya.

Sebagai balasannya, aku ingin melakukan hal yang sama untuk Willow. Ketika dia kembali ke Peking untuk melahirkan anak perempuannya setahun kemudian, aku menyambutnya. Kehidupan gurun yang keras telah menggelapkan warna kulitnya dan keriput telah mewarnal keningnya. Dia tetap bersikap ceria, tetapi tak dapat menutupi rasa gelisahnya: Iklim gurun telah mengakibatkan Yung Lu menderita sakit paruparu kronis.

Kukirimkan berkantongkantong ramuan herbal ke Sinkiang, bersama dengan teh terbaik, daging yang di keringkan, dan berbagai jenis kacang kedelai yang di awetkan. Aku membiarkan Willow tahu bahwa dia dapat selalu mengandalkanku.




15



YUNG LU BERDIRI di hadapanku dengan jubah satin istana berwarna ungu. Es di hatiku mulai mencair diterpa matahari semi. Seperti hantu sepasang kekasih, tempat pertemuan kami terjadi dalam mimpi-mimpi kami. Pada pagi hari, kami harus kembali merasuki tubuh nyata kami, tetapi mimpimimpi itu terus berlanjut. Dalam kostum dan riasan wajahku, akan kubayangkan kepalaku bersandar di dadanya dan tanganku merasakan kehangatannya. Aku melangkah dengan keanggunan Permaisuri, tetapi merasakan hasrat seorang gadis desa.

Aku tak punya seorang pun untuk membagikan pikiranku tentang Yung Lu, setelah kematian Antehai. Saat menginjak usia empat puluh, aku sudah menerima kenyataan bahwa Yung Lu dan aku tak akan bisa bersatu. Kami berdua hidup di bawah pengawasan bangsa kami. Surat kabar dan majalah memperoleh keuntungan dengan menjual gosip tentang hubungan kami.

Tak ada tempat bagi Yung Lu dan aku untuk bertemu tanpa diketahui. Uang yang ditawarkan untuk memperoleh informasi tentang kehidupan pribadiku menggiurkan para kasim, pelayan, dan pengabdi dari tingkat terendah untuk mengintai, mematamatai, dan menceritakan kisah yang mengadaada.

Namun, saatsaat seperti ini mengingatkanku akan ketidakmampuanku tak mengacuhkan rasa cintaku. Emosiku menemukan kedamaian dari kehadiran Yung Lu. Tatapan matanya membebaskanku dari rasa takut dan mencegahku terbenam dalam pikiranpikiran yang bisa menghancurkanku. Betapapun kepedihan yang kualami, dia meyakinkanku bahwa dia bersamaku. Pada audiensi dan pertemuan Dewan Istana, aku bersandar pada penilaian dan dukungannya. Dia adalah pengkritikku yang paling keras dan jujur, menuntunku untuk melihat permasalahan apa pun yang kuhadapi dari segala sisi. Tetapi begitu aku sudah menetapkan keputusan, dia akan memastikan agar keputusan itu dilaksanakan sepenuhnya.

“Ada apa?” tanyaku.

“Aku…,” Ekspresi wajahnya tampak bagai algojo yang enggan melakukan eksekusi. Yung Lu mengumpulkan napasnya dan mendorong katakata itu keluar dari dadanya.

“Aku ... akan menikah.”

Aku berusaha menahan perasaan yang tibatiba menyerangku. Sekuat tenaga, kutahan air mataku.

Kau tak memerlukan izinku,” aku berhasil berkata.

“Bukan itu sebabnya aku di sini.” Suaranya terdengar pelan tetapi jelas.

“Lalu untuk apa kau datang ke sini?” Aku berpaling menatapnya, marah sekaligus takut.

“Aku memohon izinmu untuk meninggalkan kota,” ucap dia pelan.

“Apa hubungannya itu dengan—“ Aku berhenti karena aku mengerti.

“Keluargaku akan ikut bersamaku,” tambahnya.

“Ke mana kau akan pergi?” kudengar diriku sendiri bertanya.

“Sinkiang.” Sinkiang berada jauh di barat laut, sebuah wilayah kaum Muslim, area gurun yang terpencil, tempat terjauh dari ibu kota.

Aku tak ingin menangis, tetapi aku mulai kehilangan kendali. “Apa kau benarbenar berpikir aku akan bertahan tanpamu?”

Yung Lu terdiam.

“Kautahu aku, kautahu diriku sebenarnya, dan kautahu alasanku hadir tiap pagi untuk audiensi.”

“Tolong, Yang Mulia... ' “

“Aku ingin ... mendapatkan informasi bahwa kau selamat agar aku bisa tenang.”

“Tak ada yang berubah.“

“Tetapi kau akan pergi!”

“Aku akan menulis surat. Aku berjanji…”

“Bagaimana caranya? Sinkiang begitu jauh.”

“Memang tak akan mudah, Yang Mulia. Tetapi ... akan lebih baik bagimu jika aku pergi,” desaknya.

“Yakinkan aku.”

Dia menebarkan pandangan ke sepenjuru ruangan. Walaupun para kasim dan pelayan tak menampakkan diri, mereka tidak pergi. Kami dapat mendengar gerakan mereka di pekarangan.

“Kaum Muslim telah mengobarkan pemberontakan, Yang Mulia. Provinsi itu penuh dengan kerusuhan. Tentara kita sekarang telah mengendalikannya, tetapi belum bisa menumpasnya. Dalam krisis terakhir, sekumpulan pembherontak dalam jumlah besar berkumpul di batas Provinsi Jiansu.”

“Mengapa kau harus pergi ke medan tempur sendiri? Bukankah ibu kota lebih penting?”

Dia tak menjawab.

“Nuharoo dan aku tak bisa memimpin tanpamu.”

“Para prajuritku sudah bersiap pergi, Yang Mulia.”

“Mengasingkan diri sendiri, itu yang kaulakukan!”

Dia menatapku tajam.

“Kau tak peduli bagaimana aku telah kehilangan anakku…”  Kupejamkan mata, berusaha menahan air mataku meleleh keluar. Kesadaranku tahu bahwa dia melakukan hal yang benar.

“Seperti yang kukatakan, ini yang terbaik bagi masa depan,” gumamnya.

“Kau tak akan mendapatkan izinku.” Aku membalikkan badanku darinya.

Kudengar suara debuman lutut Yung Lu menimpa lantai. Aku tak mampu menengok ke arahnya.

“Jika demikian, aku akan meminta dukungan dari Dewan Istana.”

“Bagaimana jika kutolak izin Dewan Istana?”

Dia bangkit dan berjalan ke arah pintu.

“Lupakan, Yung Lu!” Air mata membasahi pipiku. “Aku ... aku akan memberimu izin.”

“Terima kasih, Yang Mulia.”

Aku duduk di kursiku. Saputanganku bernoda cokelat dan hitam dari riasan wajahku yang luntur.

“Mengapa harus Sinkiang?” tanyaku. “Itu adalah tanah yang kejam dengan penyakit dan kematian. Itu adalah tempat yang dikuasai oleh orangorang yang fanatik dengan agama. Di mana kaubisa dapatkan tabib saat sakit? Ke mana kaubisa dapatkan pertolongan jika kalah dalam peperangan dengan Muslim? Di mana akan kautempatkan pasukan cadanganmu? Siapa yang bertanggung jawab terhadap jalur persediaanmu? Bagaimana caramu menjaga informasi terus sampai padaku?”


Wanita itu seorang Manchu, tetapi memiliki nama seorang Han, Willow. Dia memperlakukan para kasim dan pelayannya bagai keluarga sendiri. Hal itu saja cukup memberi tahuku bahwa dia bukan keturunan darah biru. Seorang turunan kerajaan akan memperlakukan kasim dan pelayannya bagai budak. Wanita itu adalah pengantin muda Yung Lu. Nyonya Yung Lu—lidahku akan lebih terbiasa memanggilnya dengan Willow—berusia akhir dua puluh. Perbedaan usia di antara mereka menimbulkan bisikbisik karena Yung Lu cukup tua untuk menjadi ayahnya. Namun, Willow tetap tersenyum dan mulutnya tetap terkunci. Untuk pernikahannya, dia mengenakan gaun biru muda sutra bersulam tanaman air hibiseus. Seperti namanya, Willow memiliki tubuh langsing dan bergerak dengan anggun.

Aku lega Nuharoo memberi alasan untuk tak menghadiri pernikahannya. Sikap sok tahunya akan mengalihkanku dari memerhatikan perayaannya, terutama pada kedua mempelai baru itu.

Saat Yung Lu mengenalkan pengantinnya padaku, wanita itu bersikap sangat manis. Dia menatap mataku lekat, yang sungguh mengejutkanku. Sambutannya pada diriku, seolah dia telah menantikan saat ini sepanjang hidupnya.

Bertahuntahun kemudian, setelah kami menjadi teman baik dan setelah kematian suaminya, Willow akan memberi tahuku bahwa dia mengetahui kebenarannya selama ini. Yung Lu tak pernah menyembunyikannya darinya, yang membuat sosoknya jadi begitu luar biasa di mataku. Dia adalah anak dari seorang panglima perang yang merupakan teman Yung Lu, seorang pemimpin suku Mongol. Prestasiprestasi luar biasa Yung Lu telah lama menjadi topik pembicaraan di tengah keluarganya saat dia tumbuh besar. Setiap kali Yung Lu berkunjung menemui ayahnya, Willow muda akan mencari alasan untuk terus menemani. Dia sudah jatuh cinta pada Yung Lu sebelum bertemu dengannya.

Kelak, Willow akan mengungkapkan padaku bahwa aku telah menjadi objek yang dipelajarinya sebelum dia mengawali hubungannya dengan suaminya. Bahkan, aku adalah satusatunya topik yang menarik hatinya tiap kali Yung Lu datang berkunjung. Dia akan menanyakan banyak hal, dan terkesan oleh jawabanjawaban yang diberikannya. Dia mengungkapkan bahwa minat yang sama akan dirikulah yang mengarahkan mereka untuk saling menulis surat, berteman, dan akhirnya, menemukan rasa yang lebih mendalam akan diri satu sama lain. Willow satusatunya orang tempatnya berbagi rahasia.

Baru ketika Willow menolak banyak peminanglah, Yung Lu menyadari rasa cintanya. Kesetiaan dan keterbukaan yang ditunjukkan Willow telah menyentuhnya. Yung Lu akhirnya melamar, dan gadis itu menerimanya. Yung Lu sadar dia tak akan mampu menjaga hubungan yang sehat bersama istrinya jika dia terus menemuiku pada audiensi.

Willow tak berhasil menutupi kepurapuraannya terhadapku. Kali pertama kami bertemu, aku merasa seolah seseorang telah mengintip ke dalam jiwaku. Ada rasa pemahaman yang aneh dan misterius di antara kami berdua. Bertahuntahun kemudian, Willow akan mengingat sambutanku pada pesta pernikahannya. Dia mengingatku sebagai orang yang hangat dan jujur. Dia menanyakan bagaimana caraku bersikap begitu tenang. Aku katakan padanya bahwa aku telah berlatih memerankan lakon di panggung kehidupan. “Begitu pula denganmu ujarku padanya.”

Yung Lu tak dapat menutupi perasaannya di hadapan istrinya. Dia berusaha, tetapi tak bisa memberi Willow yang diinginkan hatinya. Rasa bersalah selalu tampak dari sikapnya. Sikap menghindarnya dari diriku dan permohonan maafnya yang berlebihlebihan, membuat Willow merasa lebih buruk.

Aku menenggak cukup banyak arak di pesta itu. Kurasa aku berusaha melupakannya. Aku mengenakan gaun sutra emas bersulam burungburung phoenix. Rambutku digelung ke papan tipis dan ditata membentuk awan. Li Lienying menata awannya dengan jepit rambut giok warna biru tua. Antinganting burung phoenixku berwarna biru muda. Aku ingin menyenangkan hati Yung Lu, tetapi aku tak bisa terus berpurapura riang. Pikiran tak bisa menemuinya lagi, membuatku mabuk dan menangis. Aku merasa begitu pusing dan mual, hingga aku harus berlari keluar dan muntah di semaksemak.

Pada saat memalukan dan putus asa itulah, Willow mendatangi dan duduk di sampingku, menawarkan simpatinya. Dia tak mengungkapkan padaku apa yang kukatakan padanya pada malam itu. Aku yakin telah bersikap kasar dan jahat padanya. Li Lienying yang mengatakan padaku setelahnya bahwa Willow menggenggam tanganku dan tak membiarkan orangorang yang tampak usil mendekatiku.

Itulah awal mula pertemananku dengan Willownya Yung Lu. Tak pernah sekali pun dia menyebutkan rahasia suaminya. Rasa harunya terhadap penderitaanku mengalahkan rasa cemburunya. Sikap persahabatan yang dia tunjukkan adalah dengan memastikanku tahu bahwa suaminya tak pernah berhenti mencintaiku hingga akhir hidupnya.

“Mustahil untuk tak mencintaimu, Anggrek—jika aku boleh memanggilmu dengan nama itu,“ ujar Willow, dan aku tahu mengapa Yung Lu mencintainya.

Sebagai balasannya, aku ingin melakukan hal yang sama untuk Willow. Ketika dia kembali ke Peking untuk melahirkan anak perempuannya setahun kemudian, aku menyambutnya. Kehidupan gurun yang keras telah menggelapkan warna kulitnya dan keriput telah mewarnal keningnya. Dia tetap bersikap ceria, tetapi tak dapat menutupi rasa gelisahnya: Iklim gurun telah mengakibatkan Yung Lu menderita sakit paruparu kronis.

Kukirimkan berkantongkantong ramuan herbal ke Sinkiang, bersama dengan teh terbaik, daging yang di keringkan, dan berbagai jenis kacang kedelai yang di awetkan. Aku membiarkan Willow tahu bahwa dia dapat selalu mengandalkanku.





17



AKU SUDAH DUDUK di depan cermin sejak pukul tiga dini hari. Kubuka mataku dan kulihat papan lebar yang menyangga rambutku membuat kepalaku tampak bagai jamur raksasa.

“Apa kau menyukainya, Tuan Putri?” tanya Li Lien-ying.

“Ya, cukup. Mari kita selesaikan segera.” Aku bangkit berdiri supaya dia bisa mulai membantuku mengenakan jubah resmi istana yang berat dan berlapislapis.

Aku tak terlalu menaruh perhatian akan penampilanku akhirakhir ini. Pikiranku begitu sibuk mengurusi Rusia di Utara, India Inggris di Barat, Indocina Prancis di Selatan, dan Jepang di Timur.

Sejumlah negara dan wilayah—termasuk Korea, Kepulauan Ryukyu, Annam, dan Burma—yang telah mengirimkan perwakilan dan upeti pada kami pada masa kekuasaan Tung Chih, semakin jarang mengirimnya, dan tak lama bahkan berhenti sama sekali. Kenyataan bahwa Cina sudah tak mampu menuntut kembali hakhak istimewanya menunjukkan bahwa posisi kami semakin lemah. Dari setiap pembelotan yang terjadi, pertahanan luar kami pun melemah.

Aku kini berharap agar Guru Weng berhenti menampilkan sikap ketulusannya yang tak ada gunanya, dan mulai lebih mempersiapkan Guanghsu untuk memegang tampuk kepemimpinan. Dengan kurangnya keluwesan dan kecerdikan, Nuharoo dan aku tak sanggup mengambil langkah kepemimpinan yang dibutuhkan saat begitu banyak masalah mengepung kami dari segala sisi. Tampaknya tak ada seorang pun yang mengerti bahwa negeri kami telah mengarah pada kejatuhan semenjak berabadabad lalu. Cina seperti orang yang berpenyakit dan tengah sekarat, hanya saja baru sekarang ini kebusukan tubuhnya mulai tampak.

Seperti singa lapar, Jepang telah bersembunyi di semaksemak, menantikan waktu untuk menyerang. Pada masa lalu, kami meremehkan tingkat kelaparannya. Kami telah bersikap terlalu baik terhadap tetangga kami yang kecil dan miskin sumber daya dari zaman dahulu. Jika saja kutahu bahwa Kaisar Meiji dari Jepang telah menghasut bangsanya untuk menyambar dan merampas kami, aku pasti akan mendorong Dewan Istana untuk hanya memusatkan diri membangun pertahanan.

Sepuluh tahun sebelumnya, pada 1868, sementara aku memusatkan tenagaku untuk membangun sekolahsekolah dasar di pedesaan, Kaisar Jepang telah menjalankan reformasi menyeluruh, mengubah sistem feodalnya menjadi masyarakat kapitalis modern yang kuat. Cina tak menyadari artinya, saat Jepang mulai menekan untuk meluaskan wilayahnya, dimulai dari pulaupulau utamanya di Utara hingga Formosa di Selatan. Formosa, yang disebut bangsa Mandarin sebagai Taiwan, selama ini merupakan negara kepulauan yang membayarkan upeti pada Kaisar Cina selama beratusratus tahun. Pada 1871, ketika beberapa pelaut dari Kepulauan Ryukyu dibunuh di sana oleh orangorang yang kemungkinan besar bandit setempat, pihak Jepang menggunakan kejadian itu sebagai alasan untuk ikut campur.

Birokrasi kerajaan dan kenaifan kami sendiri telah menjatuhkan kami ke dalam perangkap konspirasi Jepang. Awalnya, kami berusaha menjelaskan bahwa pihak kami tak patut disalahkan, tetapi Biro Urusan Luar Negeri kami memberikan tanggapan yang sembrono terhadap tuntutan Jepang agar segera dilakukannya pembenahan: “Kami tak bisa bertanggung jawab atas tindakan orangorang barbar yang di luar batas.” Pesan itu diterjemahkan oleh pihak Jepang sebagai undangan untuk mengambil alih negara kepulauan itu.

Tanpa adanya peringatan, tentara Jepang melancarkan serangannya, menuntut pembalasan atas nama penduduk Kepulauan Ryukyu.

Sudah telat ketika gubernur provinsi kami di sana menyadari bahwa dia tidak hanya telah membiarkan pihak Jepang menggantikan posisi kami di Ryukyu, tetapi juga telah menghapuskan hak otorisasi kami atas Pulau Taiwan yang memanjang sejauh 250 mil, yang sangat vital bagi kami.

Setelah perdebatan dan penundaan yang berlangsung selama berharihari, Dewan Istana menyimpulkan bahwa Cina tak dapat menyaingi kekuatan militer baru Jepang.

Akhirnya, kami harus membayar 500.000 tael pada Jepang sebagai uang ganti rugi, hanya untuk menerima berita lebih buruk enam tahun kemudian, saat Jepang “menerima penyerahan diri” Kepulauan Ryukyu secara resmi.


Pihak Inggris juga berusaha mengambil kesempatan dari setiap kejadian yang datang. Pada 1875, seorang penerjemah Inggris, AR Margary terbunuh di Provinsi Barat Daya Yunnan. Margary sedang menemani suatu ekspedisi untuk menyelidiki rute perdagangan dari Burma ke Pegunungan Yunnan, Kweichow, dan Szechuan, provinsiprovinsi yang kaya akan sumber daya mineral dan bijih tambang. Pihak asing tak mengacuhkan tanda peringatan bahaya akan pemberontakan kaum Muslim. Penerjemah itu diserang secara tibatiba dan dibunuh oleh bandit atau para pemberontak.

Perwakilan Inggris, Sir Thomas Wade, memaksa Cina untuk mengeluarkan suatu traktat baru. Kukirim Li Hung-chang, yang saat itu menjabat sebagai raja muda dari Provinsi Chihli, untuk bernegosiasi. Konvensi Chefoo ditandatangani, yang dengannya, beberapa pelabuhan dengan terpaksa dibuka lagi untuk kebutuhan perdagangan negaranegara Barat, termasuk kota asalku, Wuhu, di Sungai Yangtze.

Dengan rambut terjalin dalam kepangan panjang di punggungnya, Li Hungchang yang berusia lima puluh lima tahun, datang memohon ampunan. Dia mengenakan jubah istana hitam, dengan sulaman lambanglambang keberuntungan dan keberanian berwarna cokelat dan merah. Meski kurus, posturnya tegak dan raut mukanya serius. Dia memiliki kulit terang khas orang Selatan, dan mata sipitnya memancarkan kecerdasan. Hidungnya tampak panjang pada wajahnya yang bagai pahatan, dan bibirnya tersembunyi di balik janggutnya yang tercukur rapi.

“Pihak Inggris berusaha mengirim ekspedisi baru dari India menuju Burma untuk menekankan garis perbatasan orangorang Burma dan Cina,” Li Hungchang melaporkan sembari berlutut.

“Apa kau menyiratkan bahwa Burma telah diduduki oleh Inggris?”

“Tepat, Yang Mulia.”


Aku meyakini bahwa jika aku memperoleh kesetiaan dari para raja muda, aku dapat mewujudkan stabilitas Cina. Melawan nasihat Dewan Istana, aku meneruskan penunjukan Li Hungchang sebagai pejabat provinsi terpenting Cina. Li akan memangku jabatan yang sama di Chihli selama dua puluh tiga tahun.

Dengan sengaja, aku tak mengacuhkan fakta bahwa Li sudah melewati batas waktu dalam pergiliran jabatan ke bagian lain kerajaan. Sudah menjadi niatku untuk membiarkannya menambah kekayaan, koneksi, dan kekuasaannya. Aku mendukung rencana Li menata ulang dan memodernisasi kekuatan militer di Utara, di bawah nama “Angkatan Bersenjata Baru”, yang digosipkan orang sebagai Angkatan Bersenjata Keluarga Li. Aku sadar sepenuhnya bahwa para panglima perang mengabdi secara langsung pada Li Hungchang, bukannya pada Kaisar.

Kepercayaanku pada Li Hungchang kudasarkan pada penilaianku terhadap dirinya selaku orang yang menjunjung nilainilai Konfusius. Sementara sebaliknya, dia memercayaiku karena telah kubuktikan padanya bahwa aku tak akan mengabaikan kesetiaannya begitu saja. Dalam pandanganku, satusatunya yang bisa ditawarkan oleh Dewan Istana hanyalah kepastian penghargaan atas kepercayaan dan kesetiaan yang diberikan rakyatnya. Aku yakin bahwa seorang pemberontak kemungkinan besar tak akan mulai memicu pemberontakan jika saja dia diberikan kuasa penuh atas satu provinsi. Tidak saja aku memberikan Li keleluasaan untuk memimpin, tetapi juga membuatnya ingin mengabdi padaku.

Hal ini merupakan bisnis yang menguntungkan bagi kami berdua. Keuntungan yang diperoleh Li merupakan sumber utama bagi pendapatan pajak Cina. Pada 1875, pemerintah kami sudah bergantung secara penuh pada Li Hungchang. Sebagai contoh, ketika prajurit Li mengawasi pengangkutan garam ke Peking, yang membuatnya bisa mengawasi pelaksanaan monopoli garam, aku menerima aliran pemasukan darinya untuk mencegah Cina dari kebangkrutan.

Li Hungchang tak pernah meminta Dewan Istana untuk mendanai tentaranya. Itu tak berarti bahwa dia membayar para tentaranya dari harta simpanannya sendiri. Sebagai usahawan andal, dia menggunakan simpanan uang daerahnya sendiri. Aku yakin dia menghabiskan banyak harta untuk menyuap para Pangeran Manchu yang akan merintangi jalannya. Li juga menyediakan banyak lapangan kerja bagi negara, hingga jika bangkrut, perekonomian negeri pun akan segera menyusul. Meyakini bahwa Cina harus melakukan perbaikan secara meluas, Li membangun pabrikpabrik senjata, galangan kapal, pabrik batu bara, dan rel kereta api. Dengan persetujuan dan dukungan dariku, dia juga mendanai layanan pos dan telegram pertama Cina, sekolah teknologi pertama, dan sekolah bagi penerjemah bahasa asing.

Aku tak mampu meloloskan proposal Li untuk membangun angkatan laut pertama Cina karena sebagian besar pejabat Istana menolak untuk menerima pemahamannya akan betapa mendesaknya proyek tersebut. “Pengeluarannya terlalu besar” adalah alasan penolakan yang resmi. Li Hungchang dituduh menakutnakuti negara demi mendapatkan pendanaan dari pemerintah untuk kekuatan angkatan bersenjata pribadinya.

Suratsurat keluhan dari kubu konservatif, terutama dari TopiBesi Manchu, terus berdatangan. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Li Hungchang untuk menyenangkan mereka. TopiBesi mengeluhkan bahwa Li Hungchang mengambil bagian keuntungan mereka, dan mereka mengancam akan membalasnya. Jika saja Li Hungchang tidak melakukan transaksi urusannya secara tertutup dan belum menanam kakitangannya di manamana, dia sudah akan dibunuh dengan mudahnya. Tetap saja, dia diperas atas tuduhan menerima keuntungan dari kontrak dagang dan suap dari pengusaha asing. Pihak konservatif memperingatkanku bahwa hanya masalah waktu bagi Li untuk merancang kudeta dan merebut takhta Kerajaan.

Li Hungchang punya caranya sendiri untuk melawan Dewan Istana. Dia tinggal di luar Kota Peking dan mendatangi ibu kota hanya ketika meminta izin untuk meluaskan bisnisnya. Saat Li Hungchang sadari bahwa dia membutuhkan suara politis di Istana, dia membangun persekutuan dengan temantemannya yang berkuasa, baik dari bangsa Manchu maupun Cina Han. Selain Pangeran Kung, Li memiliki kenalan gubernur di beberapa provinsi kunci. Persekutuan terpentingnya adalah dengan Gubernur Kanton, Chang Chihtung, yang membangun tempat pengecoran besi modern terbesar di Cina. Li membuat kesepakatan dengan Gubernur Kanton: bukannya memesan material untuk pembangunan relnya dari perusahaanperusahaan asing, dia mengalihkan pesanannya ke Kanton. Kedua lelaki itu disebut sebagai “Li si Utara dan Chang si Selatan.”

Aku menerima kehadiran mereka berdua dalam audiensi pribadi. Keduanya pantas mendapatkan kehormatan itu, tetapi itu juga karena aku menyadari pentingnya melibatkan diri. Sudah begitu banyak insiden terjadi, dengan diriku menjadi orang terakhir yang tahu.

Semua gubernur menyadari bahwa persetujuanku di Istana mempunyai nilai penting, dan memenangkan persetujuanku telah menjadi bagian penting dari politik Istana. Sebagai akibatnya, orangorang berusaha merebut perhatianku, yang mengarah pada aksi penjilatan dan ketidakjujuran. Meskipun kebohongan yang berlebihlebihan tak akan berhasil melewati akal sehatku, sekali waktu aku tak bisa menghindar dibodohi.


“Orangorang berubah,” kukatakan pada anak angkatku pada masa reses pertemuan Istana. “Kemunduran Kerajaan Manchu merupakan contoh nyata terbaik.”

Guanghsu belajar dengan cepat. Suatu hari dia bertanya mengapa Li Hungchang memberiku berbagai hadiah, seperti berkotakkotak sampanye dari Prancis yang baru saja dikirim.

“Untuk menjaga hubungan dengan pihak penguasa,” jawabku. “Dia membutuhkan perlindungan.”

“Apa Ibu senang dengan hadiahhadiah itu?” tanya Guanghsu. “Bagaimana dengan sikat dan pasta gigi yang dikirimnya dari Inggris? Tidakkah Ibu lebih menginginkan vas antik Han atau barangbarang cantik lainnya? Kebanyakan wanita begitu.”

“Aku lebih senang dengan pasta dan sikat giginya.” jawabku. “Dan aku terutama suka dengan tulisan tangan Li yang menerangkan cara kerjanya. Sekarang aku bisa melindungi gigiku dari kerusakan, sekaligus merenungkan bagaimana cara melindungi negara dari kerusakannya sendiri.”


Aku mendesak agar Guanghsu menghadiri audiensi pribadiku dengan Li Hungchang dan Chang Chihtung. Anakku baru tahu bahwa akulah yang mengangkat Chang menjadi Gubernur Kanton setelah dia mendapatkan peringkat pertama dalam ujian pegawai kerajaan sewaktu mudanya.

Guanghsu bertanya pada Chang, “Apa kau belajar sekeras aku?”

Gubernur berdeham dan menatapku, memohon pertolongan.

“Kalau kau mau mengetahui yang sejujurnya, Guanghsu,” ujarku tersenyum, “kautahu, dia mesti bersaing dengan ribuan murid untuk memenangkannya, sementara kau—“

“Sementara aku menang tanpa harus berkeringat.” Guanghsu paham. “Aku bisa meminta guru nilai yang kuinginkan, dan dia akan memberikannya padaku.”

“Yah, Paduka Yang Mulia pantas mendapatkan keistimewaan.” Gubernur membungkuk.

“Kautahu nilainilai baikmu tidak nyata,” aku terdorong untuk menanggapi anakku.

“Itu tak sepenuhnya benar, Ibu,” Guanghsu mendebat. “Aku berkeringat secara berbeda. Anakanak yang lain bisa bermain karena mereka tak punya tanggung jawab mengurusi negara.”

“Itu tepat sekali, Yang Mulia.” Kedua gubernur itu mengangguk dan tersenyum.

Saat Guanghsu berusia sembilan tahun, dia menunjukkan dedikasi yang mengagumkan terhadap peran Kaisar. Dia bahkan meminta diberikan minuman lebih sedikit pada pagi hari agar dia tak perlu pergi untuk buang air kecil saat menghadiri audiensi. Dia tak ingin ketinggalan apa pun.

Pendidikannya menyertakan pelajaranpelajaran Barat. Untuk kali pertamanya dalam sejarah Istana, dua guru berusia dua puluhan dipekerjakan. Mereka lulusan sekolah bahasa asing Peking dan dipekerjakan untuk membantu mengajari Kaisar bahasa Inggris.

Aku senang mendengarkan Guanghsu belajar. Guru-guru muda itu berusaha menjaga wajahnya tetap tenang saat dia salah menyebutkan kata. Keriangan tampaknya merupakan penyemangat terbaik. Aku ingat bagaimana guruguru Tung Chih menghilangkan kesenangan belajar, dengan terlalu berusaha mendisiplinkannya. Ketika Pangeran Kung berniat mengenalkan Tung Chih pada budaya Barat, seorang guru senior protes dengan mengundurkan diri, dan guru yang lain mengancam akan bunuh diri.

Mimpiku untuk Tung Chih diwujudkan melalui Guanghsu. Guru Weng mengenalkan dirinya pada ide tentang alam semesta, dan Li Hungchang serta Chang Chihtung memberikan padanya pengetahuan tentang dunia, yang diperoleh mereka dari pengalaman langsung. Li Hungchang juga mengirimkan Guanghsu bukubuku Barat yang telah dialihbahasakan, yang juga disukai Chang. Bukubuku itu menceritakan kisahkisah pada Kaisar Muda yang akan membantunya berurusan dengan pedagangpedagang asing, diplomat, misionaris, dan pelaut di Kanton.

Aku tak setuju dengan penekanan Guru Weng terhadap sastra klasik Cina. Karya klasik itu terlalu banyak berkutat pada dongeng dan fatalisme. “Guanghsu harus mempelajari keadaan rakyatnya yang sebenarnya,” desakku.

Aku merasa begitu bersyukur dengan kemajuan Guanghsu, hingga aku mengundang penanam bunga peoni dan krisan datang ke istana untuk memeriksa tanah di tamanku. Aku tak sabar menanti ketika aku bisa menghabiskan harihariku yang hanya disibukkan dengan urusan bertanam bunga.


Ketika Guanghsu berulangulang menyatakan keinginannya untuk mengabdikan hidupnya melayani Nuharoo dan aku, aku merasa jengah. Nuharoo meyakini bahwa itu tak ada kaitannya dengan traumanya pada masa kecil. “Dia diajarkan kerendahhatian oleh gurugurunya, itu saja,” Ujarnya.

Naluriku mengatakan bahwa saudariku telah merusak sesuatu dalam diri anak itu, sesuatu yang belum kami ketahui. Aku juga mencurigai perananku dalam masalah ini. Seberapa terganggunya Guanghsu ketika dia direnggut dari rumah keluarganya? Betapa pun buruknya, tetap itu merupakan rumahnya. Istana memberinya kehidupan yang berarti, tetapi dengan menerima tekanan yang begitu hebat. Aku tak pernah berhenti mempertanyakan diri sendiri. Jika ditinggalkan sendiri, akankah Guanghsu tumbuh menjadi pemuda manja yang malas seperti anggota Kerajaan Manchu lainnya? Hak apa yang kumiliki untuk menentukan jalan hidup anak ini?

Sekitar umur empat puluh lima, aku menjadi tak yakin akan hidup yang kupilih untuk diriku sendiri. Saat kali pertama memasuki Kota Terlarang, aku tak pernah meragukan keinginanku untuk tinggal di sana. Sekarang aku merasa begitu banyak hal yang kuhilangkan dan yang terampas dari hidupku—kebebasan berkelana, hak mencintai, dan yang paling utama, hak menjadi diri sendiri.

Aku takkan pernah melupakan perayaan Tahun Baru Cina di Wuhu. Aku menikmati saat panen; beras segar, kacang kedelai garam dan panggang, serta sayurmayur petik. Semua gadis berkumpul bersama dengan jajanan mereka, dan menonton pertunjukan opera lokal. Aku rindu mengunjungi kerabat dan temanteman. Meskipun aku dilimpahi kemewahan dan tugastugasku sering kali mendapatkan ganjaran yang setimpal, kemegahan Kerajaan juga berarti kesendirian dan hidup dalam cengkeraman rasa takut akan aksi pemberontakan dan pembunuhan.

Kematian Tung Chih telah mengubah pandanganku terhadap kehidupan. Aku tidak merindukan sosok dirinya sebagai kaisar, aku merindukan menggenggam kakikaki mungilnya dalam telapak tanganku saat dia lahir, atau kali pertama dia menyunggingkan senyum ompongnya. Aku rindu membawanya ke taman dan memandangnya berlarian bebas. Hal yang paling senang dilakukannya adalah membentuk ranting pohon Willow menjadi pecut kuda mainan. Aku merindukan halhal yang tak menyangkut dirinya selaku kaisar, tetapi pada waktuwaktu kebersamaan yang pernah kami miliki.

Kematian Tung Chih telah merampasku dari kebahagiaan, dan aku bertekad untuk mencegah Guanghsu dari perampasan yang sama. Aku mencegah apa pun yang dapat mengakibatkan penyesalan di kemudian hari, atau setidaknya itulah yang kupikirkan. Aku merasa tak yakin bahwa aku telah membebaskan diri dari hal itu.

Aku ingin melihat Guanghsu menjadi kaisar atas kehendaknya sendiri, bukan aku. Aku ingin melihat dirinya menjadi seorang lelaki dewasa sebelum menjadi seorang penguasa. Aku tahu ajaran Cina tak akan banyak membantunya, tetapi aku berharap pelajaran Barat akan dapat memberinya kesempatan itu.


Kehadiranku di audiensi dan kesibukan Nuharoo dengan upacaraupacara keagamaannya sering kali meninggalkan Guanghsu di tangan para kasim usai pelajaran sekolahnya. Di kemudian hari, aku akan mengetahui bahwa sebagian pelayan Guanghsu telah bersikap begitu kejam. Aku sudah menduga bahwa kematian Antehai akan menggelisahkan kaum kasim, menimbulkan rasa ketidakamanan, bahkan memancing kemarahan mereka. Namun, aku tak pernah mengharapkan ekspresi pembalasan seperti ini.

Di belakangku, kasimkasim membungkus Guanghsu yang berusia sembilan tahun dengan selimut tebal dan menggelindingkannya di atas hamparan salju. Selimut itu membuat tubuhnya banjir keringat, tetapi tangan dan kakinya yang tak tertutup menjadi beku. Ketika aku curiga dengan batuk kronisnya, para kasim menyembunyikan informasi hingga aku menyelidiki sendiri dan menemukan kebenarannya.

Kesehatannya tetap rentan, dan para kasim terus-terusan mengerjai bocah itu atas kematian Antehai. Tak semua kasim bermaksud mengerjai Guanghsu, tetapi sikap takhayul dan tradisi kuno yang masih mereka percayai memengaruhi cara mereka mengurusnya. Sebagai contoh, mereka meyakini sepenuhnya bahwa kelaparan dan dehidrasi merupakan metode umum dari perawatan kesehatan.

Yang tak bisa kumaafkan adalah mereka yang dengan sengaja tak menyediakan tempat buang air Guanghsu pada waktunya, dan yang menertawakan dan mempermalukan dirinya saat dia membasahi celananya. Orang-orang kejam ini kuhukum dengan keras.

Sayangnya, tindakantindakan jahat itu dilakukan seolaholah hal yang biasa. Kemudian, akulah yang disebut sebagai penyiksa dan kejam.

Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri, bahkan setelah kasimkasim itu mendapatkan hukumannya. Penderitaan Guanghsu sungguh menyakitkanku. Aku mulai meragukan keputusanku menjadikan dirinya sebagai kaisar. Tronisnya, para Pangeran Manchu selalu menginginkan agar takdir memilih putraputra mereka untuk menduduki posisi Guanghsu.


Para kritikus, sejarawan, dan ilmuwan masa depan akan menyebutkan bahwa Guanghsu menjalani kehidupan normal hingga saat aku, bibinya, merusaknya. Kehidupan Guanghsu di Kota Terlarang disebut sebagai “pencabutan'. Dia terusmenerus “tersiksa oleh wanita pembunuh yang keji” dan dikatakan juga bahwa dia menjalani hidup seperti “seorang tawanan dalam penjara hingga ajalnya”.

Meskipun kenyataannya aku tidak mengadopsi Guanghsu karena cinta, perasaan cintaku perlahan tumbuh padanya. Aku tak dapat menjelaskan bagaimana terjadinya, pun mengapa aku perlu menjelaskannya. Penebusan diri adalah yang kutemukan dari diri anak itu. Siapa pun yang pernah menjadi seorang ibu atau yang pernah kehilangan seorang anak, akan mengerti apa yang terjadi antara Guanghsu dan aku.

Aku ingat bahwa Guanghsu masih terlalu kecil untuk menyadari niatku saat aku mengajarinya dengan memberi contoh, bahwa memimpin negara kami yang luas harus dilakukan dengan tindakan seimbang. Kusiratkan bahwa memberikan kepercayaan kepada para menterinya tak akan cukup untuk mengamankan kedudukannya sebagai satusatunya penguasa Cina. Adalah orangorang seperti Li Hungchang dan Chang Chihtung, yang akan mengapungkan atau menenggelamkan “kapal”nya. Aku biarkan Guanghsu menyaksikan bagaimana aku memainkan kedua lelaki itu melawan masingmasing, saat aku mengubah istana menjadi pentas hidupnyata.

Pada suatu audiensi Oktober, Li Hungchang tampak begitu hanyut dengan proposalnya, untuk menghapuskan sistem sekolah Cina kuno dan menggantikannya dengan model Barat. Sebagai pengimbang antusiasmenya, kugunakan Chang Chihtung. Sebagai produk dari sistem tradisional Jepang, Chang selalu menekankan pentingnya “mendidik jiwa sebelum raganya”.

Pada audiensi ini, sebagaimana yang telah kuramalkan pada Guanghsu, Li tibatiba merasa diserang. “Itulah caraku untuk membuatnya memikirkan ulang pendekatannya,” jelasku pada Guanghsu kemudian. “Tindakanku memanggil Chang adalah untuk mengingatkan Li Hung-chang bahwa dia bukanlah satusatunya orang yang diandalkan Istana.”

Taktik manipulasi semacam itu bukanlah sesuatu yang ingin kuajarkan pada anakku, tetapi itu merupakan hal yang diperlukan untuk ketahanannya sebagai kaisar. Guanghsu mewarisi Kerajaan Tung Chih yang rapuh, dan aku merasa sudah tugaskulah untuk mempersiapkannya menghadapi hal terburuk. Sebagaimana bunyi suatu perkataan, “Iblis yang tak dapat menyakitimu adalah Iblis yang tak kaukenal.” Kerusakannya akan lebih parah jika anak itu dikhianati oleh orangtua atau walinya sendiri—sebuah pelajaran yang kudapatkan dari kematian Tung Chih.





18



SUHU UDARA TIBATIBA merosot tajam, dan air dalam jambangan besar di pekarangan luar balairung terlapisi es. Di dalam, tungku penghangat ruangan menyala merah di tiap sudut ruangan. Nuharoo dan aku merasa lega telah memperbaiki jendelajendela kami. Celahcelah jendela telah ditutupi untuk memastikan tak masuknya embusan angin barat laut. Para kasim juga telah mengganti tiraitiranya. Tirai sutra tipis digantikan oleh tirai beledu tebal.

Begitu Guanghsu kunilai mampu, aku berbicara dengan Guru Weng dan membuat ruangan kelasnya serupa audiensi. Bukan hal yang mudah bagi anakku. Gurunya akan membantunya mencerna apa yang dia lihat dan dengarkan. Sering kali topiknya terlampau rumit untuk dipahami seorang anak. Untuk membuatnya berhasil, aku menyediakan waktu untuk mempersiapkan Guanghsu menghadapi diskusi mendatang.

“Apakah urusan Rusia untuk melindungi Sinkiang?” tanya Guanghsu mengenai situasi pada 1871, ketika kekuatan Kekaisaran Rusia telah bergerak jauh memasuki hutan belantara kami di barat Sinkiang, ke wilayah yang disebut Ili, mengambil dari nama sungainya.

“Rusia pergi ke sana atas kepentingan Kerajaan kami untuk meneegah Ili menjadi negara Muslim yang merdeka,” jawabku. “Namun, kami tak mengundang orangorang Rusia itu.”

“Maksudmu mereka mengundang diri mereka sendiri?”

“Benar.”

Guanghsu berusaha mengerti. “Tetapi ... bukankah pemberontakan kaum Muslim berhasil ditumpas?” Dia menunjuk ke peta, dan telunjuknya menyusurinya. “Kenapa orangorang Rusia itu masih di sini? Kenapa mereka tak juga kembali ke tempat asalnya?”

“Kami tak tahu,” ujarku.

“Bukankah Yung Lu berada di Singkiang?” desak anakku.

Aku mengangguk.

“Apakah dia telah melakukan sesuatu untuk mengusir orangorang Rusia itu?”

“Ya, dia telah meminta pada tetangga Rusia kami yang murah hati untuk mengembalikan Ili.”

“Dan?”

“Mereka menolaknya.”

“Kenapa?”

Kukatakan pada Guanghsu bahwa aku juga tak bisa menjelaskannya. Tak sama halnya seperti Tung Chih, setidaknya Guanghsu mengerti bahwa Cina tidak memiliki posisi yang kuat dalam perundingan. Guanghsu berusaha keras memahami keputusan yang harus segera dia ambil, tetapi sering kali itu mustahil. Anak itu tak mampu memahami mengapa Cina harus menjalani negosiasi diplomatik yang begitu panjang dan melelahkan dengan pihak Rusia, jika hanya untuk menyerah pada akhirnya. Dia tak akan mengerti mengapa traktat atas namanya yang baru saja dia tanda tangani, pada Februari 1881, memaksakan pembayaran sembilan juta rubel pada Rusia untuk wilayah Cina sendiri.

Aku mulai melihat perubahan sikap Guanghsu menghadapi audiensi. Dia berada di bawah tekanan terus-menerus dan begitu menderita. Ketika dia mendengar kabar buruk, bisa kurasakan ketegangannya dan melihat ketakutan terlukis di wajahnya. Aku bersalah karena telah bergabung dengan para menteri yang mengeluhkan dengan tak sabar, menantikan saat kematangan Guanghsu untuk mulai mengambil tanggung jawab.

Tak lama, ini bukan lagi menjadi pengalaman belajar semata bagi Guanghsu. Terguncang setiap harinya, suasana hati dan kesehatannya terpengaruh secara negatif. Namun, pilihanku hanyalah antara menutupnutupi kenyataan yang melingkupi dirinya ataukah membiarkannya hidup dalam kenyataan. Apa pun pilihannya, tetap saja keduanya terasa begitu kejam. Ketika kami memanggil Menteri Urusan Pertanian untuk menjelaskan ramalannya akan hasil panen tahun mendatang, Guanghsu lepas kendali. Dia merasa bertanggung jawab secara pribadi ketika menteri meramalkan kekurangan panen yang besar akibat banjir dan kekeringan.

Kini sebagai anak remaja, Guanghsu cukup menunjukkan kebulatan tekad dan disiplin diri. Aku senang melihatnya tak memiliki keinginan untuk bermainmain ke sana kemari dengan para kasim, dan tak berniat menyelinap keluar dari istana untuk minumminum. Dia sepertinya lebih senang menyendiri. Dia akan menyantap makanannya sendirian dan tampak tak nyaman jika ditemani. Saat makan bersama Nuharoo dan aku, dia duduk dengan diam dan menyantap apa pun yang terhidang di meja. Kesedihanku atas kehilangan Tung Chih sangat memengaruhinya sehingga Guanghsu memastikan sikapnya akan selalu menyenangkanku.

Aku ingin bisa memberi tahunya akan perbedaan antara sikap seriusnya dalam pelajaran dan kemurungannya yang makin mengganggu. Meskipun pengalamanku memberi tahuku bahwa audiensiaudiensi harian bisa menjadi beban yang begitu berat, aku tak menyadari bahwa bagi seorang anak, ia bisa menjadi racun.

Tak sabar membawanya pada kedewasaan, aku mengabaikan kemungkinan telah merampas masa kanakkanaknya. Sikap Guanghsu yang tampak senang telah mengelabuiku. Baru di kemudian harilah, dia mengakui dirinya takut tak mampu memenuhi keinginanku terhadap dirinya.

Aku tak mengatakan pada Guanghsu bahwa kalah hanyalah suatu cara untuk mempelajari caranya menang. Aku takut mengulang kesalahan yang sama dengan Tung Chih. Terlalu memanjakan dan enggan bersikap keras merupakan salah satu faktor yang telah mengakibatkan kematian anakku. Tung Chih berani melawan karena dia tahu bahwa dia tak perlu takut kehilangan kasih sayangku.

Guanghsu mematuhi aturan protokol dan tata cara Istana yang ketat. Guru Weng selalu mengawasinya agar tak menyalahgunakan hakhak istimewanya. Dengan demikian, Guanghsu telah berubah menjadi tawanan Istana. Baru di kemudian hari, kuketahui bahwa tiap kali para menteri menyampaikan masalahnya pada anak itu, dia akan menjadikannya sebagai masalahnya pribadi. Dia jadi begitu malu pada diri sendiri akan ketidakmampuannya memecahkan masalahmasalah kerajaan.


Sekitar 1881, kondisi kesehatanku menurun. Aku kehilangan siklus menstruasiku dan kembali mengalami kesulitan tidur. Aku mengabaikan rasa lelahku dan rasa panas yang tibatiba menjalariku, dan berharap ia akan hilang dengan sendirinya. Pada saat rakyat sedang merayakan ulang tahunku yang keempat puluh enam pada November, aku tengah terbaring sakit. Aku membutuhkan waktu lebih lama untuk bangkit dan berganti pakaian, dan aku harus meminum teh ginseng untuk menjaga kekuatanku. Walaupun demikian, aku tetap menghadiri audiensi dan mengawasi pelajaran Guanghsu. Aku menyarankan pada Guru Weng untuk mengenalkan Kaisar dengan orangorang dari luar ibu kota.

Guanghsu memberikan audiensi pribadi dengan para gubernur dari dua puluh tiga provinsi. Para gubernur senior yang diangkat oleh mendiang suamiku, Kaisar Hsien Feng, sangat berterima kasih. Aku turut menghadiri setiap audiensinya dan merasa senang bisa bersua kembali dengan temanteman lama. Kami sering kali harus berhenti untuk mengeringkan air mata kami.

Pada awal musim dingin, aku sudah benarbenar lelah. Dadaku sesak dan terasa berat, dan aku menderita diare yang parah. Suatu pagi, aku jatuh pingsan di tengahtengah audiensi. Dengan mengenakan gaun istana emasnya, Nuharoo membesukku esok paginya. Itu kali pertama aku melihatnya dengan tatanan rambut membungkusi papan hitam berbentuk huruf V, penuh dengan perhiasan dan ornamen. Aku memuji penampilannya dan memintanya memimpin audiensi. Nuharoo menyetujui, sebelum menambahkan, “Tetapi jangan berharap aku mau jadi budak.”


Selama bertahuntahun, aku tak memiliki keleluasaan untuk bangun pada tengah hari. Selagi musim dingin berganti semi, tenagaku perlahan kembali. Menghabiskan hari di bawah sinar matahari, aku bekerja di taman. Aku teringat akan Yung Lu dan mencemaskan kondisinya tinggal di wilayah bagian Muslim yang jauh. Aku telah menulis surat padanya, tetapi tak juga menerima jawaban.

Guanghsu menyempatkan diri menemuiku usai audiensi dan membawakanku makan malam. Dia telah tumbuh tinggi, dan tampak begitu manis dan lembut. Dengan penuh perhatian, dia menyuguhkan sepotong ayam panggang ke atas piringku dan bertanya apakah aku menikmati bungabunga camelia yang baru bermekaran.

Aku menanyakan Guanghsu apakah dia ingin merasakan kehidupan di luar Kota Terlarang, dan juga apakah dia merindukan kedua orangtuanya. “Ayah dan Ibu diizinkan untuk datang mengunjungiku kapan pun,” balasnya. “Tetapi mereka belum juga datang.”

“Mungkin kau harus mengundang mereka.”

Dia menatapku sejenak, kemudian menggeleng. Aku tak tahu apakah dia memang tak memiliki keinginan untuk bertemu dengan mereka, ataukah takut menyingung perasaanku. Komentarkomentarku tentang saudariku dulu pasti telah memengaruhi sikapnya. Meski aku tak pernah bermaksud menjelekjelekkan Rong dengan sengaja, aku juga tak memiliki katakata yang baik tentangnya.

Kutanyakan pada Guanghsu apakah dia mengingat saat kematian sepupunya, Tung Chih, dan bagaimana perasaannya ditunjuk sebagai penggantinya.

“Aku tak ingat banyak tentang Tung Chih,” ucap Guanghsu. Membahas malam kepergiannya dari rumah dulu, dia mengingat berada dalam dekapan Yung Lu.

“Aku ingat wajah gelapnya dan hiasanhiasan pada kancing seragamnya. Kancingnya terasa dingin di kulitku. Aku merasa janggal. Aku ingat saat itu benarbenar gelap-gulita.” Dia menatapku tajam dan menambahkan, “Aku ingat merasa senang menunggangi kuda dengan para Pemegang Panji.

“Kau terlalu baik, Guanghsu,” ujarku, lega tetapi tetap merasa bersalah. “Pasti mengerikan sekali ditarik dari tempat tidur hangatmu dan dari tidur pulasmu. Aku minta maaf karena telah memaksamu menjalaninya.”

“Ada maksud di balik awal mulaku yang kacau,” pemuda itu berujar dengan suara seperti orang tua.

Aku mendesah, sekali lagi terkesan oleh kepekaannya.

“Kehidupan yang baik tak memerlukan pencarian dalih, peneguhan keyakinan ataupun penjelasan, sementara yang buruk begitu memerlukannya.” Guanghsu tersenyum. “Tiga saudaraku meninggal karena ibuku. Aku akan jadi yang berikutnya, jika saja Ibu tak mengadopsiku.” Dia bangkit dan memberiku lengan kanannya. Kami

berjalan menuju taman. Dia sudah setinggi alis mataku dan tampak kurus dalam jubah satin kuningnya. Gerakannya Mengingatkanku akan sepupunya.

“Aku yakin saudariku tak bermaksud membawa celaka, ujarku.

“Ibu sangat sakit. Ayahku bilang bahwa dia sudah menyerah.”

“Istri Pangeran Kung mengatakan pada Nuharoo bahwa ayahmu sudah pindah, dan kini tinggal bersama selir kelimanya. Betulkah itu?”

“Sayangnya, betul.”

“Apakah Rong akan baikbaik saja?”

“Ibu terjatuh dari tempat tidurnya dan mematahkan pinggulnya sebulan lalu. Dia menyalahkan pada tabib atas kesakitannya. Aku tak seharusnya mengirimkan Tabib Sun Paot’ien.”

“Kenapa tidak? Apa yang terjadi?”

“Dia memukulinya.” Setelah diam seJenak, Guanghsu menambahkan, “Dia memukuli siapa pun yang mencoba membantunya. Kadangkadang, aku berharap dia mati saja.“

“Maafkan aku.”

Guanghsu terdiam dan menyeka matanya.

“Aku tak memikirkan untuk menyelamatkanmu ketika mengadopsimu,” aku mengaku. “Menyelamatkan dinasti hanya satusatunya hal yang kupikirkan. Tung Chih memperoleh akhir yang tragis. Aku masih tak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku telah mengecewakannya... dan aku takut akan mengecewakanmu, Guanghsu.”

Pemuda itu jatuh berlutut dan melakukan kowtow. “Ibu, aku mohon agar kau berhenti memikirkan Tung Chih. Aku ada di sini, hidup, dan aku mencintai Ibu.”

The Last Empress Part 5


19



PADA APRIL, KABAR NUHAROO pingsan menyebar di Kota Terlarang.

“Permaisuri Yang Mulia telah merasa sakit sejak seminggu yang lalu,” Kepala Kasim Nuharoo melaporkan di pertemuan Istana. Leher kurusnya menjulur ke depan, membuatnya tampak bagai labu masak yang menggantung dari sulurnya. “Dia tak punya selera makan. Dia pergi tidur sebelum kami sempat menghangatkan seprainya. Keesokan harinya, dia ingin bangun dari ranjangnya, tetapi tak bisa. Kubantu dia mengenakan pakaiannya, dan ku sadari pakaiannya basah oleh keringat dingin. Dia menyandarkan berat tubuhnya pada kedua bahuku saat kami menata rambut dan riasan wajahnya. Dia berhasil memasuki Balairung Pemeliharaan Jiwa dengan menaiki tandu, tetapi dia sudah tak sadarkan diri sebelum audiensi dimulai.”

“Kenapa tak kauberitahu Tabib Sun Paot’ien lebih awal?” tanyaku.

“Yang Mulia tak mengizinkannya,” jawab kasim.

“Pukul empat sore kuberi Yang Mulia beberapa obat untuk mengurangi sakitnya,” Sun Paot’ien maju dan melaporkan.

“Ada apa dengannya?” tanyaku.

“Kami belum bisa mengetahuinya secara pasti,” ujar Tabib. “Bisa jadi ada masalah pada hatinya atau akibat flu.”

“Yang Mulia mendesak agar kondisinya tetap dirahasiakan,” Kepala Kasim berpesan. “Setelah lima hari, dia mengusir pergi para tabib. Tuan Putriku mengalami kejangkejang semalam. Badannya terkunci di atas lantai. Bola matanya terbalik ke dalam, dan busa keluar dari mulutnya. Sebelum tabib tiba, Yang Mulia tak bisa mengendalikan tubuhnya. Aku harus menyampaikan bahwa Tabib Sun Paot’ien tak membantu.”

“Kasimkasim itu terusterusan membolakbalik tubuh pasienku seperti penari akrobat,” protes Tabib.

“Hanya itu caranya agar menjaga tubuhnya tetap kering!” Kasim Nuharoo membalas.

“Pasienku sedang mengalami kejang!” Tabib yang lembut itu mulai kehilangan kesabarannya.

“Kita seharusnya mendatangi biksu di kuil terlebih dulu.” Kasim itu memukulmukuli kepala dengan kepalan tangannya. “Doadoanya dikenal manjur untuk membuat orang yang sekarat bangkit dan berjalan.”

Kuhentikan cerocosan kasim itu dan meminta Sun Paot’ien untuk melanjutkannya.

“Rekanrekanku dan aku menemukan bahwa napas Yang Mulia tersumbat oleh lendir yang ada. Kami sudah berusaha mencari cara untuk menghisapnya keluar.”

“Itu tak berhasil!” semua kasim mulai mengngis serempak.

Aku bertanya kenapa belum diberi tahu.

“Tuan Permaisuri menginginkan pihak Istana, terutama Anda, untuk tak diberi tahu. Dia meyakini bahwa dirinya akan segera membaik.”

“Apa kau punya buktinya?”

“Ini.” Kasim itu merogoh sakunya dan menyodorkan selembar kertas lecek. “Permaisuri menandatangani perintahnya.” Air mata dan ingus telah mengumpul di ujung hidung kasim itu dan menetes. “Dia sembuh secara ajaib kali terakhirnya. Jadi, kami pikir dia akan pulih dari serangan ini.”

“Kali terakhirnya? Apa maksudmu? Apa ini pernah terjadi sebelumnya?”

“Benar. Kali pertama adalah ketika Permaisuri berusia dua puluh enam tahun, kemudian saat dia berumur tiga puluh tiga. Kali ini aku takut dia tak akan bertahan.”


Ketika aku bergegas mendatangi istana Nuharoo, suara tangis memenuhi udara. Pekarangannya disesaki oleh orang. Melihat kedatanganku, kumpulan orang itu memberi jalan. Aku tiba di sisi ranjang Nuharoo dan menemukan dirinya hampir terkubur oleh bungabunga gardenia segar. Tabib Sun Paot’ien berada di sampingnya.

Sungguh mengejutkanku melihat bagaimana penyakit telah mengubah penampilannya. Alis matanya berbentuk simpul besar dan mulutnya jatuh ke samping. Napasnya berat, dan ada suara degukan dalam tenggorokannya.

“Ambil bungabunganya,“ perintahku.

Tak ada satu pun pelayan yang bergerak.

“Bagaimana dia bisa bernapas dengan tumpukan bunga menindih dadanya?”

Para kasim menjatuhkan diri. “Itu yang diinginkan Yang Mulia.”

“Nuharoo,” bisikku.

“Dia tak dapat mendengarmu,” ujar Tabib.

“Bagaimana bisa seperti ini? Selama bertahuntahun dia tak pernah sakit, bahkan untuk satu hari pun!”

“Tugastugasnya di Istana melelahkannya,” Tabib menjelaskan. “Dia mungkin tak akan bertahan melewati malam ini.”

Beberapa menit kemudian, Nuharoo membuka matanya. “Kau tiba pada waktunya, Yehonala,” ucapnya. “Aku bisa berpamitan.”

“Adaada saja, Nuharoo.” Aku membungkuk. Ketika kusentuh bahunya yang kurus dan pucat, air mataku tumpah.

“Kubur aku dengan bungabunga gardeniaku,” ujarnya. “Pihak Istana akan menguburkanku dengan cara mereka. Kau harus memastikan agar aku tak dibohongi dalam kematianku.”

“Apa pun yang kau inginkan, Nuharoo. Tetapi kau takkan mati.”

“Caraku adalah satusatunya, Yehonala.”

“Oh, sayangku Nuharoo, kau berjanji takkan berusaha mencari jalan untuk mengakhiri hidupmu.”

“Memang tidak.” Dia memejamkan matanya. Seorang kasim menyeka wajahnya dengan handuk. “Aku tak akan menyerah karena aku tak mau mempermalukan diriku sendiri.”

“Mempermalukanmu bagaimana?”

“Ingin kutunjukkan... bahwa aku sama baiknya dengan dirimu.”

“Tetapi kau memang begitu, Nuharoo.”

“Itu kebohongan yang payah, Yehonala. Kau senang karena aku tak akan merintangi jalanmu lagi selama lamanya.“

“Tolonglah, Nuharoo…”

“Kau bisa perintahkan kasim untuk menyingkirkan sapusapu mereka sekarang.”

“Apa maksudmu?”

“Kau bisa mengumpulkan daundaun yang gugur, menumpuknya setinggi yang kau mau di pekarangan. Masa bodoh dengan nodanoda di lantai marmernya.”

Aku mendengarkan, dan terisak.

“Buddha ada di sisi lain, menantiku.”

“Nuharoo…”

Dia mengangkat tangannya. “Hentikan, Yehonala. Kematian sangat buruk. Aku tak punya apaapa lagi.”

Aku menggenggam tangannya. Tangannya dingin dan jemarinya terasa seperti kumpulan sumpit.

“Ada kehormatan, Nuharoo.”

“Kaupikir aku peduli.”

“Telah kaukumpulkan begitu banyak kebajikan, Nuharoo. Kehidupanmu selanjutnya akan sungguh baik.”

“Aku telah hidup di dalam temboktembok ini…” Suaranya mengambang. “Hanya angin debu dari gurun melewati…” Perlahan, dia mengalihkan pandangannya ke langitlangit. “Empat kilometer tembok dan dua ratus lima puluh ekar telah jadi duniaku dan duniamu, Yehonala. Aku tak akan memanggilmu Anggrek. Aku telah berjanji pada diri sendiri.”

“Tentu saja tidak, Nuharoo.”

“Tak perlu lagi berlatih protokol... tingkah laku konyol yang tak ada habisnya…” Dia berhenti untuk mengambil napas. “Hanya telinga terlatih yang bisa membedakan arti sesungguhnya dari kata yang terbungkus emas... arti itu tersembunyi di balik kilau kuningnya.”

“Tentu, Permaisuri Nuharoo.”

Setengah jam kemudian, Nuharoo memerintahkan agar ditinggalkan berdua denganku.

Ketika tinggal kami berdua dalam ruangan, aku menarik dua bantal tebal dan mendudukkannya. Lehernya, rambutnya, dan jubah dalamannya basah oleh keringat.

“Maukah kau,“ dia memulai, “memaafkanku?”

“Untuk apa?”

“Untuk... membuat Hsien Feng meninggalkanmu.”

Aku bertanya apakah maksudnya para selir yang dia undang masuk untuk menggoda Hsien Feng selama masa kehamilanku.

Dia mengangguk.

Kukatakan padanya untuk tak mengkhawatirkan masalah itu. “Hanya menunggu waktu hingga Hsien Feng meninggalkanku.”

“Aku akan dihukum dalam kehidupan selanjutnya jika kau tak memaafkanku, Putri Yehonala.“

“Baiklah, Nuharoo, kumaafkan kau.”

“Juga, aku merencanakan keguguran janinmu.” Dia tak mau berhenti.

“Aku tahu. Tetapi, kau tak berhasil.”

Air mata menetes dari ujung matanya. “Kau sungguh baik, Yehonala.”

“Tolong, jangan lagi, Nuharoo.”

“Tetapi masih ada lagi yang ingin kuakui.”

“Aku tak ingin mendengarnya.”

“Aku harus, Yehonala.”

“Besok saja, Nuharoo.”

“Aku mungkin tak akan ... punya kesempatan.“

“Aku berjanji akan datang kembali besok pagi.”

Namun, dia tetap meneruskannya. “Aku ... memberikan izin atas pembunuhan Antehai.”

Suaranya nyaris tak terdengar, tetapi perkataannya sangat menusukku.

“Katakan kau benci aku, Yehonala.“

Aku memang membencinya, tetapi aku tak sanggup mengucapkannya.

Bibirnya bergetar. “Aku harus pergi dengan pikiran yang jernih.”

Dia meremas jemariku. Raut wajahnya begitu sedih dan tak berdaya. Mulutnya membuka dan mengatup seperti ikan yang kehabisan air.

“Berikan maafmu, Yehonala.”

Aku tak yakin memiliki hak untuk memaafkan. Kulepaskan tanganku dari genggamannya. “Istirahatlah, Nuharoo. Aku akan menemuimu besok.“

Dengan sepenuh tenaga, dia berteriak, “Kepergianku tak akan bisa diulang!”

Aku menarik diri dan berjalan ke arah pintu.

“Kau telah menginginkan kepergianku, Putri Yehonala, aku tahu itu.”

Aku berhenti dan membalikkan badan. "Benar, tetapi aku berubah pikiran. Kita berdua memang tak pernah menjadi rekan terbaik, tetapi tak bisa kubayangkan tak punya rekan sama sekali. Aku sudah terbiasa denganmu. Kau adalah iblis berengsek paling menyedihkan yang kukenal!"

Seulas senyum lemah terukir di wajah Nuharoo dan dia bergumam, "Aku benci kau, Yehonala."


Nuharoo meninggal keesokan harinya. Usianya empat puluh empat tahun. Kata-kata terakhirnya padaku adalah, "Dia tak menyentuhku." Aku terkejut karena aku yakin maksudnya adalah Kaisar Hsien Feng tak tidur bersamanya pada malam pernikahan mereka.

Kuikuti perintah Nuharoo akan pemakamannya, dan kuselimuti dia dengan bunga-bunga gardenia. Peti jenazahnya diangkut ke situs makam Kerajaan dan dia tempatkan di sisi suami kami. Untungnya saat itu April, musim bagi bunga gardenia. Aku tak menemui kesulitan mengangkut berton-ton bunga dari Selatan. Upacara perpisahan dilangsungkan di lautan bunga gardenia di Balairung Penyembahan Buddha, dihadiri oleh ribuan orang. Ratusan karangan bunga dengan berbagai bentuk dan ukuran tiba dari seantero negeri. Kasim-kasim menumpuknya, memenuhi seisi ruang balairung.

Kesukaan Nuharoo pada bunga gardenia baru kuketahui. Tanaman ini bukan tanaman yang umum di Peking; ia populer di selatan Cina. Dari para kasimnya, kuketahui bahwa Nuharoo belum pernah melihat gardenia sebelum sakitnya yang terakhir. Dia telah meminta agar bunga-bunga gardenia itu ditanam mengelilingi makamnya, tetapi dia diberi tahu bahwa tanaman itu tak akan bertahan menghadapi cuaca Utara yang keras. Dan tanah gurun tak cocok bagi mereka.

Nuharoo juga telah mengejutkanku dengan perasaan yang dipendamnya. Aku ingat betapa gembiranya dia ketika kali pertama aku bertemu dengannya pada usianya yang keenam belas. Dia meyakini bahwa dunia di luar adalah tempat yang tak ada artinya dibandingkan dengan "Kemegahan di dalam Kota Terlarang". Aku hanya bisa membayangkan bagaimana gembiranya Nuharoo jika dia bepergian ke Selatan dan melihat dengan kedua matanya sendiri hamparan rumput hijau—tanah bunga gardenia.

Dua ribu biksu Buddha menghadiri upacara pemakamannya. Mereka merapal doa seharian penuh. Guanghsu dan aku menanti hingga malam untuk "upacara arwah", ketika arwah Nuharoo dikatakan naik ke Surga. Para kasim menaruh lilin pada kapal-kapalan kertas dan mengapungkannya di Sungai Kun Ming. Guang-hsu berlari menyusuri tepi daratan, mengikuti lilin-lilin yang terapung.

Aku duduk di atas bongkahan batu besar di tepi sungai. Dengan pelan, aku membacakan puisi untuk mengantarkan Nuharoo dalam perjalanannya menuju Surga.


Gardenia memenuhi pekarangan, bebas dari debu

Dengan merayapi sulur berbentuk trompet,

harumnya menguak;

Dengan lembut, mereka menyegarkan hijau musim semi

Perlahan mereka menyebar wanginya, sekuntumsekuntum.

Kabut tipis menyembunyikan jalur berkelok dari pandangan,

Dari jalur berselimut gardenia, menetes embun dingin segar.

Namun, siapakah yang akan merayakan

genangan ini dalam lagu?

Tersesat dalam mimpi, dalam kedamaian,

pujangga itu pun mengawali tidur panjangnya.


Berita luar negeri menyebutkm bahwa kematian Nuharoo “misterius” dan “mencurigakan”, serta menduga bahwa akulah yang membunuhnya. “Sudah diketahui umum bahwa Tzu Hsi penyebab kematian rekannya,” sebuah harian Inggris terkemuka menyebutkan. “Dia memutuskan untuk membunuhnya karena dia tepergok oleh Nuharoo sedang bermesraan dengan aktor utama suatu opera.”

Aku masih sanggup tak mengacuhkannya, hingga saat Tung Chih dibawabawa ke dalam cerita itu. “Dia Melakukannya Lagi: Yehonala Mengorbankan Putranya Sendiri di Atas Altar Ambisinya!” bunyi tajuk utama sebuah harian Inggris, dan kisah itu akhirnya juga diangkat oleh harian Cina. Artikel itu menyebutkan, “Ketika Kaisar Tung Chih sakit parah, ibunya, alihalih memastikan anaknya memperoleh perawatan kesehatan yang baik, dia membiarkan penyakitnya menjalari badannya yang lemah. Akankah kita memiliki alasan untuk menyangsikan bahwa dia mampu berbuat hal yang sama terhadap rekannya sesama Wali Kaisar?” Koran lain menggemakan cerita serupa, “Yehonala tampak begitu bersungguhsungguh dalam merancang kematian dini anaknya dan Nuharoo. Semua orang di Istana mengetahui bahwa Tung Chih dan Nuharoo tak akan hidup hingga usia tua.”

Aku merasa tak berdaya. Untuk menjustifikasi pendudukan bangsa asing selanjutnya di Cina, aku harus dibuat menjadi monster.

“Tak dapat dimengerti bahwa Yehonala tidak mengetahui berita memalukan yang tengah mengemuka, tentang putranya dan Nuharoo,” satu terjemahan Cina menyebutkan, “dan akibat yang fatal dari eksploitasi berita tersebut. Dia memiliki kekuasaan untuk melarang semakin merebaknya berita tersebut, tetapi dia tidak melakukan apa pun untuk mencegahnya.“

Hari demi hari, pengumbar fitnah dari berbagai belahan dunia menumpahkan racun bisanya: “Kita bisa lihat betapa Janda Kaisar tak memiliki rasa belas kasih terhadap anaknya, dan betapa haus dirinya akan kekuasaan.“ “Bagi gadis muda dari provinsi termiskin Cina, tak ada harga yang terlalu tinggi untuk mempertahankan cengkeramannya sebagai penguasa tunggal di Kerajaan Langit.”

Aku memimpikan Yung Lu akan datang untuk membelaku. Aku menangis di atas pusara Tung Chih dan berjalan pulang pada tengah malam melewati Balairung Pemeliharaan Jiwa layaknya hantu. Pada pagi hari saat audiensi, aku sudah tak bisa menahan emosi dan aku pun akan terisak seperti anak ingusan. Guanghsu akan menyodorkan saputangannya, hingga dia sendiri mulai menangis.




20



AHLI STRATEGI DAN pebisnis andal, Li Hungchang, mengatakan padaku bahwa Cina bukanlah tengah menghadapi ancaman perang yang tak terhindari, melainkan kami sebenarnya telah lama memasuki pertempuran itu. Selama seminggu, Istana hanya membahas ambisi Prancis di provinsiprovinsi batas selatan kami, termasuk Vietnam, yang semenjak lama dikuasai Cina, sebelum orangorang Vietnam memperoleh “kemerdekaan semunya” pada abad kesepuluh.

Tak lama setelah kematian suamiku pada 1862, Prancis menduduki Vietnam Selatan, atau Cina Cochin. Sama halnya seperti Inggris, Prancis juga berniat membuka perdagangan di provinsiprovinsi barat daya dan telah mengincar untuk menguasai Sungai Merah yang bisa dilayari di Vietnam Utara. Pada 1874, Prancis mendesak Raja Vietnam untuk menerima traktat menganugerahinya hak istimewa sebagai penguasa wilayah, yang selama ini secara tradisi dinikmati oleh Cina. Tanpa sepengetahuan Prancis, Raja Vietnam tetap mengirimkan upeti pada anakku sebagai ganti atas jaminan perlindungan.

Untuk menjaga keutuhan wilayah Vietnam di selatan, kuanugerahi kebebasan terhadap mantan pemimpin pemberontakan Taiping dan mengirimnya untuk melawan Prancis. Sang Pemberontak terlahir di wilayah itu dan menganggapnya sebagai tanah kelahirannya. Dia berjuang dengan gagah berani dan berhasil menahan laju Prancis. Namun, ketika Raja wafat, pihak Prancis merundingkan traktat baru dengan penggantinya, yang menyatakan, “Vietnam mengakui dan menerima protektorat Prancis.”

Sebagai tanggapan atas ultimatum kami selaku pihak Kekaisaran, Prancis meluncurkan serangan militer mendadak. Karena kami tak mempersiapkan diri berperang, perbatasan barat daya wilayah kami belum sempat diperkuat ataupun dipersiapkan. Pada Maret 1884, Li Hung-chang datang untuk melaporkan bahwa seluruh kota utama di Vietnam telah jatuh ke tangan Prancis.


Dewan Istana terpecah dalam menghadapi krisis itu. Publik melihat bahwa perselisihan itu terjadi dalam menentukan cara terbaik untuk menghadapi agresi Prancis. Akan tetapi, di balik permukaannya, perselisihan itu sesungguhnya disebabkan oleh semakin lebarnya jurang antara dua golongan politik: pihak konservatif TopiBesi Manchu dan pihak progresif, yang dipimpin oleh Pangeran Kung dan Li Hungchang.

Kutanyakan pada Guanghsu, yang baru saja menginjak empat belas tahun, bagaimana perasaannya menghadapi situasi itu, dan dia menjawab, “Sampai sekarang aku belum tahu.”

Aku tak yakin apakah anakku sedang merendah atau tidak. Berbulanbulan dipaksa mengikuti audiensiaudiensi Istana sepertinya telah membuatnya letih. Dia tampak bosan dan tak bersemangat. Guanghsu telah mengatakan padaku setengah bercanda bahwa dia lebih memilih bermain catur daripada menghadiri audiensi. Ketika kukatakan padanya bahwa dia harus menjalani tugas yang dibebankan padanya, Guanghsu menjawab, “Aku berusaha menempelkan tubuhku di kursi naga.”

Aku berusaha menyemangatinya. “Kau sedang menyelamatkan negaramu, Guanghsu.”

“Aku belum mencapai apaapa. Aku hanya mendengarkan argumen yang sama setiap harinya.”

Saat itulah, baru kuketahui bahwa Guanghsu telah mangkir dari audiensinya selama aku sibuk mempersiapkan pemakaman Nuharoo. Hal itu sangat memukulku, melebihi jika kuterima berita jatuhnya kota di Vietnam.

Aku tak tahu apa lagi yang harus kulakukan untuk menanamkan kesadaran akan prioritas penting tugasnya selaku Kaisar. Suatu hari saat makan siang, kuterangkan posisi kami di sehelai serbet, menggambar sebuah segitiga melambangkan Dewan Istana yang terbagi dengan Kaisar terimpit di tengah.

Aku berusaha tak terlalu menekannya. Aku ingat bagaimana Tung Chih memilih kabur walau tampak menurut. Aku ingat rasa benci dan kesalnya yang terdengar dari suaranya. Kukatakan pada diri sendiri untuk mendidiknya dengan mengikuti cara Guanghsu, dan bukan diriku.

Hal pertama yang kulakukan adalah melepaskan Guanghsu dari tugas resminya menjalani upacara penghormatan arwah leluhur sesuai dengan ajaran Konfusius. Meski aku menyetujui dengan Dewan Istana bahwa arwah Tung Chih memerlukan panjatan doadoa panjang dan serangkaian ritual demi kenyamanan dan keamanan rohnya, aku menyadari bahwa Guanghsu juga perlu istirahat.

Aku tak ingin Guanghsu hidup di bawah bayang-bayang Tung Chih. Akan tetapi, Dewan Istana melihat naiknya takhta Guanghsu seperti itu. Tanpa pengawasan Nuharoo, aku mulai membengkokkan aturan. Beberapa menteri mempertanyakan tindakanku, tetapi sebagian besar pejabat kerajaan memahami ketika kukatakan, “Saat Guanghsu berhasillah, baru arwah Tung Chih akan tenang.


“Paman Pangeran Ts'eng mengancam akan bunuh diri jika aku setuju untuk membiarkan orangorang asing tinggal dan berdagang di Cina,” Guanghsu melaporkan. “Dia telah meminta ayahku untuk bergabung dengannya dalam mendanai Boxers. “

Aku sudah sangat paham akan gerakan Boxers, gerakan orangorang desa dengan akar dari budaya tradisional Cina—atau begitulah yang dikatakan oleh pemimpin mereka. Secara perlahan, jumlah mereka terus bertambah.

“Sayangnya,” kuberitakan pada anakku, “misi Boxers adalah membunuh orangorang asing, “

“Apa Ibu sekarang berada di pihak Pangeran Kung?” tanya Guanghsu.

Aku mendesah.

“Ayahku orang yang mengadaada,” Guanghsu melanjutkan. “Puisipuisi dan kaligrafinya dipampang di manamana.”

“Pangeran Ch'un menginginkan Cina tetap tertutup. Bagaimana pendapatmu?”

“Aku setuju dengan Pangeran Kung,” Guanghsu menjawab. Kemudian sambil menatapku tajam, dia berkata, “Aku tak mengerti kenapa Ibu menyuruhku diam saat aku membiarkan Dewan Istana mendengarkan pendapatku.”

“Tugas Kaisar adalah untuk menyatukan Dewan Istana,“ perlahan kuterangkan.

“Baik, Bu,” Guanghsu berucap dengan patuh.

“Kudengar kau mau menginspeksi angkatan bersenjata baru.”

Guanghsu mengangguk. “Ya, tentu saja. Li Hungchang sudah siap, tetapi Dewan Istana tidak memberiku izin untuk menerimanya. Ayahku berpikir bahwa dialah Kaisar sebenarnya, meski aku yang mengenakan pakaiannya.”

“Bagaimana pendapatmu mengenai Pangeran Ikuang yang menangani Biro Urusan Luar Negeri?”

“Dia sepertinya lebih mampu dari yang lain. Tetapi sebenarnya aku tak terlalu suka dengannya, atau dengan pamanpamanku yang lain.” Guanghsu berhenti sejenak, kemudian melanjutkan. “Sejujurnya, Ibu, aku telah membangun relasi dengan orangorang di luar-lingkaran Kerajaan. Para pemikir dan pembaru, orangorang yang tahu bagaimana untuk sungguhsungguh menolongku.”

“Pastikan kau sudah mengerti akan arti reformasi, jika diterapkan.” Aku tak mau mengakui bahwa aku sendiri tak terlalu mengerti.

“Aku sudah tahu, Ibu. Aku sedang berusaha mengerjakan rencana reformasi.“

“Apa yang akan menjadi dekrit pertamamu?”

“Dekrit pertamaku adalah untuk mencabut hakhak istimewa dari orangorang yang menikmati gaji pemerintahan tanpa memberi kontribusi apa pun.“

“Apa kau menyadari besarnya jumlah kelompok ini?”

“Aku tahu ada ratusan parasit kerajaan yang dibayar karena status mereka sebagai pangeran dan orang pemerintahan. Ayahku, pamanpamanku, saudara, dan sepupuku adalah penyokong setia kebijakan ini.”

“Adikmu, Pangeran Ch'un Junior, sudah menjadi bintang baru dari TopiBesi,” aku memperingatkannya. “Kelompoknya bersumpah akan menghancurkan siapa pun yang mendukung Pangeran Kung dan Li Hungchang.”

“Aku yang akan mengeluarkan dekrit, bukan Pangeran Ch'un Junior.“

“Beri dukungan Pangeran Kung dan Li Hungchang, dan jaga hubungan baik dengan golongan konservatif,” aku menyarankan.

“Aku sudah siap meninggalkan mereka,” Guanghsu berkata dengan tenang. Melihat kebulatan tekadnya membuatku senang, meski aku tahu tak bisa mendukungnya lebih jauh.

“Kau tak seharusnya meninggalkan mereka, Guanghsu.”

Kaisar memutar kepalanya dan menatapku.

“Mereka adalah pusat dari kelompok berkuasa Manchu,“ jelasku. “Kau tak semestinya mengubah relasi sedarahmu menjadi musuh.”

“Kenapa?”

“Mereka bisa menggunakan hukum keluarga untuk menurunkanmu dari takhta.”

Guanghsu tampak tak yakin. Dia bangkit dari kursinya dan melangkah bolakbalik mengitari balairung.

“Mendanai Gerakan Boxers merupakan salah satu strategi TopiBesi,” ujarku, sambil menghirup teh. “Mereka mendapatkan sokongan dari teman kita, Gubernur Kanton, Chang Chihtung.”

“Aku tahu, aku tahu, merekalah pemimpin berkuasa dan orangorang yang membenci, bahkan menentang keras kehadiran semua orang asing.” Guanghsu kembali ke kursinya dan duduk. Dia mengembuskan napas berat.

Aku bangkit untuk menambahkan air hangat ke cangkir tehnya.

“Apakah aku harus memercayai Li Hungchang?” tanya Guanghsu. “Sepertinya dia perunding paling berhasil dengan kekuatan asing.”

“Percayalah padanya,” tanggapku. “Akan tetapi, ingat bahwa saudaramu Ch'un juga memiliki kepedulian terhadap Dinasti Manchu ini, tak kurang dari Li Hung-chang.”


Udara musim semi begitu kering dengan pasir beterbangan oleh tiupan angin gurun yang kuat. Baru saat memasuki April, angin mulai melembut, dan kini bertiup sepoisepoi. Di bawah kehangatan matahari, para kasim melepaskan jubah cokelat musim dingin mereka yang membuat mereka tampak seperti beruang. Para selir kerajaan pekarangan belakang menukar pakaian mereka dengan chipaos sepanjang mata kaki, gaun khas Manchu yang menekankan keindahan tubuh wanita.

Aku rindu berjalanjalan di jalanan Peking di bawah sinar mentari. Sudah lebih dari seperempat abad, aku tak memiliki kesenangan itu. Pemandangan kota hanya hadir dalam mimpimimpiku. Aku rindu menyusuri ganggang dan pekarangan yang di sana pohonpohon fermiana masih menguncup dan pohonpohon loquat bermekaran dalam gerumbulannya. Aku rindu keranjang penjual bunga peoni di persimpangan jalan yang ramai. Aku teringat wangi bungabunga segar dan manisnya aroma pohon kurma.

Kembang pohon willow yang berbentuk bolabola saling mengejar dalam tembok Kota Terlarang. Kembang ini beterbangan melewati tembok, jendela, dan mendarat di mejaku saat aku tengah menuliskan hal penting dari laporanlaporan luar negeri yang baru selesai kubaca.

Guanghsu berada di sampingku. “Li Hungchang mengatakan bahwa dia telah mengirimkan pasukan tambahan ke titik yang bermasalah, tetapi dari yang lain aku mendengar sebaliknya,” ujar Guanghsu, kedua tangannya menangkup dagu.

Tak ada orang lain dalam ruangan. Kami dapat mendengar gema suara kami sendiri. Kuingatkan pada Kaisar bahwa ada kemungkinan orangorang akan mengatakan hal apa pun demi mendiskreditkan Li.

“Sulit untuk mengetahui siapa yang berkata jujur”, Guanghsu menyetujui.

Aku berharap ada orang lain yang bisa kupercaya untuk memberi informasi. Li Hungchang satusatunya orang yang telah memantapkan kredibilitasnya tanpa keraguan. Aku menyukainya walaupun tak pernah pada beritaberita yang dibawakannya. Tiap kali kudengar suara kasimku mengumumkan kedatangan Li, perutku terasa diaduk. Aku harus berusaha keras untuk menegakkan dudukku agar aku dapat menahan berita buruk itu di perutku.

Pada 22 Agustus 1885, pihak Prancis membuka tembakan tanpa peringatan, tetapi mereka menolak menyebutnya sebagai perang. Pesan dari Li Hungchang berbunyi, “Perahuperahu dan kapalkapal kita dibakar, dan semuanya tenggelam dalam hitungan menit.”

Tangan Guanghsu bergetar pelan saat dia membalikkan halaman kertas. “Persediaan kita sekarang tertahan karena armada laut Prancis memblokade selat antara Taiwan dan Fukien. Di mana Angkatan Bersenjata Utara Li Hungchang?”

“Kaukirimkan mereka untuk menangani Jepang atas masalah Korea,” kuingatkan dia kembali. “Tentara Li harus bertahan di Utara.”

Dengan kedua tangan, Guanghsu memegangi kepalanya.

“Minumlah teh, Guanghsu,” hanya itu yang bisa kukatakan.

Menekan mata dengan jarijarinya, dia berkata, “Kita tak sanggup untuk tak mengurusi Jepang.”

Aku setuju. “Bagi Jepang, Korea merupakan titik masuk menuju Teluk Pechili, kemudian ke Peking sendiri.”

Guanghsu bangkit dan pergi untuk membaca memorandum Dewan Istana. “Apa lagi yang bisa disarankan Dewan Istana? ‘Menahan diri ... Jangan menyulut konflik dengan Jepang saat berperang dengan Prancis…”

“Dewan Istana berharap agar Jepang berterima kasih setelah kita membiarkan mereka mendapatkan Taiwan.“

“Guru Weng mengatakan bahwa kebaikan dan kendalidiri kami tak seharusnya diartikan sebagai undangan penyerangan.

“Dia tak salah, tetapi—“

“Ibu,“ Guanghsu menyelaku, “apa Ibu tahu bahwa pada minggu ketika Amerika menandatangani traktat dengan Korea, Guru Weng sampai sakit perut? Dia berusaha menghukum dirinya sendiri dengan tak makan apa-apa kecuali kulit keras roti.“

Aku mendesah dan mencoba berkonsentrasi. “Keterlibatan Amerika hanya memperumit masalah.“

Guanghsu melingkari badannya dengan kedua tangannya, dan duduk kembali. Kami saling menatap.

“Ibu, apakah Amerika Serikat menyiratkan bahwa Korea kini menjadi negara yang setara dan merdeka dari Cina?”

Aku mengangguk.

“Aku merasa tak enak badan, Bu. Tubuhku mau menelantarkanku.”

Aku ingin mengatakan “Rasa malu dan menghukum dirisendiri tidak akan membangkitkan keberanian,“ tetapi aku hanya membalikkan badanku dan mulai menangis.

Sebagai Kaisar, kedua putraku tak memiliki cara untuk membebaskan diri. Guanghsu harus meneruskan mimpi buruk Tung Chih. Aku merasa seperti hantu yang datang merenggut seorang pengganti agar arwah putranya yang mati bisa mendapatkan kehidupan yang baru. Aku merasa tanganku sendirilah yang menarik dan mengeratkan ikatan tali yang mencekik leher Guanghsu.

“Siapa lagi yang sedang berusaha menyerang kita?” Guanghsu bertanya dengan nada panik. “Aku muak baru diberi tahu setelah kalah dalam perang dan traktat telah dibuat!”

“Bukan kesalahanmu kita kehilangan Taiwan, Vietnam, dan Korea,” aku berhasil mengatakan. “Sejak 1861, Cina sudah seperti pohon mulberi yang digigiti habis oleh cacingcacing. Perasaan frustrasimu tak beda dengan yang dirasakan suamiku, “

Katakata nasihatku tidak juga menenangkan Guanghsu. Dia mulai kehilangan keriangannya. Berbulanbulan kemudian, penderitaan akan menguasainya. Tak sama seperti Tung Chih, yang memilih untuk meloloskan diri, Guanghsu tak melakukan apa pun selain bertahan menerima tamparan beritaberita buruk itu.

Li Hungchang berunding dengan Prancis dan Pangeran Kung mengundang Robert Hart dari layanan bea cukai kami untuk melakukan diplomasi atas nama kami. Kami beruntung karena pada akhirnya Hart membuktikan dirinya sebagai teman sejati Cina.


Sebelum akhir musim panas, secara begitu saja kami menyerahkan Vietnam pada Prancis. Li Hungchang dengan sukarela menanggung malu ini agar Kaisar bisa menyelamatkan mukanya.

Saat yang menyakitkan datang ketika Guanghsu menyadari bahwa usai peperangan yang berlarutlarut, penderitaan berkepanjangan, proses pengambilan keputusan yang majumundur, dan kematian ribuan orang secara tragis, Cina hanya memperoleh penghapusan beban ganti rugi yang selama ini diwajibkan oleh Prancis.

Sementara itu, Korea, dengan didanai oleh Jepang, memulai proses reformasi dengan acuan Barat dan memproklamasikan kemerdekaannya.

“Korea adalah ibu jari bagi tangan Cina!” pekik Guanghsu di tengahtengah audiensi.

“Benar, Yang Mulia,” Dewan Istana menggema.

“Kita memang lemah, tetapi tak hancur!” Kaisar mengayunkan kepalan tangannya.

Semua orang bersikap, “Biarkan bocah itu memuntahkan amarahnya.” Pada akhirnya, Guanghsu menyepakati resolusi Perang CinaPrancis demi mengonsentrasikan pertahanan kami di Utara, melawan Jepang.

Sering kali, ketika kabar sampai di Istana, momen untuk bertindak sudah lewat. Sudah tertulis dengan jelas pada hukum dinasti bahwa pemegang kekuasaan harus mendapatkan penghormatan tinggi dan etika mesti diikuti secara kaku, tetapi aku terpaksa menyesuaikan hukum dengan tuntutan situasi yang berubahubah. Otonomi yang lebih luas telah membawa efisiensi dan hasil yang baik pada berbagai kesempatan. Sering kali, inisiatif ini datang dari Li Hungchang, yang berusaha sekuat kemampuannya untuk menahan laju Jepang.

Dalam kekuatan yang dikirim Li Hungchang ke Korea, terdapat seseorang yang akan segera memainkan peran pentingnya dalam panggung politik Cina. Namanya adalah Yuan Shihkai, seorang pemuda dua puluh tiga tahun berbadan besar, yang ambisius dan memiliki keberanian besar. Ketika golongan proJepang merencanakan kudeta pada Desember 1884 di suatu perjamuan seremonial di Seoul, Yuan selaku Komandan garnisun menjadikan Raja Korea sebagai sandera setelah perkelahian sengit di pekarangan istana, dan berhasil membungkam orangorang Jepang dan para pengikutnya dari Korea.

Tindakan militer Yuan Shihkai yang begitu tangkas dan percaya diri mencegah jatuhnya Korea ke tangan Jepang. Karena jasanya itu, Guanghsu memberinya penghargaan. Selain mendapatkan promosi lompatperingkat, Yuan diangkat sebagai utusan Cina di Seoul.

Traktat hasil negosiasi Li Hungchang dengan pihak Jepang pada 1885 menuntut agar kedua negara menarik mundur pasukannya dari Korea. Traktat itu juga menjelaskan bahwa pihak ketiga akan memimpin reformasi di Korea, dan bahwa Cina dan Jepang diperbolehkan turut serta dengan menawarkan bantuan militer mereka, hanya jika telah memberi tahu satu sama lain. Lima tahun kemudian, utusan Korea akan datang ke Peking dan melakukan kowtow layaknya seorang pengikut di hadapan Guanghsu. Hal itu memberi ketenangan pada anakku meskipun kami berdua tahu hanya menunggu waktu saja sebelum kami akan kehilangan kendali lagi.

Sementara itu, aku menyarankan Guanghsu untuk menerima proposal Li Hungchang untuk meningkatkan status Taiwan dari wilayah distrik Fujian menjadi satu provinsi yang berdiri sendiri. Jika sudah tak terhindari bagi kami untuk kehilangan pulau itu, setidaknya tindakan yang diambil bisa memberi kami penghargaan lebih. Dekrit Guanghsu pada 1887 menyatakan bahwa Taiwan akan menjadi “provinsi kedua puluh Negara Cina, dengan IbuKota Taipei!” dan bahwa upaya modernisasi Taiwan akan melibatkan pembangunan rel kereta dan layanan pos pertama.” Kami hanya membodohi diri kami sendiri.




21



SEMALAM TURUN SALJU. Meskipun tak berat, hujan salju itu berlangsung hingga pagi. Ini minggu yang sungguh berat. Kepalaku rasanya habis dipukuli, dan kini membengkak. Guru Weng telah memberi Kaisar dan aku pengenalan intensif mengenai transformasi Jepang melalui reformasi politik. Guru Weng menjelaskan lebih mendalam mengenai pentingnya kebebasan berekspresi.

“Pendapat umum yang memandang kalangan ilmuwan sebagai kaum pemberontak harus diubah.” Janggut abuabu sang guru menggantung di depan dadanya bagai tirai, membuatnya tampak bagai Dewa Dapur. [ Zao Shen atau Dewa Dapur adalah dewa rumah tangga yang penting dalam keyakinan Cina. Gambar dirinya biasa terpajang pada komporkompor dalam rumah. Dipercaya dapat membawa kekayaan bagi penghuni rumah dan melindungi mereka dari roh jahat. ] “Kita harus mencontoh Jepang.”

“Pertamatama, aku akan melarang tindakan menghukum para pengusung paham yang beda.” Guanghsu tampak bersemangat.

“Tetapi bagaimana cara kau meyakinkan Dewan Istana?” aku bertanya padanya. “Kita semua harus ingat bahwa Dinasti Manchu dibangun atas kekuasaan militer. Para leluhur kita mengamankan kedudukan mereka dengan menyingkirkan dan membantai semua penentangnya.”

“Ibu.” Anakku beralih padaku. “Kau adalah anggota senior dari klan kerajaan dan memiliki kewenangan besar. Dewan Istana bisa menolakku, tetapi akan sulit bagi mereka untuk menolakmu. “

Aku berjanji akan membantu. Di hadapan Dewan Istana, aku memberikan izin bagi proposal Guru Weng, yang akan memperkenalkan reformasi gayaJepang. Akan tetapi, di balik gerbang Kota Terlarang, aku menyatakan kekhawatiran pribadiku pada Guru Weng. Kukatakan padanya bahwa aku kurang memercayai kualitas pemikiran para ilmuwan kami, terutama pada kelompok yang menamakan diri Mingshih, “pemilik kebijaksanaan”.  Reputasi mereka lebih dikenal sebagai pembual dan pencari kesenangan pribadi. Sebagai gadis kecil yang besar di Wuhu, aku ingat mengenali orangorang semacam itu sebagai temanteman ayahku. Mereka menghabiskan harihari mereka mendeklamasikan puisi, membahas filsafat, menyanyikan lagu opera, dan minumminum. Mereka dikenal sering mengunjungi teater dan “perahu kembang”—rumah pelacuran yang mengambang.

Aku lebih mencemaskan akan agresi Jepang yang kian meluas dan mendorong Kaisar untuk bekerja sama dengan Li Hungchang dalam membangun Biro Angkatan Laut untuk mengawasi urusanurusan kelautan. Aku meminta Guanghsu untuk mengawasi secara pribadi aliran dana Kerajaan bagi penyediaan armada kapal dan persenjataan untuk perang.

Tantangan terbesarku datang dari kemarahan yang ditunjukkan para anggota kerajaan Manchu terhadap pemotongan penerimaan tahunan mereka. Untuk mendiamkan mereka, kutunjuk Pangeran Ch'un sebagai penanggung jawab biro yang baru. Kemampuan lelaki itu tak sepantar dengan saudaranya, Pangeran Kung, yang sangat cerdas. jika harus memilih, aku akan lebih senang bekerja sama dengan Pangeran Kung. Namun, Pangeran Kung telah membuat satu kesalahan besar, yang membuatnya tersingkir. Pangeran Ch'un kurang cakap dalam berbagai hal, tetapi dia adalah ayah dari sang Kaisar dan aku tak punya kandidat lain. Menyadari kekurangannya, aku menunjuk Li Hungchang dan Tseng Chitse, anak dari Tseng Kuofan, sebagai penasihatnya, mengetahui bahwa mereka akan memenuhi peranannya dengan baik.

Sejarawan masa mendatang akan menyebutkan penunjukan Pangeran Ch'un sebagai bentuk pembalasanku atas Pangeran Kung, dan sebagai satu contoh lain yang membuktikan kehausanku akan kekuasaan. Kenyataannya adalah Pangeran Kung merupakan korban dari politik dalamIstana kaum Manchu. Pandangan liberalnya menjadikan dia sasaran empuk tidak hanya bagi TopiBesi, tetapi juga bagi saudarasaudaranya yang iri padanya, termasuk pula Pangeran Ch'un dan Pangeran Ts'eng.

Pada masa konflik dengan Prancis, pihak TopiBesi menganjurkan pada Cina untuk segera maju berperang. Pangeran Ch'un terdorong untuk menuntut kekuasaannya pada pemerintahan anaknya. Saat aku mulai terlibat, masalah Pangeran Kung dengan mayoritas Dewan Istana sudah di luar kendali. Meyakini bahwa Cina harus menjauhi peperangan, Kung mengambil tindakan sendiri dengan mengirimkan utusan ke Prancis untuk bernegosiasi. Dengan penilaian dari Robert Hart akan situasi yang terjadi, Pangeran Kung berhasil meyakinkan Prancis untuk membuat suatu kesepakatan, dan Li Hungchang dikirim untuk meresmikan persetujuan tersebut.

Ketika hasil kompromi Li mengubah Indocina ke dalam bentuk protektoratbersama antara Cina dan Prancis, rakyat Cina berang. Pangeran Kung dan Li Hung-chang dituduh sebagai pengkhianat. Suratsurat mengkritik keduanya menumpuk di mejaku.

Walaupun mendukung Pangeran Kung, aku tak dapat mencegah semakin meluasnya konflik di Istana. Kaisar Guanghsu terus ditekan oleh saudarasaudaranya yang cepat naikdarah dan pemimpin TopiBesi, Pangeran Ch'un Junior.

Kusadari bahwa satusatunya cara untuk menghindarkan Pangeran Kung dari masalah adalah dengan memecatnya atas alasanalasan sepele: arogansi, nepotisme, dan ketidakefisienan. Kuyakinkan saudara iparku bahwa suatu dekrit pemecatan akan membebaskan dirinya dari dakwaan atas pengkhianatan.

Dengan marah dan kecewa, Kung mengajukan pengunduran dirinya, dan segera dikabulkan.

Sementara itu, Li Hungchang tertinggal dalam posisi yang lemah. Untuk menyelamatkan hidupnya sendiri, dia memilih untuk berpindah haluan—suatu keputusan yang bisa kumengerti dan aku hanya bisa bersimpati untuknya. Kemudian Pangeran Ch'un menggantikan Pangeran Kung selaku Menteri Kepala.

Negara menerima konsekuensinya akibat kepergian Pangeran Kung, seseorang yang selama bertahuntahun lamanya telah menjadi sandaran perlindunganku. Dengan perginya Yung Lu dan Pangeran Kung, aku menjadi sangat cemas. Cina sekarang sudah nyaris dikuasai sepenuhnya oleh pihak gariskeras Manchu—kelompok yang dikenal rakus, keji, dan tak terdidik, yang jumlahnya mencapai ribuan.

Leluhur Manchu telah membuat suatu sistem rotasi jabatan yang dilangsungkan setiap dua atau tiga tahun untuk mencegah para pejabat meraup keuntungan pribadi. Rotasi itu sering kali berarti bahwa seorang gubernur baru akan jatuh dalam genggaman staf dan bawahannya, yang mengenali wilayah mereka dengan baik. Aku menaruh kecurigaan pada para gubernur baru yang akan datang melaporkan pada Kaisar tentang “pencapaian terbarunya”.

Menurut Li Hungchang, tiga puluh persen dari penghasilan tahunan negara mengalami kebocoran akibat aksi penyuapan, penipuan, dan korupsi. Pemerintah kami disusahkan oleh makin langkanya orangorang yang jujur dan kompeten. Dan, di atas segalanya, atas keterbatasan dana dan juga sumbersumber untuk mendapatkannya.

Guanghsu berencana untuk memberlakukan pajak tanah. Aku memohon padanya untuk tak menerapkannya. Musim panas lalu telah membawa kehancuran pada separuh wilayah Cina. Di provinsiprovinsi termiskin, keluarga akan menukar anakanak mereka—orangtua tak mampu melihat anakanak mereka sendiri meninggal, kemudian dengan terpaksa memakan bangkainya. Sementara itu, jumlah ekspor kami tertinggal jauh dari besar impornya. Bahkan perdagangan teh, yang sejak 1876 dimonopoli oleh kami, telah dicuri oleh India di bawah kekuasaan Inggris. Kini kami hanya menyuplai seperempat dari jumlah konsumsi teh dunia. Ruanganku penuh sesak oleh kertaskertas. Kuas, cat, batu tinta dan stempel khusus berserak di seluruh permukaan. Tembokku tertutupi lukisanlukisan yang tengah dikerjakan. Objek lukisku masih mengambil tema bungabunga dan lanskap, tetapi sapuan kuasku menunjukkan kecemasan yang kian kurasakan.

Pengajar lukisku memilih angkat kaki karena aku membuatnya gila. Dia tak bisa mengerti mengapa aku tak bisa melukis seperti sebelumnya. Dia takut melihat sapuan kuas anehku. Alis matanya membentuk puncak gunung dan mulutnya akan menganga lebar seolah terkejut dalam hening, sewaktu dia memperbaiki sapuan lukisku. Dia memulas tinta hitam di manamana hingga cat lukisannya menetes, dan bunga mawarku berubah menjadi zebra.

Li Lienying memberi tahuku bahwa lukisanlukisanku tak laku dijual karena para kolektor tak memercayainya sebagai karyaku.

“Lukisan yang baru kehilangan keanggunan dan ketenangannya,” ujar kasimku.

Kukatakan padanya bahwa keindahan taman kerajaan sudah tak lagi menginspirasiku. “Tak ramah dan tak manusiawi, paviliunpaviliun itu berdiri di sana hanya untuk membuatku stres!”

“Tetapi Tuan Putri, kami semua yang tinggal di Kota Terlarang hidup seperti kelelawar dalam gua. Kegelapan sudah jadi hal yang biasa.”

Kulempar kuasku ke ruangan. “Aku sudah muak memandangi pekarangan yang suram dan jalur tapaknya yang panjang, gelap, sempit! Kamarkamar di Kota Terlarang sama persis, membisiki pembunuhan di telingaku!”

“Itu penyakit pikiran, Tuan Putri. Aku akan mempersiapkan untuk memajang cermin besar di pintu masuk. Ia akan membantu menangkal kedatangan arwaharwah jahat.”

Hari ketika Li Lienying menggantungkan sebuah cermin baru, aku bermimpi melakukan perjalanan ke kuil Buddha di pegunungan tinggi. Jalur dakian di tepi tebingnya tak lebih dari setengah meter. Ratusan kaki ke bawah terlihat sungai yang tampak bagai cermin. Sungai itu terimpit antara dua bukit. Dalam mimpiku, keledai yang kutunggangi tak mau bergerak. Kakinya bergetar.

Saat terbangun, aku teringat saat liburan musim panas, berjalanjalan ke sungai dengan keluargaku. Perahu kami dikerubungi kutu. Kutukutu itu tampaknya hanya menggangguku. Pada malam harinya, ketika kubersihkan debudebu dari sepraiku untuk bersiap tidur, debu itu melompat dan kembali menutupi sepraiku. Saat itulah kusadari bahwa itu bukan debu, melainkan kutu.

Melayari sungai, aku dapat mendengarkan nyanyian para pendayung perahu untuk menyamakan gerakan dayungnya. Aku ingat mengangkat tangan dan memasukkannya ke dalam sungai berwarna hijau tua. Terbenamnya matahari memancarkan warna merah, kemudian abuabu, kemudian tibatiba langit jadi gelap. Air menyusuri jari-jariku, begitu hangat dan lembut.

Yung Lu mengunjungiku dalam mimpi. Dia selalu berdiri di puncak benteng di tengahtengah gurun. Bertahuntahun kemudian, ketika kujelaskan padanya apa yang dilihat oleh mataku dalam mimpi, dia terkejut oleh ketepatannya. Kulitnya kering tergerus cuaca, dan dia mengenakan seragam Pemegang Panjinya. Posturnya tegak bagai patung penjaga batu yang dibuat untuk makam kubur.

Pada tengah malam, kudengar suara sesuatu menghantam atapku. Sebuah ranting busuk jatuh dari pohon yang tua. Aku menuruti nasihat ahli nujumku untuk menghindari pertanda buruk dan pindah dari Istana Kecantikan Tak Terlarai ke Istana Kedamaian dan Panjang Umur, yang letaknya jauh di timur Kota Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ  http://kangzusi.com/ Terlarang. Istana yang baru lebih tenang dan jaraknya yang jauh dari balairung membuat Guanghsu jadi lebih mandiri karena sekarang akan lebih sulit baginya untuk berkonsultasi denganku.

Pada usia lima puluh satu, kusadari betapa aku menginginkan Yung Lu kembali. Tidak hanya karena alasan pribadi: kehadirannya akan dapat menenangkan Gunghsu dan Dewan Istana. Aku membutuhkannya untuk melakukan peran yang sama sebagaimana yang dulu dilakukan oleh Pangeran Kung bagi Kaisar Muda.

Dalam surat yang kutulis untuk Yung Lu, kuberitakan mengenai kematian Nuharoo, upacara kenaikan takhta Guanghsu yang akan segera dilangsungkan, dan pengunduran diri Pangeran Kung. Aku tak menyebutkan bagaimana aku bisa bertahan selama tujuh tahun tanpa kehadirannya. Untuk memastikan kepulangannya, aku menyertakan salinan petisi yang ditandatangani oleh para menteri Istana yang isinya menuntut pemancungan Li Hungchang.


Aku tak pernah menduga sebelumnya bahwa ini akan menjadi peristiwa reuni kami: Yung Lu melahap kuekue bola di ruang makanku, kelaparannya memberiku kesempatan untuk mengamatinya. Garisgaris keriput kini melintangi wajahnya seperti bukit dan sungai. Akan tetapi, perubahan terbesar yang kudapati adalah sikapnya yang tak lagi terlalu formal dan kaku.

Waktu, jarak, dan pernikahan tampaknya membuatnya lebih tenang. Aku tak menemui ketegangan yang sudah kuantisipasi. Aku telah membayangkan kepulangannya berkalikaliseperti berbagai variasi dari adegan yang sama dalam pertunjukan opera, dia akan memasuki ruangan berulangulang, tetapi dengan latar dan kostum yang beda, juga dengan mengucapkan katakata yang beda padaku.

“Willow memintaku untuk meminta maaf.” Yung Lu mendorong piring yang kosong dan menyeka mulutnya. “Dia masih sibuk berbenah.”

Aku tak yakin Yung Lu memahami pengorbanan istrinya. Atau dia berpurapura tak tahu.

Yung Lu melanjutkan, “Guanghsu menginginkan kebebasan dan aku ingin tahu apakah menurutmu dia sudah siap untuk itu.”

“Kaulah penasihat terakhir Kaisar,” ujarku.

“Jika Dewan Istana menginginkan pemenggalan Li,“ dia berkata pelan, “maka masih banyak yang harus dikerjakan oleh Kaisar Guanghsu.”

Aku setuju. “Aku harap aku bisa mundur sebelum mati.”





21



SEMALAM TURUN SALJU. Meskipun tak berat, hujan salju itu berlangsung hingga pagi. Ini minggu yang sungguh berat. Kepalaku rasanya habis dipukuli, dan kini membengkak. Guru Weng telah memberi Kaisar dan aku pengenalan intensif mengenai transformasi Jepang melalui reformasi politik. Guru Weng menjelaskan lebih mendalam mengenai pentingnya kebebasan berekspresi.

“Pendapat umum yang memandang kalangan ilmuwan sebagai kaum pemberontak harus diubah.” Janggut abuabu sang guru menggantung di depan dadanya bagai tirai, membuatnya tampak bagai Dewa Dapur. [ Zao Shen atau Dewa Dapur adalah dewa rumah tangga yang penting dalam keyakinan Cina. Gambar dirinya biasa terpajang pada komporkompor dalam rumah. Dipercaya dapat membawa kekayaan bagi penghuni rumah dan melindungi mereka dari roh jahat. ] “Kita harus mencontoh Jepang.”

“Pertamatama, aku akan melarang tindakan menghukum para pengusung paham yang beda.” Guanghsu tampak bersemangat.

“Tetapi bagaimana cara kau meyakinkan Dewan Istana?” aku bertanya padanya. “Kita semua harus ingat bahwa Dinasti Manchu dibangun atas kekuasaan militer. Para leluhur kita mengamankan kedudukan mereka dengan menyingkirkan dan membantai semua penentangnya.”

“Ibu.” Anakku beralih padaku. “Kau adalah anggota senior dari klan kerajaan dan memiliki kewenangan besar. Dewan Istana bisa menolakku, tetapi akan sulit bagi mereka untuk menolakmu. “

Aku berjanji akan membantu. Di hadapan Dewan Istana, aku memberikan izin bagi proposal Guru Weng, yang akan memperkenalkan reformasi gayaJepang. Akan tetapi, di balik gerbang Kota Terlarang, aku menyatakan kekhawatiran pribadiku pada Guru Weng. Kukatakan padanya bahwa aku kurang memercayai kualitas pemikiran para ilmuwan kami, terutama pada kelompok yang menamakan diri Mingshih, “pemilik kebijaksanaan”.  Reputasi mereka lebih dikenal sebagai pembual dan pencari kesenangan pribadi. Sebagai gadis kecil yang besar di Wuhu, aku ingat mengenali orangorang semacam itu sebagai temanteman ayahku. Mereka menghabiskan harihari mereka mendeklamasikan puisi, membahas filsafat, menyanyikan lagu opera, dan minumminum. Mereka dikenal sering mengunjungi teater dan “perahu kembang”—rumah pelacuran yang mengambang.

Aku lebih mencemaskan akan agresi Jepang yang kian meluas dan mendorong Kaisar untuk bekerja sama dengan Li Hungchang dalam membangun Biro Angkatan Laut untuk mengawasi urusanurusan kelautan. Aku meminta Guanghsu untuk mengawasi secara pribadi aliran dana Kerajaan bagi penyediaan armada kapal dan persenjataan untuk perang.

Tantangan terbesarku datang dari kemarahan yang ditunjukkan para anggota kerajaan Manchu terhadap pemotongan penerimaan tahunan mereka. Untuk mendiamkan mereka, kutunjuk Pangeran Ch'un sebagai penanggung jawab biro yang baru. Kemampuan lelaki itu tak sepantar dengan saudaranya, Pangeran Kung, yang sangat cerdas. jika harus memilih, aku akan lebih senang bekerja sama dengan Pangeran Kung. Namun, Pangeran Kung telah membuat satu kesalahan besar, yang membuatnya tersingkir. Pangeran Ch'un kurang cakap dalam berbagai hal, tetapi dia adalah ayah dari sang Kaisar dan aku tak punya kandidat lain. Menyadari kekurangannya, aku menunjuk Li Hungchang dan Tseng Chitse, anak dari Tseng Kuofan, sebagai penasihatnya, mengetahui bahwa mereka akan memenuhi peranannya dengan baik.

Sejarawan masa mendatang akan menyebutkan penunjukan Pangeran Ch'un sebagai bentuk pembalasanku atas Pangeran Kung, dan sebagai satu contoh lain yang membuktikan kehausanku akan kekuasaan. Kenyataannya adalah Pangeran Kung merupakan korban dari politik dalamIstana kaum Manchu. Pandangan liberalnya menjadikan dia sasaran empuk tidak hanya bagi TopiBesi, tetapi juga bagi saudarasaudaranya yang iri padanya, termasuk pula Pangeran Ch'un dan Pangeran Ts'eng.

Pada masa konflik dengan Prancis, pihak TopiBesi menganjurkan pada Cina untuk segera maju berperang. Pangeran Ch'un terdorong untuk menuntut kekuasaannya pada pemerintahan anaknya. Saat aku mulai terlibat, masalah Pangeran Kung dengan mayoritas Dewan Istana sudah di luar kendali. Meyakini bahwa Cina harus menjauhi peperangan, Kung mengambil tindakan sendiri dengan mengirimkan utusan ke Prancis untuk bernegosiasi. Dengan penilaian dari Robert Hart akan situasi yang terjadi, Pangeran Kung berhasil meyakinkan Prancis untuk membuat suatu kesepakatan, dan Li Hungchang dikirim untuk meresmikan persetujuan tersebut.

Ketika hasil kompromi Li mengubah Indocina ke dalam bentuk protektoratbersama antara Cina dan Prancis, rakyat Cina berang. Pangeran Kung dan Li Hung-chang dituduh sebagai pengkhianat. Suratsurat mengkritik keduanya menumpuk di mejaku.

Walaupun mendukung Pangeran Kung, aku tak dapat mencegah semakin meluasnya konflik di Istana. Kaisar Guanghsu terus ditekan oleh saudarasaudaranya yang cepat naikdarah dan pemimpin TopiBesi, Pangeran Ch'un Junior.

Kusadari bahwa satusatunya cara untuk menghindarkan Pangeran Kung dari masalah adalah dengan memecatnya atas alasanalasan sepele: arogansi, nepotisme, dan ketidakefisienan. Kuyakinkan saudara iparku bahwa suatu dekrit pemecatan akan membebaskan dirinya dari dakwaan atas pengkhianatan.

Dengan marah dan kecewa, Kung mengajukan pengunduran dirinya, dan segera dikabulkan.

Sementara itu, Li Hungchang tertinggal dalam posisi yang lemah. Untuk menyelamatkan hidupnya sendiri, dia memilih untuk berpindah haluan—suatu keputusan yang bisa kumengerti dan aku hanya bisa bersimpati untuknya. Kemudian Pangeran Ch'un menggantikan Pangeran Kung selaku Menteri Kepala.

Negara menerima konsekuensinya akibat kepergian Pangeran Kung, seseorang yang selama bertahuntahun lamanya telah menjadi sandaran perlindunganku. Dengan perginya Yung Lu dan Pangeran Kung, aku menjadi sangat cemas. Cina sekarang sudah nyaris dikuasai sepenuhnya oleh pihak gariskeras Manchu—kelompok yang dikenal rakus, keji, dan tak terdidik, yang jumlahnya mencapai ribuan.

Leluhur Manchu telah membuat suatu sistem rotasi jabatan yang dilangsungkan setiap dua atau tiga tahun untuk mencegah para pejabat meraup keuntungan pribadi. Rotasi itu sering kali berarti bahwa seorang gubernur baru akan jatuh dalam genggaman staf dan bawahannya, yang mengenali wilayah mereka dengan baik. Aku menaruh kecurigaan pada para gubernur baru yang akan datang melaporkan pada Kaisar tentang “pencapaian terbarunya”.

Menurut Li Hungchang, tiga puluh persen dari penghasilan tahunan negara mengalami kebocoran akibat aksi penyuapan, penipuan, dan korupsi. Pemerintah kami disusahkan oleh makin langkanya orangorang yang jujur dan kompeten. Dan, di atas segalanya, atas keterbatasan dana dan juga sumbersumber untuk mendapatkannya.

Guanghsu berencana untuk memberlakukan pajak tanah. Aku memohon padanya untuk tak menerapkannya. Musim panas lalu telah membawa kehancuran pada separuh wilayah Cina. Di provinsiprovinsi termiskin, keluarga akan menukar anakanak mereka—orangtua tak mampu melihat anakanak mereka sendiri meninggal, kemudian dengan terpaksa memakan bangkainya. Sementara itu, jumlah ekspor kami tertinggal jauh dari besar impornya. Bahkan perdagangan teh, yang sejak 1876 dimonopoli oleh kami, telah dicuri oleh India di bawah kekuasaan Inggris. Kini kami hanya menyuplai seperempat dari jumlah konsumsi teh dunia. Ruanganku penuh sesak oleh kertaskertas. Kuas, cat, batu tinta dan stempel khusus berserak di seluruh permukaan. Tembokku tertutupi lukisanlukisan yang tengah dikerjakan. Objek lukisku masih mengambil tema bungabunga dan lanskap, tetapi sapuan kuasku menunjukkan kecemasan yang kian kurasakan.

Pengajar lukisku memilih angkat kaki karena aku membuatnya gila. Dia tak bisa mengerti mengapa aku tak bisa melukis seperti sebelumnya. Dia takut melihat sapuan kuas anehku. Alis matanya membentuk puncak gunung dan mulutnya akan menganga lebar seolah terkejut dalam hening, sewaktu dia memperbaiki sapuan lukisku. Dia memulas tinta hitam di manamana hingga cat lukisannya menetes, dan bunga mawarku berubah menjadi zebra.

Li Lienying memberi tahuku bahwa lukisanlukisanku tak laku dijual karena para kolektor tak memercayainya sebagai karyaku.

“Lukisan yang baru kehilangan keanggunan dan ketenangannya,” ujar kasimku.

Kukatakan padanya bahwa keindahan taman kerajaan sudah tak lagi menginspirasiku. “Tak ramah dan tak manusiawi, paviliunpaviliun itu berdiri di sana hanya untuk membuatku stres!”

“Tetapi Tuan Putri, kami semua yang tinggal di Kota Terlarang hidup seperti kelelawar dalam gua. Kegelapan sudah jadi hal yang biasa.”

Kulempar kuasku ke ruangan. “Aku sudah muak memandangi pekarangan yang suram dan jalur tapaknya yang panjang, gelap, sempit! Kamarkamar di Kota Terlarang sama persis, membisiki pembunuhan di telingaku!”

“Itu penyakit pikiran, Tuan Putri. Aku akan mempersiapkan untuk memajang cermin besar di pintu masuk. Ia akan membantu menangkal kedatangan arwaharwah jahat.”

Hari ketika Li Lienying menggantungkan sebuah cermin baru, aku bermimpi melakukan perjalanan ke kuil Buddha di pegunungan tinggi. Jalur dakian di tepi tebingnya tak lebih dari setengah meter. Ratusan kaki ke bawah terlihat sungai yang tampak bagai cermin. Sungai itu terimpit antara dua bukit. Dalam mimpiku, keledai yang kutunggangi tak mau bergerak. Kakinya bergetar.

Saat terbangun, aku teringat saat liburan musim panas, berjalanjalan ke sungai dengan keluargaku. Perahu kami dikerubungi kutu. Kutukutu itu tampaknya hanya menggangguku. Pada malam harinya, ketika kubersihkan debudebu dari sepraiku untuk bersiap tidur, debu itu melompat dan kembali menutupi sepraiku. Saat itulah kusadari bahwa itu bukan debu, melainkan kutu.

Melayari sungai, aku dapat mendengarkan nyanyian para pendayung perahu untuk menyamakan gerakan dayungnya. Aku ingat mengangkat tangan dan memasukkannya ke dalam sungai berwarna hijau tua. Terbenamnya matahari memancarkan warna merah, kemudian abuabu, kemudian tibatiba langit jadi gelap. Air menyusuri jari-jariku, begitu hangat dan lembut.

Yung Lu mengunjungiku dalam mimpi. Dia selalu berdiri di puncak benteng di tengahtengah gurun. Bertahuntahun kemudian, ketika kujelaskan padanya apa yang dilihat oleh mataku dalam mimpi, dia terkejut oleh ketepatannya. Kulitnya kering tergerus cuaca, dan dia mengenakan seragam Pemegang Panjinya. Posturnya tegak bagai patung penjaga batu yang dibuat untuk makam kubur.

Pada tengah malam, kudengar suara sesuatu menghantam atapku. Sebuah ranting busuk jatuh dari pohon yang tua. Aku menuruti nasihat ahli nujumku untuk menghindari pertanda buruk dan pindah dari Istana Kecantikan Tak Terlarai ke Istana Kedamaian dan Panjang Umur, yang letaknya jauh di timur Kota Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ  http://kangzusi.com/ Terlarang. Istana yang baru lebih tenang dan jaraknya yang jauh dari balairung membuat Guanghsu jadi lebih mandiri karena sekarang akan lebih sulit baginya untuk berkonsultasi denganku.

Pada usia lima puluh satu, kusadari betapa aku menginginkan Yung Lu kembali. Tidak hanya karena alasan pribadi: kehadirannya akan dapat menenangkan Gunghsu dan Dewan Istana. Aku membutuhkannya untuk melakukan peran yang sama sebagaimana yang dulu dilakukan oleh Pangeran Kung bagi Kaisar Muda.

Dalam surat yang kutulis untuk Yung Lu, kuberitakan mengenai kematian Nuharoo, upacara kenaikan takhta Guanghsu yang akan segera dilangsungkan, dan pengunduran diri Pangeran Kung. Aku tak menyebutkan bagaimana aku bisa bertahan selama tujuh tahun tanpa kehadirannya. Untuk memastikan kepulangannya, aku menyertakan salinan petisi yang ditandatangani oleh para menteri Istana yang isinya menuntut pemancungan Li Hungchang.


Aku tak pernah menduga sebelumnya bahwa ini akan menjadi peristiwa reuni kami: Yung Lu melahap kuekue bola di ruang makanku, kelaparannya memberiku kesempatan untuk mengamatinya. Garisgaris keriput kini melintangi wajahnya seperti bukit dan sungai. Akan tetapi, perubahan terbesar yang kudapati adalah sikapnya yang tak lagi terlalu formal dan kaku.

Waktu, jarak, dan pernikahan tampaknya membuatnya lebih tenang. Aku tak menemui ketegangan yang sudah kuantisipasi. Aku telah membayangkan kepulangannya berkalikaliseperti berbagai variasi dari adegan yang sama dalam pertunjukan opera, dia akan memasuki ruangan berulangulang, tetapi dengan latar dan kostum yang beda, juga dengan mengucapkan katakata yang beda padaku.

“Willow memintaku untuk meminta maaf.” Yung Lu mendorong piring yang kosong dan menyeka mulutnya. “Dia masih sibuk berbenah.”

Aku tak yakin Yung Lu memahami pengorbanan istrinya. Atau dia berpurapura tak tahu.

Yung Lu melanjutkan, “Guanghsu menginginkan kebebasan dan aku ingin tahu apakah menurutmu dia sudah siap untuk itu.”

“Kaulah penasihat terakhir Kaisar,” ujarku.

“Jika Dewan Istana menginginkan pemenggalan Li,“ dia berkata pelan, “maka masih banyak yang harus dikerjakan oleh Kaisar Guanghsu.”

Aku setuju. “Aku harap aku bisa mundur sebelum mati.”

21



SEMALAM TURUN SALJU. Meskipun tak berat, hujan salju itu berlangsung hingga pagi. Ini minggu yang sungguh berat. Kepalaku rasanya habis dipukuli, dan kini membengkak. Guru Weng telah memberi Kaisar dan aku pengenalan intensif mengenai transformasi Jepang melalui reformasi politik. Guru Weng menjelaskan lebih mendalam mengenai pentingnya kebebasan berekspresi.

“Pendapat umum yang memandang kalangan ilmuwan sebagai kaum pemberontak harus diubah.” Janggut abuabu sang guru menggantung di depan dadanya bagai tirai, membuatnya tampak bagai Dewa Dapur. [ Zao Shen atau Dewa Dapur adalah dewa rumah tangga yang penting dalam keyakinan Cina. Gambar dirinya biasa terpajang pada komporkompor dalam rumah. Dipercaya dapat membawa kekayaan bagi penghuni rumah dan melindungi mereka dari roh jahat. ] “Kita harus mencontoh Jepang.”

“Pertamatama, aku akan melarang tindakan menghukum para pengusung paham yang beda.” Guanghsu tampak bersemangat.

“Tetapi bagaimana cara kau meyakinkan Dewan Istana?” aku bertanya padanya. “Kita semua harus ingat bahwa Dinasti Manchu dibangun atas kekuasaan militer. Para leluhur kita mengamankan kedudukan mereka dengan menyingkirkan dan membantai semua penentangnya.”

“Ibu.” Anakku beralih padaku. “Kau adalah anggota senior dari klan kerajaan dan memiliki kewenangan besar. Dewan Istana bisa menolakku, tetapi akan sulit bagi mereka untuk menolakmu. “

Aku berjanji akan membantu. Di hadapan Dewan Istana, aku memberikan izin bagi proposal Guru Weng, yang akan memperkenalkan reformasi gayaJepang. Akan tetapi, di balik gerbang Kota Terlarang, aku menyatakan kekhawatiran pribadiku pada Guru Weng. Kukatakan padanya bahwa aku kurang memercayai kualitas pemikiran para ilmuwan kami, terutama pada kelompok yang menamakan diri Mingshih, “pemilik kebijaksanaan”.  Reputasi mereka lebih dikenal sebagai pembual dan pencari kesenangan pribadi. Sebagai gadis kecil yang besar di Wuhu, aku ingat mengenali orangorang semacam itu sebagai temanteman ayahku. Mereka menghabiskan harihari mereka mendeklamasikan puisi, membahas filsafat, menyanyikan lagu opera, dan minumminum. Mereka dikenal sering mengunjungi teater dan “perahu kembang”—rumah pelacuran yang mengambang.

Aku lebih mencemaskan akan agresi Jepang yang kian meluas dan mendorong Kaisar untuk bekerja sama dengan Li Hungchang dalam membangun Biro Angkatan Laut untuk mengawasi urusanurusan kelautan. Aku meminta Guanghsu untuk mengawasi secara pribadi aliran dana Kerajaan bagi penyediaan armada kapal dan persenjataan untuk perang.

Tantangan terbesarku datang dari kemarahan yang ditunjukkan para anggota kerajaan Manchu terhadap pemotongan penerimaan tahunan mereka. Untuk mendiamkan mereka, kutunjuk Pangeran Ch'un sebagai penanggung jawab biro yang baru. Kemampuan lelaki itu tak sepantar dengan saudaranya, Pangeran Kung, yang sangat cerdas. jika harus memilih, aku akan lebih senang bekerja sama dengan Pangeran Kung. Namun, Pangeran Kung telah membuat satu kesalahan besar, yang membuatnya tersingkir. Pangeran Ch'un kurang cakap dalam berbagai hal, tetapi dia adalah ayah dari sang Kaisar dan aku tak punya kandidat lain. Menyadari kekurangannya, aku menunjuk Li Hungchang dan Tseng Chitse, anak dari Tseng Kuofan, sebagai penasihatnya, mengetahui bahwa mereka akan memenuhi peranannya dengan baik.

Sejarawan masa mendatang akan menyebutkan penunjukan Pangeran Ch'un sebagai bentuk pembalasanku atas Pangeran Kung, dan sebagai satu contoh lain yang membuktikan kehausanku akan kekuasaan. Kenyataannya adalah Pangeran Kung merupakan korban dari politik dalamIstana kaum Manchu. Pandangan liberalnya menjadikan dia sasaran empuk tidak hanya bagi TopiBesi, tetapi juga bagi saudarasaudaranya yang iri padanya, termasuk pula Pangeran Ch'un dan Pangeran Ts'eng.

Pada masa konflik dengan Prancis, pihak TopiBesi menganjurkan pada Cina untuk segera maju berperang. Pangeran Ch'un terdorong untuk menuntut kekuasaannya pada pemerintahan anaknya. Saat aku mulai terlibat, masalah Pangeran Kung dengan mayoritas Dewan Istana sudah di luar kendali. Meyakini bahwa Cina harus menjauhi peperangan, Kung mengambil tindakan sendiri dengan mengirimkan utusan ke Prancis untuk bernegosiasi. Dengan penilaian dari Robert Hart akan situasi yang terjadi, Pangeran Kung berhasil meyakinkan Prancis untuk membuat suatu kesepakatan, dan Li Hungchang dikirim untuk meresmikan persetujuan tersebut.

Ketika hasil kompromi Li mengubah Indocina ke dalam bentuk protektoratbersama antara Cina dan Prancis, rakyat Cina berang. Pangeran Kung dan Li Hung-chang dituduh sebagai pengkhianat. Suratsurat mengkritik keduanya menumpuk di mejaku.

Walaupun mendukung Pangeran Kung, aku tak dapat mencegah semakin meluasnya konflik di Istana. Kaisar Guanghsu terus ditekan oleh saudarasaudaranya yang cepat naikdarah dan pemimpin TopiBesi, Pangeran Ch'un Junior.

Kusadari bahwa satusatunya cara untuk menghindarkan Pangeran Kung dari masalah adalah dengan memecatnya atas alasanalasan sepele: arogansi, nepotisme, dan ketidakefisienan. Kuyakinkan saudara iparku bahwa suatu dekrit pemecatan akan membebaskan dirinya dari dakwaan atas pengkhianatan.

Dengan marah dan kecewa, Kung mengajukan pengunduran dirinya, dan segera dikabulkan.

Sementara itu, Li Hungchang tertinggal dalam posisi yang lemah. Untuk menyelamatkan hidupnya sendiri, dia memilih untuk berpindah haluan—suatu keputusan yang bisa kumengerti dan aku hanya bisa bersimpati untuknya. Kemudian Pangeran Ch'un menggantikan Pangeran Kung selaku Menteri Kepala.

Negara menerima konsekuensinya akibat kepergian Pangeran Kung, seseorang yang selama bertahuntahun lamanya telah menjadi sandaran perlindunganku. Dengan perginya Yung Lu dan Pangeran Kung, aku menjadi sangat cemas. Cina sekarang sudah nyaris dikuasai sepenuhnya oleh pihak gariskeras Manchu—kelompok yang dikenal rakus, keji, dan tak terdidik, yang jumlahnya mencapai ribuan.

Leluhur Manchu telah membuat suatu sistem rotasi jabatan yang dilangsungkan setiap dua atau tiga tahun untuk mencegah para pejabat meraup keuntungan pribadi. Rotasi itu sering kali berarti bahwa seorang gubernur baru akan jatuh dalam genggaman staf dan bawahannya, yang mengenali wilayah mereka dengan baik. Aku menaruh kecurigaan pada para gubernur baru yang akan datang melaporkan pada Kaisar tentang “pencapaian terbarunya”.

Menurut Li Hungchang, tiga puluh persen dari penghasilan tahunan negara mengalami kebocoran akibat aksi penyuapan, penipuan, dan korupsi. Pemerintah kami disusahkan oleh makin langkanya orangorang yang jujur dan kompeten. Dan, di atas segalanya, atas keterbatasan dana dan juga sumbersumber untuk mendapatkannya.

Guanghsu berencana untuk memberlakukan pajak tanah. Aku memohon padanya untuk tak menerapkannya. Musim panas lalu telah membawa kehancuran pada separuh wilayah Cina. Di provinsiprovinsi termiskin, keluarga akan menukar anakanak mereka—orangtua tak mampu melihat anakanak mereka sendiri meninggal, kemudian dengan terpaksa memakan bangkainya. Sementara itu, jumlah ekspor kami tertinggal jauh dari besar impornya. Bahkan perdagangan teh, yang sejak 1876 dimonopoli oleh kami, telah dicuri oleh India di bawah kekuasaan Inggris. Kini kami hanya menyuplai seperempat dari jumlah konsumsi teh dunia. Ruanganku penuh sesak oleh kertaskertas. Kuas, cat, batu tinta dan stempel khusus berserak di seluruh permukaan. Tembokku tertutupi lukisanlukisan yang tengah dikerjakan. Objek lukisku masih mengambil tema bungabunga dan lanskap, tetapi sapuan kuasku menunjukkan kecemasan yang kian kurasakan.

Pengajar lukisku memilih angkat kaki karena aku membuatnya gila. Dia tak bisa mengerti mengapa aku tak bisa melukis seperti sebelumnya. Dia takut melihat sapuan kuas anehku. Alis matanya membentuk puncak gunung dan mulutnya akan menganga lebar seolah terkejut dalam hening, sewaktu dia memperbaiki sapuan lukisku. Dia memulas tinta hitam di manamana hingga cat lukisannya menetes, dan bunga mawarku berubah menjadi zebra.

Li Lienying memberi tahuku bahwa lukisanlukisanku tak laku dijual karena para kolektor tak memercayainya sebagai karyaku.

“Lukisan yang baru kehilangan keanggunan dan ketenangannya,” ujar kasimku.

Kukatakan padanya bahwa keindahan taman kerajaan sudah tak lagi menginspirasiku. “Tak ramah dan tak manusiawi, paviliunpaviliun itu berdiri di sana hanya untuk membuatku stres!”

“Tetapi Tuan Putri, kami semua yang tinggal di Kota Terlarang hidup seperti kelelawar dalam gua. Kegelapan sudah jadi hal yang biasa.”

Kulempar kuasku ke ruangan. “Aku sudah muak memandangi pekarangan yang suram dan jalur tapaknya yang panjang, gelap, sempit! Kamarkamar di Kota Terlarang sama persis, membisiki pembunuhan di telingaku!”

“Itu penyakit pikiran, Tuan Putri. Aku akan mempersiapkan untuk memajang cermin besar di pintu masuk. Ia akan membantu menangkal kedatangan arwaharwah jahat.”

Hari ketika Li Lienying menggantungkan sebuah cermin baru, aku bermimpi melakukan perjalanan ke kuil Buddha di pegunungan tinggi. Jalur dakian di tepi tebingnya tak lebih dari setengah meter. Ratusan kaki ke bawah terlihat sungai yang tampak bagai cermin. Sungai itu terimpit antara dua bukit. Dalam mimpiku, keledai yang kutunggangi tak mau bergerak. Kakinya bergetar.

Saat terbangun, aku teringat saat liburan musim panas, berjalanjalan ke sungai dengan keluargaku. Perahu kami dikerubungi kutu. Kutukutu itu tampaknya hanya menggangguku. Pada malam harinya, ketika kubersihkan debudebu dari sepraiku untuk bersiap tidur, debu itu melompat dan kembali menutupi sepraiku. Saat itulah kusadari bahwa itu bukan debu, melainkan kutu.

Melayari sungai, aku dapat mendengarkan nyanyian para pendayung perahu untuk menyamakan gerakan dayungnya. Aku ingat mengangkat tangan dan memasukkannya ke dalam sungai berwarna hijau tua. Terbenamnya matahari memancarkan warna merah, kemudian abuabu, kemudian tibatiba langit jadi gelap. Air menyusuri jari-jariku, begitu hangat dan lembut.

Yung Lu mengunjungiku dalam mimpi. Dia selalu berdiri di puncak benteng di tengahtengah gurun. Bertahuntahun kemudian, ketika kujelaskan padanya apa yang dilihat oleh mataku dalam mimpi, dia terkejut oleh ketepatannya. Kulitnya kering tergerus cuaca, dan dia mengenakan seragam Pemegang Panjinya. Posturnya tegak bagai patung penjaga batu yang dibuat untuk makam kubur.

Pada tengah malam, kudengar suara sesuatu menghantam atapku. Sebuah ranting busuk jatuh dari pohon yang tua. Aku menuruti nasihat ahli nujumku untuk menghindari pertanda buruk dan pindah dari Istana Kecantikan Tak Terlarai ke Istana Kedamaian dan Panjang Umur, yang letaknya jauh di timur Kota Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ  http://kangzusi.com/ Terlarang. Istana yang baru lebih tenang dan jaraknya yang jauh dari balairung membuat Guanghsu jadi lebih mandiri karena sekarang akan lebih sulit baginya untuk berkonsultasi denganku.

Pada usia lima puluh satu, kusadari betapa aku menginginkan Yung Lu kembali. Tidak hanya karena alasan pribadi: kehadirannya akan dapat menenangkan Gunghsu dan Dewan Istana. Aku membutuhkannya untuk melakukan peran yang sama sebagaimana yang dulu dilakukan oleh Pangeran Kung bagi Kaisar Muda.

Dalam surat yang kutulis untuk Yung Lu, kuberitakan mengenai kematian Nuharoo, upacara kenaikan takhta Guanghsu yang akan segera dilangsungkan, dan pengunduran diri Pangeran Kung. Aku tak menyebutkan bagaimana aku bisa bertahan selama tujuh tahun tanpa kehadirannya. Untuk memastikan kepulangannya, aku menyertakan salinan petisi yang ditandatangani oleh para menteri Istana yang isinya menuntut pemancungan Li Hungchang.


Aku tak pernah menduga sebelumnya bahwa ini akan menjadi peristiwa reuni kami: Yung Lu melahap kuekue bola di ruang makanku, kelaparannya memberiku kesempatan untuk mengamatinya. Garisgaris keriput kini melintangi wajahnya seperti bukit dan sungai. Akan tetapi, perubahan terbesar yang kudapati adalah sikapnya yang tak lagi terlalu formal dan kaku.

Waktu, jarak, dan pernikahan tampaknya membuatnya lebih tenang. Aku tak menemui ketegangan yang sudah kuantisipasi. Aku telah membayangkan kepulangannya berkalikaliseperti berbagai variasi dari adegan yang sama dalam pertunjukan opera, dia akan memasuki ruangan berulangulang, tetapi dengan latar dan kostum yang beda, juga dengan mengucapkan katakata yang beda padaku.

“Willow memintaku untuk meminta maaf.” Yung Lu mendorong piring yang kosong dan menyeka mulutnya. “Dia masih sibuk berbenah.”

Aku tak yakin Yung Lu memahami pengorbanan istrinya. Atau dia berpurapura tak tahu.

Yung Lu melanjutkan, “Guanghsu menginginkan kebebasan dan aku ingin tahu apakah menurutmu dia sudah siap untuk itu.”

“Kaulah penasihat terakhir Kaisar,” ujarku.

“Jika Dewan Istana menginginkan pemenggalan Li,“ dia berkata pelan, “maka masih banyak yang harus dikerjakan oleh Kaisar Guanghsu.”

Aku setuju. “Aku harap aku bisa mundur sebelum mati.”




WEDNESDAY, OCTOBER 17, 2012


The Last Empress Part 6


23



GUANGHSU MEMILIH dua saudari dari klan Tatala yang memiliki hubungan dekat dengan klan Yehonala—sebagai selirnya. Gadisgadis itu merupakan muridmurid kesayangan Guru Weng. Awalnya, Guanghsu mendengar gurunya memuji mereka, kemudian begitu terkesan saat bertemu dengan mereka. Ayah para gadis itu adalah Sekretaris Biro Hukum Kerajaan, teman Pangeran Kung, yang terkenal akan pandanganpandangan liberalnya.

Aku tak tahu harus bersikap apa saat Guanghsu mengenalkan gadisgadis itu padaku. Gadis yang lebih muda, Zhen, atau Mutiara, belum genap empat belas tahun. Dia cantik dan sikapnya lebih seperti adik perempuan Guanglisu daripada selirnya. Mutiara penuh keingintahuan, cerdas, dan riang. Gadis yang lebih tua, Chin, atau Cahaya, berusia lima belas. Tubuhnya gemuk dengan wajah yang tenang, tetapi kaku. Guanghsu tampak senang dengan pilihannya dan meminta persetujuanku.

Meski ada banyak nama gadis yang direkomendasikan, dan yang menurut pendapatku jauh lebih memenuhi kualifikasi dalam hal kecantikan dan kecerdasan, aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tak mencampuri keputusan Guanghsu. Aku bersikap sedikit egois dan mengira bahwa semakin kurang menariknya gadisgadis yang terpilih, akan lebih aman jadinya bagi keponakanku, Lan. Aku akan mencelakai Lan jika mengelilingi suaminya dengan kecantikan. Walaupun senantiasa berdoa agar Guanghsu dan Lan kelak jatuh cinta, aku selalu bertanya pada diri sendiri, “tetapi bagaimana jika tidak?”

Mutiara dan Cahaya melengkapi sebuah paket yang harmonis. Ketika kuderetkan dengan Lan, kupikir susunan itu begitu ideal: Mutiara masih belia, Cahaya pasif, dan Lan memperoleh kesempatannya untuk bercahaya. Keinginanku sekarang adalah mendorong Guanghsu untuk memiliki anak dari mereka semua.


Ketiga gadis itu hadir untuk jamuan teh dengan gaungaun indah mereka. Mereka mengingatkanku akan masa mudaku. Aku ingin mereka mengetahui akan penyesalanku atas hubunganku dengan Alute. Mereka tak menyangka akan keterusteranganku dan terkejut karenanya.

“Maafkan aku telah memaksa kalian mendengarnya,” jelasku. “Jika kalian belum mendengarkan kisahnya, cepat atau lambat kalian akan mendengarnya dari gosip istana. Alangkah baiknya, bila kuberi tahu kalian dari sudutku sendiri.”

Kuperingatkan mereka untuk menyingkirkan impian-impian mereka akan kehidupan di dalam Kota Terlarang. “Jangan terlalu memikirkan akan bagaimana hidup seharusnya, tetapi terimalah hidup seperti apa adanya.” Kubiarkan Lan tahu bahwa aku sangat senang memiliki kesenangan yang sama dengannya terhadap sastra dan opera, tetapi kuingatkan dia bahwa puisi dan opera hanya pengalih pikiran, bukan kesenangan sesungguhnya.

Gadisgadis itu tampak tak sepenuhnya mengerti, tetapi mereka semua menganggukangguk dengan patuh. “Alute dan Tung Chih jatuh cinta pada kali pertama mereka bertemu,” aku melanjutkan. “Namun, Tung Chih mengabaikannya setelah sekian bulan demi wanitawanita lain.“ Kusebutkan bagaimana aku telah kehilangan suamiku oleh selirselir Cina. “Dibutuhkan karakter, tekad baja, dan ketahanan untuk bisa bertahan di dalam Kota Terlarang.” Untuk menjelaskan maksudku, kutekankan bahwa aku tak akan menoleransi kehadiran Alute yang lain.

Sementara Lan, yang sudah mengetahui ceritanya, mendengarkan, Cahaya dan Mutiara membelalakkan mata mereka saat aku membicarakan mendiang menantuku, Alute. Aku harus berhenti untuk menyeka air mataku karena ingatan akan Tung Chih begitu menyesakkan.

Mutiara menangis saat aku menceritakan akhir hidup Alute yang begitu memilukan.

“Aku tak akan pernah melakukan apa yang dilakukan Alute meskipun aku begitu kecewa terhadap hidupku dan ingin mengakhirinya!” tangisnya. “Alute salah menginginkan kematian bayinya!”

“Mutiara,” Cahaya menyela. “Tolong, hentikan. Emosi negatif akan menCelakai kesehatan Baginda Ratu.”


“Akankah kau menyebut dirimu sendiri sudah berhasil bertahan dan sukses?” Lan bertanya padaku pada perjamuan teh kami yang ketiga.

“Bertahan, mungkin—tentu saja belum sukses,” adalah jawabanku.

“Semua orang di negeri ini mengira kehidupanmu bagai kisah dongeng,” Mutiara berkata. “Apa itu tak benar?”

“Untuk sebagian hal, kurasa ada benarnya,” aku menyetujuinya. “Aku tinggal di Kota Terlarang, ribuan orang melayaniku, lemari pakaianku sungguh tak terbayangkan, tetapi—“

“Kau dipuja ribuan orang,“ sela Lan.

“Bukankah begitu, Baginda Ratu?” kedua saudari mengikuti.

Aku terdiam, memikirkan apakah sebaiknya aku mengungkapkan pikiran terdalamku. “Aku akan mengatakan begini: Aku telah memperoleh kedudukan tinggi, tetapi kehilangan kebahagiaan.”

Meski disikut oleh saudaranya, Mutiara mengungkapkan ketidakpercayaannya dan memohon padaku untuk menjelaskannya.

“Ayahku seorang Gubernur Wuhu ketika aku berusia tujuh tahun,“ aku memulainya. “Aku bermain dengan temanteman kampungku di lapangan rumput, bukit-bukit, dan sungai. Kondisi keuangan keluargaku lebih baik dibandingkan dengan sebagian besar penduduk kota itu, yang mengandalkan hidupnya hanya pada hasil panen tahunan. Keinginan terbesarku saat itu adalah untuk bisa memberikan hadiah Tahun Baru pada sahabat terbaikku, seorang gadis kerempeng berkaki panjang yang biasa disebut Belalang. Belalang bilang bahwa jika aku sungguh-sungguh ingin membuatnya senang, yang harus kulakukan hanyalah membiarkannya membersihkan lubang tinja keluargaku.”

“Apa?” gadisgadis kerajaan itu terkejut. “Dia menginginkan tinjamu? “

Aku mengangguk. “Memperoleh suplai tinja yang tetap untuk menyuburkan lahan mereka merupakan impian setiap petani.“

Sembari menghirup teh terbaik, kujelaskan bagaimana Belalang dan keluarganya mendatangi rumah kami untuk menerima “hadiah” itu. Bagaimana setiap anggota keluarganya membawa ember kayu dan tiang bambu. Bagaimana mereka bernyanyinyanyi saat tengah mengosongkan lubang itu. Bagaimana Belalang akan berlutut di dalam lubang, menggerus pinggirannya hingga bersih.

Ketiga gadis lembut itu membelalakkan matanya. Mutiara tampak begitu terkejut hingga menutup mulut dengan tangannya, seolah takut pada katakata yang akan dikeluarkannya.

“Aku tak akan melupakan senyum yang terlukis di wajah Belalang,“ Kuhabiskan tehku. “Dia membuatku menyadari arti kebahagiaan itu. Aku tak pernah menemui kebahagiaan yang begitu sederhana, semenjak memasuki Kota Terlarang, “

“Kau mengatakannya seolah kau tak beruntung!” Mutiara tak dapat menahan diri untuk tak berkomentar.

“Benar,” desahku.


Guanghsu dan Guru Weng bergabung dengan kami untuk makan malam. Mutiara, dengan segala kepolosan dan daya tarik alaminya, memohon pada Guanghsu untuk membagi apa yang telah dipelajarinya hari itu. Sebagai murid Guru Weng sendiri, mereka saling meledek. Guang hsu tampaknya menikmati tantangan Mutiara dan hubungan pertemanan mereka berkembang di depan kedua mataku.

“Aku meyakini bahwa satusatunya harapan bagi Cina, akan keselamatannya adalah dengan belajar dan meniru ilmu dan teknologi dari negaranegara Barat,” Guanghsu berkata dengan nada tinggi dan Mutiara mengangguk-angguk setuju.

Saat Mutiara meminta Kaisar menunjukkan bagaimana cara kerja sebuah jam, Guanghsu meminta kasimnya untuk membawakan sebagian koleksi jamnya. Seperti pelakon pertunjukan, dia membongkar jamnya, menunjukkan cara kerja bagian dalamnya. Gadis itu terpana akan kepandaiannya, kedua kepala mereka bagai menempel selagi mereka berdua melanjutkan penelitiannya.

Aku bisa merasakan bahwa Lan berkeinginan memiliki kesempatan untuk berbincang dengan Kaisar mengenai puisi dan sastra. Pada kesempatan berikutnya, ketika sedang bersama keponakanku, aku menanyakan bagaimana perasaannya. Kami berdua sedang duduk di depan cermin riasnya.

“Guanghsu lebih memerhatikan selirnya ketimbang Permaisurinya,” keluh Lan.

Aku tak ingin menjadi orang yang harus mengatakan hal ini padanya, tetapi tahu bahwa dia harus mempersiapkan dirinya: “Ini mungkin baru awalnya saja, Lan.”

Keponakanku mengangkat mata kecilnya dan menatap bayangannya di cermin. Dia menilai dirinya dengan saksama. Semenit kemudian, dia merendahkan kepalanya dan mulai menangis. “Aku jelek.”

Kutaruh tanganku di atas kedua bahunya.

“Tidak!” Dia mengibaskan tanganku. “Lihat gigiku. Begitu tonggos!”

“Kau cantik, Lan.“ Kuusap lengannya lembut. “Kau ingat Nuharoo, bukan? Siapa yang lebih cantik, dia atau aku? Semua orang berpikir dialah yang lebih cantik, temasuk aku sendiri, karena memang itulah kenyataannya. Aku bukanlah saingan bagi Nuharoo. Namun, Kaisar Hsien Feng meninggalkannya untukku.”

Keponakanku mengangkat matanya yang berkacakaca.

“Semua bergantung pada usahanya,” aku menyemangatinya.

“Apa yang dilihat Guanghsu pada Mutiara?”

“Keriangannya, mungkin…”

“Bukan, itu karena wajahnya.”

“Lan, dengarkan aku. Guanghsu dibesarkan dengan kecantikan di pekarangan belakangnya. Baginya, itu sudah tak ada artinya kecuali hiasan berjalan. Seperti yang kautahu, Tung Chih meninggalkan tiga ribu kecantikan dari seluruh dunia demi pelacur di rumah bordil.“

“Aku tak tahu bagaimana jadi lebih riang!” Air mata Lan mengaliri pipinya. “Semakin memikirkannya, semakin tegang aku jadinya. Aku bahkan tak bisa membuat Guang-hsu menatapku. “

Selagi kami berpamitan, kukatakan pada Lan bahwa masih ada waktu baginya jika dia ingin membatalkan pernikahannya.

“Tetapi aku ingin menjadi Permaisuri Cina,” ujar Lan, nada suaranya begitu tegas.

Itu kali pertamanya aku menyadari kekeraskepalaannya.

“Aku ingin menjadi sepertimu,” tambahnya.


Pada 26 Februari 1889, pernikahan Guanghsu dirayakan seantero negeri. Kaisar belum genap delapan belas tahun. Sama seperti Nuharoo, Lan memasuki Kota Terlarang dari Gerbang Utama, Gerbang Keselarasan Surgawi. Cahaya dan Mutiara masuk dari sampingnya, gerbang yang sama yang kumasuki tiga puluh tujuh tahun sebelumnya.

Seminggu kemudian, 4 Maret, aku mundur sebagai Wali. Ini kali kedua aku melakukannya. Usiaku lima puluh empat tahun. Semenjak itu, panggilan resmiku menjadi Janda Kaisar. Aku senang bisa kembali mengurusi taman-taman di Istana Musim Panas, meninggalkan urusan Istana yang memusingkan Guanghsu dan ayahnya, Pangeran Ch'un.

Kelompok gariskeras Manchu mengkhawatirkan komitmen Guanghsu akan reformiasi, yang ditunjukkannya dalam dekrit pertamanya: “Aku akan mengubah aturan lama Cina dan menghapuskan kekuatan reaksioner yang tak bisa membawa diri mereka untuk melihat kenyataan. Dan ini artinya demosi, pemindahan, pengasingan, dan eksekusi bagi mereka yang keras kepala.”

Meskipun aku tak memberi dukungan secara publik bagi Guanghsu, sikap diamku sudah cukup berbicara.

Membenci cara memerintah Guanghsu dan meragukan keputusanku untuk mundur dari kekuasaan, salah satu perwakilan gariskeras, seorang hakim provinsi, menyerahkan petisi yang memintaku untuk meneruskan perwalian. Yang mengejutkanku adalah jumlah tanda tangan yang mereka kumpulkan. Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ  http://kangzusi.com/ Orangorang pasti berpikir hahwa aku tak bersungguhsungguh dengan apa yang kukatakan. Kusadari bahwa hakim itu pasti berpikir bahwa aku tengah menunggu datangnya proposal semacam itu. Alihalih memberi penghargaan pada hakim itu dengan kenaikan pangkat, aku malah membatalkan rencana Dewan Istana untuk membahas petisi itu. Aku menyebutnya sebagai pemborosan waktu dan memecat sang hakim provinsi sambil memastikan bahwa itu merupakan pemiecatan permanen. Kujelaskan pada negara, “Tugas perwalian tak pernah menjadi keinginanku dari awalnya.”

Aku ingin membiarkan orangorang tahu bahwa pikiranpikiran yang buruk akan tumbuh layaknya rumput liar di Istana.


Kutandai hari pengunduran diriku dengan mengadakan perayaan, yang di sini aku akan membagi penghargaan pada banyak orang. Kukeluarkan setengah lusin dekrit untuk mengungkapkan rasa terima kasihku pada semua orang, mereka yang hidup dan mati, yang telah memberikan sumbangsihnya selama masa perwalianku. Di antara tokoh penting yang kuanugerahi penghormatan adalah seorang warga Inggris, Robert Hart, atas pengabdian dan prestasinya sebagai Inspektur Jenderal Layanan Bea Cukai Cina. Dekrit itu dikeluarkan meski mendapatkan tentangan kuat dari para menteri Istana. Kuanugerahi Hart sebuah gelar paling istimewa, peringkat leluhur akan Tingkat Pertama dari Kelas Pertama untuk Tiga Generasi. Itu artinya bahwa penghargaan itu berlaku surut, terlimpah pada para leluhurnya, bukan pada keturunannya. Hal ini mungkin tampak aneh dari sudut pandang orang Barat, tetapi bagi orangorang Cina, tak ada penghargaan lain yang bisa melebihinya.

Aku memilih berpurapura bisu dan tuli saat Penasihat Klan mengeluh, “Iblis Barat kini mempunyai status lebih tinggi daripada sebagian besar dari kita, bahkan dari para leluhur kita sendiri!”

Aku meyakini bahwa Robert Hart mewakili suatu perubahan revolusioner yang sangat dibutuhkan oleh Cina. Namun, Dewan Istana secara bulat menolak permintaanku untuk bertemu dengannya secara langsung. Menteri Urusan Bidang Etika mengancam akan mengundurkan diri, selagi dia mengemukakan buktibukti catatan yang menunjukkan bahwa sepanjang sejarah Cina, seorang wanita dengan statusku tak pernah menerima tamu lelaki asing. Tiga belas tahun akan berlalu, sebelum aku akhirnya menemui Robert Hart.


Aku tak pernah menyangka sebelumnya bahwa pemugaran rumah peristirahatanku akan menjadi suatu skandal. Rencana itu bermula dari sikap kemurahan hati. Ketika aku memutuskan untuk menetap di Istana Musim Panas—yang sebelumnya bernama Ch'ing I Yuan, Taman Air Jernih Beriak—Pangeran Ch'unlah yang mendesak untuk memugarnya. Sebagai Kepala Menteri, dia berbicara atas nama Kaisar. Ch'un bermaksud menyediakanku tempat tingggal yang nyaman, yang dengan senang hati kuterima. Aku tak ingin mempermalukan Pangeran Ch'un dengan mengungkit bahwa dia telah menolak ide yang sama, saat diajukan oleh Tung Chih setelah dia naik takhta pada 1873. Saat itu, Ch'un menyebutkan bahwa mereka tak memiliki cukup dana untuk melakukannya. Aku tak habis pikir, bagaimana mereka bisa berhasil mengumpulkan dananya sekarang. Aku hanya bisa menyimpulkan bahwa dia ingin aku betah menghabiskan waktu berjalanjalan di tamanku daripada mencampuri urusan negara. Aku tetap pasif karena aku merasa sudah saatnyalah bagi Pangeran Ch'un untuk merasakan bagaimana jika berada di posisiku. Sebagai menteri yang membawahkan Angkatan Laut, dia telah menjadi singa buas, selalu menggagalkan upaya Li Hungchang untuk memodernisasi Cina. Yang tak kuduga sebelumnya adalah teman komplotannya sekarang, Guru Weng. Weng adalah seorang liberal dan penganjur utama reformasi yang dulu mendukung inisiatif Li. Namun, ketika dia menjabat sebagai Menteri Pendapatan baru Pangeran Ch'un, Weng menyadari bahwa dia tak menyukai berbagi kekuasaan dengan Li. Pangeran Ch'un dan Guru Weng telah mengirim sejumlah memorandum yang mengkritik Li, dan membatalkan persetujuanku akan proyekproyek yang digagas Li. Kedua lelaki itu meyakini bahwa mereka bisa melakukan pekerjaan lebih baik jika diberikan kekuasaan penuh.

Aku telah memperingatkan pada Li Hungchang akan apa yang bisa terjadi saat aku mundur. Sangat menyedihkan melihat bagaimana Li terpaksa bertahan menghadapi penghinaan, penyerangan atas karakter, bahkan upaya pembunuhan. Satusatunya hal yang bisa kulakukan adalah untuk menunjukkan padanya betapa aku menghargainya. Dalam sebuah pesan yang dikirimkan Yung Lu untuk Li, sekutu terdekatnya di Istana, aku menulis, “Jika semua ini tak kuasa lagi kauterima, kau mendapatkan izinku untuk meninggalkan posisimu untuk alasan apa pun, “ Kukatakan padanya bahwa aku bersedia memberikan kompensasi berapa pun besarnya yang dia tuntut.

Li Hungchang meyakinkanku bahwa hal itu tak penting dilakukan, dan bahwa pemahamanku atas pengorbanannya sudah cukup untuk membuatnya bertahan. “Sama sekali bukanlah waktu yang baik untuk mengamati atau membiarkan para TopiBesi yang keras kepala menggunakan waktunya untuk menyadari semuanya dengan sendiri,” aku menulis padanya, “tetapi itulah yang terjadi denganku saat ini.”


Aku pernah tinggal dengan suamiku di Istana Musim Panas. Istana ini dipisahkan oleh sungai, yang disebut Sungai Utara, Sungai Selatan, dan Sungai Tengah. Tak sama seperti Yuan Ming Yuan, yang dibangun oleh kepandaian tangan manusia, Istana Musim Panas dirancang untuk menyelaraskan dengan keajaiban alam. Taman Air Jernih Beriak yang mengelilingi istana itu sendiri hanyalah bagian kecil dari area taman yang lebih luas. Di hamparan area luas ini, paviliunpaviliun terbuka berdiri di tengah lanskap hijau yang memukau, dan ketiga sungai besar itu berkilatan di antara bebukitan rendah. Kenanganku akan istana ini begitu menyenangkan.

Guanghsulah yang akhirnya meyakinkanku untuk mengizinkan pelaksanaan pemugaran itu. Dia secara pribadi membacakan pernyataannya pada Dewan Istana, mendesak untuk segera memulai pelaksanaannya. “Hanya itulah yang setidaknya bisa diberikan oleh Cina pada Baginda Ratunya, yang telah memikul begitu banyak penderitaan.” Aku bisa melihat Guanghsu tengah berusaha meneguhkan kemandiriannya, dan aku merasa harus mendukungnya.

Ketika menterimenteri kerajaan menulis untuk memperingatkanku akan “plotayahdananak” yang berencana untuk mengisolasiku secara politik, aku menuliskan di belakang surat mereka, “Jika plot itu ada, itu adalah rancanganku sendiri.“ Aku lebih mengkhawatirkan mengenai dari mana sumber dana itu akan datang. Prioritas utama Biro Angkatan Laut dan Pendapatan adalah membangun armada Laut Cina, dan aku menginginkan prioritas itu dihargai.


Pada Juni, Guanghsu memublikasikan dekritnya mengenai pemugaran tempat tinggalku: “... Aku kemudian teringat bahwa di sekitar Taman Barat, pernah berdiri sebuah istana. Sebagian besar gedungnya berada dalam kondisi buruk dan memerlukan pemugaran untuk membuatnya menjadi tempat yang tenang, dan menyenangkan bagi Ibu Suri Yang Mulia.” Dia memberi nama baru pada Taman Air Jernih Beriak: mulai dari sekarang, ia akan disebut sebagai Taman untuk Pemenuhan Keselarasan Masa Tua.

Setelah ragu sejenak, akhirnya kukeluarkan jawaban resmi: “Aku sadari bahwa keinginan Kaisar untuk memugar istana di area Barat mucul dari perhatiannya yang patut dihargai akan kesejahteraanku, dan atas alasan itu, aku tak mampu membalas permintaannya yang tulus dengan penolakan tajam. Lebih lagi, biaya konstruksi telah disediakan dari surplus dana yang terkumpul akibat kukuhnya perekonomian pada masa lalu. Dana di bawah pengawasan Biro Pendapatan tak akan disentuh dan tak akan mencederai pendapatan negara.”

Pernyataanku dimaksudkan untuk menjelaskan pada mereka yang menentang rencana tersebut, tetapi pada akhirnya aku terjatuh dalam perangkap. Segera, aku akan terjepit di antara dua peperangan, hal yang membuatku nyaris tak bertahan.

Peperangan pertama akan dipicu oleh Guru Weng. Ketika sang cendekiawan penggagas reformasi ini diberikan kekuasaan tertinggi, dia mendorong Guanghsu yang selama ini telab memiliki semangat besar akan reformasi. Saat dia bisa saja memainkan peranan yang lebih moderat, Guru Weng sebaliknya mendorong dia lebih kuat, mengarahkan Kaisar pada jalan yang kelak terbukti membawa bencana, baik pada keluarga kami maupun pada Cina.

Peperangan kedua merupakan perlawananku untuk bertanggung jawab terhadap kekalahan Cina dalam perang melawan Jepang. Bertahuntahun kemudian, saat semua orang melarikan diri dari tuduhan, akulah yang akan menanggung kehinaan itu. Apa yang bisa kulakukan? Aku selalu terjaga, tetapi aku tak juga bisa melepaskan diri dari mimpi buruk ini.

“Pada akhirnya,” seorang sejarawan pada masa datang akan menulis, “dana Biro Pendapatan memang tak digunakan, tetapi danadana penting, yang diestimasikan sekitar tiga puluh ribu tael, dirampas dari Biro Angkatan Laut demi Ibu Suri Tzu His—jumlah itu bisa melipatgandakan seluruh armada, yang akan membuat Cina mampu mengalahkan musuhnya.”

Malangnya, aku masih hidup untuk membaca kritik ini. Saat itu, aku sudah tua dan sekarat. Aku tak mampu dan juga tak ingin berteriak, “Pergi dan lihatlah tempat tinggalku!“ Uang yang dituduh telah kucuri akan dapat membangunnya tiga kali lipat dengan emas murni.




24



PERMASALAHAN KAMI dengan Jepang atas Korea telah berlangsung selama satu dekade. Saat Ratu Min dari Korea meminta pertolongan, aku mengirimkan Li Hungchang. Sang Ratu tengah diancam oleh gerombolan pendukung Jepang. Aku mengambil masalah ini secara pribadi. Aku sadar bahwa aku akan mencari pertolongan yang sama jika hal itu terjadi padaku.

Dibutuhkan waktu dua tahun bagi Li Hungchang untuk menyelesaikan persetujuan dengan Perdana Menteri Jepang, Ito Hirobumi. Li meyakinkanku bahwa persetujuan itu bisa mencegah memanasnya situasi Korea, yang bisa berubah menjadi konfrontasi militer penuh antara Cina Jepang.

Aku berusaha keras melakukan apa yang kubisa agar draft persetujuan Li mendapatkan keabsahan. Penasihat Klan Manchu sangat membenci Li Hungchang secara pribadi dan melakukan apa pun untuk merintangi upayanya. Pangeran Ch'un dan Pangeran Ts'eng mengatakan bahwa hidupku yang begitu lama dihabiskan di Kota Terlarang telah menyesatkanku akan kenyataan, dan bahwa kepercayaanku pada Li Hungchang salah besar. Akan tetapi, naluriku mengatakan bahwa aku akan berakhir dengan masalah yang sama seperti Ratu Min jika aku menyandarkan kepercayaanku pada anggota kerajaan Manchu, bukannya Li Hungchang.

Sebagai hasil dukunganku, Konvensi LiIto ditandatangani. Cina dan Jepang menjaga kedamaian untuk sementara. Orangorang Manchu menghentikan kampanye mereka atas pemenggalan Li Hungchang.

Akan tetapi, pada Maret 1893, Li meminta diadakan audiensi darurat denganku di Istana Musim Panas. Aku sudah bangun sebelum fajar untuk menyambutnya. Di taman luar, udara begitu kering dan dingin, tetapi bunga-bunga camelia bermekaran. Kusuguhi Li teh hijau panas, mengingat dia telah menempuh perjalanan sepanjang malam.

“Yang Mulia.” Suara Li Hungchang terdengar tegang. “Bagaimana keadaanmu?”

Aku merasakan kegelisahan dan memintanya untuk langsung ke pokok permasalahan.

Dia membenturkan keningnya ke lantai sebelum mengeluarkan katakatanya. “Ratu Min telah disingkirkan, Yang Mulia, “

Aku terkejut. “Bagaimana ... bagaimana itu bisa terjadi?”

“Aku belum mendapatkan semua informasinya.” Li Hungchang bangkit. “Aku hanya tahu bahwa menteri-menteri Paduka Ratu telah dibunuh secara keji. Dan persis pada saat ini, orangorang radikal Korea sedang melancarkan kudeta.”

“Apakah Jepang punya andil dalam hal ini?”

“Benar, Yang Mulia. Agen rahasia Jepang menyelundup ke dalam istana Ratu Min dengan menyamar sebagai pengawal keamanan Korea.”

Li Hungchang meyakinkanku bahwa tak ada yang bisa kulakukan untuk menolong Ratu Min. Bahkan jika kami menyiapkan misi penyelamatan, kami tak tahu di mana Ratu ditahan atau bahkan jika dia masih hidup. Jepang sudah bertekad untuk menelan Korea. Konspirasi ini telah dipersiapkan selama sepuluh tahun. Selama ini, Cina dan Jepang saling bergantian dalam menyokong golongangolongan bertikai di Seoul.

“Aku khawatir Cina sendiri tak tagi dapat menghentikan agresi militer Jepang,” ujar Li.


Mingguminggu berikutnya penuh dengan ketegangan. Harihariku sangat melelahkan, sementara malammalamnya kulalui tanpa tidur. Terlalu letih, aku berusaha mengalihkan kekhawatiranku pada saat itu dengan kembali ke sesuatu yang lebih menenangkan, memutar ulang kenangan awal dari kota asalku di Wuhu.

Sembari menatap langitlangit naga emas di atas ranjangku, aku mengingat saat terakhirku bersama sahabatku Belalang. Dia sedang menendang debu dengan kakinya yang sekurus dahan bambu.

“Aku tak pernah pergi ke Hefei,” ujarnya. “Apa kau pernah, Anggrek?”

“Tidak,” jawabku. “Ayahku bilang tempatnya lebih besar daripada Wuhu.”

Mata Belalang berbinar. “Aku mungkin akan beruntung di sana.” Dia menyingkap bajunya untuk memperlihatkan perutnya. “Aku bosan makan batu.”

Perutnya besar , seperti panci masak.

“Aku tak bisa buang air besar,” ujarnya.

Aku merasa sangat bersalah. Sebagai anak gubernur setempat, aku tak pernah mengenal lapar.

“Aku akan mati, Anggrek.” Nada suara Belalang datar. “Aku akan disantap oleh orangorang yang memenuhi meja makan. Apa kau akan merindukanku?”

Sebelum aku bisa menjawab, dia melanjutkan. “Adik lakilakiku meninggal semalam. Orangtuaku menjual mayatnya tadi pagi. Aku penasaran keluarga mana yang sedang memakannya.”

Tibatiba tungkaiku melemah dan aku terjatuh.

“Aku akan pergi ke Hefei, Anggrek.“

Hal terakhir yang kuingat adalah Belalang mengucapkan terima kasihnya padaku atas kotoran yang didapatkannya dari lubang tinja keluargaku.

Pohonpohon raksasa yang mengelilingi istanaku menimbulkan suara desir ombak. Aku berbaring di kegelapan, masih tak bisa tidur. Meninggalkan masa lalu, aku kembali terlontar ke masa kini dan memikirkan Li Hung-chang, lelaki dari Hefei. Hefei, bahkan, merupakan nama panggilannya. Kurasa, dia juga tahu bencana kelaparan yang menimpa para petani, dan hal itu mungkin yang memengaruhi terjalinnya kesepahaman di antara kami dan munculnya ambisi untuk membawa perubahan di pemerintahan. Hal itu telah menyatukan kami. Aku memandang dengan penuh harap, sekaligus menyimpan ketakutan akan audiensiaudiensi yang diadakan dengan Li. Aku tak tahu kabar buruk apa lagi yang akan dia bawakan untukku. Satusatunya hal yang pasti hanyalah bahwa kabar buruk itu akan datang.

Li Hungchang adalah lelaki yang penuh kesopanan dan elegan. Dia memberiku hadiahhadiah, baik yanp eksotis maupun yang praktis; sekali waktu, dia memberiku kacamata baca. Setiap hadiah itu datang dengan sebuah cerita, tentang tempat dibuatnya atau pengaruh kebudayaan di balik desainnya. Tak sulit untuk mengerti mengapa dia begitu terkenal. Selain Pangeran Kung, Li satusatunya pegawai pemerintah yang dipercayai orangorang asing.

Aku masih belum bisa tidur. Aku memiliki perasaan bahwa Li Hungchang sedang berjalan menuju kemari lagi. Kubayangkan keretanya berderak melalui jalanjalan gelap Peking. Gerbang Kota Terlarang membuka untuknya, satu demi satu. Bisikan para penjaga. Li diantar melewati bermilmil jalur masuk, melewati koridor balairung dan tamantaman, kemudian memasuki bagian dalam istana.

Kudengar bunyi bel kuil berdentang empat kali. Pikiranku jernih tapi aku sangat letih, dan pipiku serasa terbakar, sementara kedua kakitanganku dingin. Aku duduk, dan kukenakan baju luarku. Kudengar suara langkah kaki, mengenali bunyi seretan sol sepatu tipis, dan mengetahui itu kasimku. Dalam keremangan cahaya bulan, Li Lienying masuk. Dia mengangkat tiraiku dengan lilin di tangan kanannya. “Tuan Putri,” panggilnya.

“Apakah itu Li Hungchang?” tanyaku.


Li berlutut di depanku, mengenakan topi berbulu merak bermatadua kesayangannya dan seragam panglima tinggi berbahan sutra kuning. Aku takut pada apa yang akan dikatakannya. Rasanya belum lama semenjak dia membawakanku kabar buruk tentang Ratu Korea Min.

Dia tetap berlutut sampai aku memintanya bicara.

“Cina dan Jepang sedang bertempur,” adalah yang dia katakan padaku.

Meski sudah bisa kuduga, aku masih saja terkejut.

Selama beberapa hari terakhir ini, Kaisar telah memerintahkan pada pasukan, di bawah komando Yung Lu, untuk bergerak ke Utara demi membantu Korea menahan laju revolusi. Dekrit Guanghsu berbunyi, “Jepang telah mengirim tentaranya ke Korea, berusaha memadamkan apa yang mereka sebut dengan api, yang sesungguhnya mereka nyalakan sendiri.”

Aku tak terlalu memercayai kekuatan militer kami. Dewan Istana tidaklah salah saat menyebut aku sebagai orang “yang digigit oleh ular sepuluh tahun lalu, dan sejak itu jadi takut dengan seutas tali tambang.”

Aku kehilangan suamiku dan nyaris hidupku sendiri pada masa Perang Opium 1860. Jika Inggris dan sekutunya lebih superior daripada kami pada masa itu, tak bisa kubayangkan bagaimana kekuatan mereka sekarang, lebih dari tiga puluh tahun semenjak itu. Kemungkinan aku tak akan bertahan hidup, begitu nyata bagiku. Semenjak kepulangannya dari Sinkiang, Yung Lu telah bekerja diam-diam dengan Li Hungchang untuk memperkuat kekuatan militer kami, tetapi aku tahu mereka sudah tertinggal jauh. Pikiranku melayang ke Yung Lu dan pasukannya yang kini sedang melaju ke Utara.

Li berupaya mencuri waktu untuk menyertakan upaya gabungan dari Inggris, Rusia, dan Jerman, yang setelah permohonannya berkalikali untuk mendapatkan dukungan, telah menyetujui untuk membujuk Jepang “memadamkan api peperangan”.

“Baginda Yang Mulia Kaisar Guanghsu meyakini bahwa dia harus mengambil tindakan,” ujar Li. “Pihak Jepang telah menembakkan dua meriam dan torpedo, menenggelamkan kapal militer Kowshing, yang sedang berlayar keluar dari Pelabuhan Arthur dengan para pasukan kita di dalamnya. Mereka yang tak tenggelam ditembaki dengan senapan mesin. Aku paham akan kemarahan Yang Mulia, tetapi kita tak bisa mengambil tindakan atas dasar emosi.”

“Apa yang kauharap kulakukan, Li Hungchang?”

“Tolong mintakan pada Kaisar agar bersabar karena aku tengah menantikan sikap dari Inggris, Rusia, dan Jerman untuk menanggapi. Aku khawatir setiap tindakan yang salah di pihak kita akan mengakibatkan hilangnya dukungan internasional.”

Kupanggil Li Lienying.

“Ya, Tuan Putri.”

“Kereta, ke Kota Terlarang!”


Li Hungchang dan aku tak mengira bahwa Jepang telah menerima janji dari Inggris untuk tak turut campur dan bahwa Rusia pun mengikuti dengan tindakan serupa. Kami telah melukai bibir kami, berusaha keras membujuk Guanghsu yang terbakar amarah untuk memberi lebih banyak waktu sebelum mengeluarkan dekrit perang.

Selagi mingguminggu berlalu, Jepang menjadi lebih agresif. Sikap menunggu Cina tak tampak membuahkan hasil. Aku dituduh membiarkan Li Hungchang menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga untuk menyiapkan pertahanan yang kuat. Aku terus memercayai Li, tetapi kusadari juga bahwa aku harus memberi perhatian pada golongan pendukungperang—Partai Perang—yang kini dipimpin oleh Kaisar Guanghsu sendiri.

Sekali lagi, aku kembali ke istana lamaku di Kota Terlarang. Aku harus menghadiri audiensiaudiensi yang diadakan dan hadir untuk Kaisar. Walaupun aku memuji TopiBesi atas sikap patriotik mereka, aku enggan memberi dukungan penuh karena aku ingat tiga puluh tahun lalu mereka meyakini dapat mengalahkan Inggris.

Mereka yang menolak perang, Partai Damai, yang dipimpin oleh Li Hungchang, khawatir aku akan menarik dukunganku.

“Jepang telah mencontoh budaya Barat dan telah tumbuh lebih maju,” Li berusaha meyakinkan Dewan Istana. “Hukum Internasional harus bertindak sebagai pemutus terhadap setiap tindak kekerasan yang disengaja.” “Hanya orang idiotlah yang memercayai serigala akan berhenti memangsa domba!” Guru Weng, yang kini menjabat sebagai Penasihat Perang, berbicara di tengah gemuruh sorakan. “Dari kekuatan jumlahnya saja, Cina dapat dan akan mengalahkan Jepang!”

Butuh waktu lama buatku untuk memahami karakter Guru Weng. Di satu sisi, dia mendorong Guanghsu untuk menjadikan Cina mencontoh Jepang, tetapi di sisi lain, dia membenci kebudayaan Jepang. Dia merasa superior terhadap orangorang Jepang dan memercayai bahwa “Cina seharusnya mendidik Jepang, sebagaimana yang telah dilakukan sepanjang sejarahnya.” Dia juga meyakini bahwa Jepang “berutang pada Cina atas bahasa, seni, agama, bahkan modenya.” Yun Lu menyebut Guru Weng sebagai  seorang yang pandai memimpin tentara di atas secarik kertas.” Yang lebih parahnya, cendekiawan itu mengatakan pada rakyatnya bahwa program reformasi Cina akan seperti “menaruh setangkai bambu di bawah matahari bayangbayangnya akan langsung muncul.”

Meskipun dia tak pernah memimpin pemerintahan sebelumnya, Guru Weng sangat percaya diri akan kemampuannya. Pandanganpandangan liberalnya menginspirasi begitu banyak orang sehingga dia dikenal sebagai pahlawan nasional. Aku menemui kesulitan berkomunikasi dengannya karena dia menganjurkan perang, tetapi menghindar dari menghadapi keputusan menggunung yang diperlukan untuk menjalankannya. Dia menasihatiku untuk “memusatkan perhatian pada gambar di sulamannya, bukan pada jahitannya.” Membahas strategi merupakan kesenangannya. Dia mengajari Dewan Istana saat audiensi dan bisa berlanjut hingga berjamjam. Namun pada akhirnya, dia hanya akan tersenyum dan berkata, “Mari kita tinggalkan taktiknya bagi para jenderal dan perwira.”

Para jenderal dan perwira di medan tempur dibingungkan oleh instruksi Guru Weng. “'Kita adalah sebagaimana yang diri kita sendiri yakini’ bukanlah saran yang bisa kita berikan untuk anak buah kita ikuti,” mereka mengeluhkan. Yung Lu, dalam surat pribadi yang dilayangkannya dari medan tempur, merasa begitu kesal dengan Weng. Namun, tanganku terikat.

“Memahami moral di balik pertempuran akan membuat kita memenangi pertempuran itu,” sang Guru Utama membalas. “Tak ada instruksi yang lebih baik selain ajaran Konfusius: 'Manusia bijak tak akan menjalani hidup dengan mengorbankan kemanusiaan.”'

Ketika kusarankan agar dia setidaknya mendengarkan Li Hungchang, Guru Weng hanya berkata, “Jika kita gagal bertindak dalam waktu yang tepat, Jepang akan memasuki Peking dan membakar habis Kota Terlarang, sama seperti ketika Inggris membakar Yuan Ming Yuan.“

Ayah Kaisar, Pangeran Ch'un, membeo, “Tak ada pengkhianatan yang lebih buruk selain melupakan apa yang sudah diperbuat bangsa asing itu pada kita.”


Kutinggalkan Guru Weng sendiri, tetapi mendesak agar segera mendirikan Biro Angkatan Laut untuk perang yang baru dibawah kendali Pangeran Ch'un, Pangeran Ts'eng, dan Li Hungchang. Enam tahun sebelumnya, Li mengontak perusahaan asing untuk membangun pelabuhan-pelabuhan pertahanan, termasuk markas utama Pelabuhan Arthur di Manchuria dan Weihaiwei di Semenanjung Yiantung. Kapalkapal dibeli dari Inggris dan Jerman. Sekarang ini, kami memiliki dua puluh lima kapal perang. Tak ada satu orang pun yang mau mendengarkan saat Li Hung-chang, “Angkatan Laut jauh dari siap untuk berperang. Akademi Angkatan Laut baru selesai menyusun draft kurikulumnya dan mengangkat instrukturnya. Generasi pertama dari perwira muridnya baru mengikuti pelatihan.“

“Persenjataan Cina sudah lengkap!” Pangeran Ch'un meyakinkan dirinya sendiri. “Yang kita butuhkan sekarang hanyalah menempatkan orangorang kita untuk maju berperang.”

Li Hungchang memperingatkan, “Kapal perang modern tak akan ada gunanya jika berada di tangan yang salah.”

Aku tak dapat menghentikan Dewan Istana yang meneriakkan sloganslogan patriotik untuk menanggapi Li.

Kaisar Guanghsu mengatakan bahwa dia sudah siap berperang: “Aku sudah menunggu cukup lama.”

Aku berdoa agar anakku akan melakukan apa yang telah dilakukan oleh para leluhurnya, mengambil kendali, dan mengusir musuhmusuhnya. Namun, jauh dalam lubuk hatiku, rasa takut menyelusup. Dari semua kualitas yang baik dari diri Guanghsu, aku tahu dia tak mampu memegang peran kepemimpinan. Guanghsu telah berusaha keras, tetapi dia kekurangan strategi dinamis dan rasa kejam yang diperlukan. Sebuah rahasia yang kusimpan dari publik adalah masalah kesehatan dan emosi Guang-hsu. Aku hanya tak bisa melihatnya mengendalikan watak pemarah saudaratirinya, pemimpin TopiBesi. Dan aku juga tak mampu melihatnya mengendalikan Penasihat Klan Manchu. Aku berharap Guanghsu akan mengatakan bahwa aku salah, bahwa di balik semua kekurangannya, dia akan beruntung dan memenangi pertarungan.

Aku menyesali diriku sendiri yang tak berhasil mengakhiri ketergantungan Guanghsu. Dia terusmenerus mencari dukungan dan persetujuanku. Aku tetap diam saat seluruh Penasihat Klan menyarankan agar aku meneruskan tugas pengawasan harian negara. Aku mencoba memancing anakku. Aku ingin dia menantangku, dan aku ingin melihatnya meledak dalam amarah. Aku memberinya kesempatan untuk bangkit dan bicara atas namanya sendiri. Kukatakan padanya bahwa dia bisa saja menentang para penasihat jika dia merasa semestinya dialah yang memegang kendali kekuasaan. Itulah kasus yang terjadi pada para Kaisar paling sukses di dinasti, seperti Kang Hsi, Yung Cheng, dan kakek buyutnya, Chien Lung.

Namun, hal itu tak terjadi. Guanghsu terlalu perasa, terlalu lembut. Dia akan meragukan dirinya, jatuh dalam konflik dengan dirinya sendiri dan pada akhirnya, menyerah.

Mungkin aku sudah bisa merasakan tragedi Guang-hsu. Aku mulai merasakan derita atas rasa takutnya. Aku merasa telah gagal terhadapnya. Aku jadi begitu marah melihat saudaratiri dan sepupunya, Pangeran Ch'un Junior dan Pangeran Ts'eng Junior, yang mengambil keuntungan dari dirinya. Mereka berbicara dengan Guanghsu seolah dia lebih rendah daripada mereka. Bosan mendengarkan diriku sendiri, aku terusmenerus menyuruh anakku untuk bersikap layaknya seorang Kaisar.

Aku pasti telah membuat Guanghsu bingung. Jika memandang ke belakang, aku bisa melihat bahwa sang Kaisar sebenarnya telah bersikap sesuai dengan diri sejatinya. Akulah yang menuntutnya menjadi seseorang yang lain. Dia sangat ingin melihatku bahagia.


Aku kembali ke Istana Musim Panas, lelah oleh percekcokan yang tak kunjung selesai antara Partai Perang dan Partai Damai. Beban untuk menengahi diletakkan di pundakku, bukan karena aku memilki kemampuan yang lebih, melainkan karena tak ada orang lain yang bisa melakukannya dengan lebih baik.

Di balik sepengetahuanku, dan di tengah berlarutnya krisis nasional, Pangeran Ch'un mengambil alih dana yang dipinjam oleh Li Hungchang untuk Akademi Angkatan Laut. Ch'un membangun kapal motor untuk hiburan kalangan Kerajaan di IstanaIstana Sungai di Peking dan di Sungai Kun Ming, dekat tempat tinggalku.

Nantinya, Li Hungchang akan mengakui, “Ayah Kaisar memiliki posisi yang memungkinkannya untuk menuntut uang dariku kapan pun. Aku menuruti keinginannya sebagai ganti agar dia tak ikut campur dengan urusan-urusan bisnisku. “

Dana dari Angkatan Laut lainnya digunakan oleh Pangeran Ch'un dan Pangeran Ts'eng untuk membanjiriku dengan hadiahhadiah, menjamin limpahan dan proyek-proyek tak penting untuk memenangi dukunganku. Perbaikan Perahu Pualam merupakan contohnya.

Dengan marah, kudatangi Pangeran Ch'un: “Kesenangan macam apa yang bisa diberikan perahu mahal sialan itu untukku?”

“Kami kira Yang Mulia akan senang berjalan di air tanpa harus membasahi sepatu,” saudara iparku berkata. Dia kemudian menjelaskan bahwa Perahu Pualam itu asalnya dibuat oleh Kaisar Chien Lung untuk ibunya, yang takut pada air.

“Tetapi aku senang dengan air!” teriakku. “Aku akan berenang di sungai jika saja diizinkan!”

Pangeran Ch'un berjanji untuk menghentikan proyek itu, tetapi dia berbohong. Susah baginya untuk menghentikannya—dia telah memanfaatkan sebagian besar dananya, dan dia memerlukan alasan yang berkelanjutan untuk mendesak Li agar mencairkan uang tambahan.

Li Hungchang akhirnya mengelak dari Pangeran Ch'un. Alihalih pergi ke bank asing untuk memperoleh pinjaman, Li meluncurkan “Pengumpulan Dana Pertahanan Angkatan Laut”. Dia tak berusaha menutupi kenyataan bahwa uang yang terkumpul pada akhirnya akan dimanfaatkan untuk “pesta ulang tahun keenam puluh janda Kaisar”. Li bermaksud membalas Pangeran Ch'un dengan menjatuhkannya, tetapi namaku digunakan seolah sebagai komplotannya. Li Hungchang pasti berpikiran bahwa aku patut mendapatkan perlakuan itu karena akulah yang bertanggung jawab menyuruhnya bekerja sama dengan Pangeran Ch'un pada awalnya.


Guanghsu mengumumkan perang dengan Jepang, tetapi dia memiliki sedikit keyakinan untuk memimpinnya. Dia bergantung pada Guru Weng, yang mengenal peperangan hanya lewat buku. Aku baru mulai mengetahui terganggunya dia sebagai seorang lelaki. Lan memberi tahuku bahwa suaminya seorang yang berhati lembut, tetapi takut terhadap wanita.

“Kami telah menikah selama lima tahun, “ Bibir Lan bergetar dan dia meledak dalam tangis. “Kami hanya tidur bersama sekali dan sekarang dia ingin berpisah.”

Aku berjanji untuk membantunya. Hasilnya adalah pasangan itu melanjutkan hidup bersama di satu kompleks. Yang membuatku sedih adalah mengetahui Guanghsu membangun tembok yang mengelilingi tempat tinggalnya untuk mencegah Lan masuk.

Ketika aku berbicara dengan Guanghsu, dia menjelaskan bahwa sikapnya meninggalkan Lan adalah bentuk pertahanandiri. “Dia mengatakan padaku bahwa aku berutang anak padanya.”

Dia menjelaskan gangguan Lan pada tengah malam.

“Dia menakutnakuti kasimku yang mengira bayangannya sebagai seorang pembunuh.”

Ketika aku berusaha menerangkan padanya bahwa Lan memiliki haknya sebagai istri, Guanghsu berkata bahwa dia merasa tidak bisa melakukan tugasnya sebagai seorang suami.

“Aku belum disembuhkan,” ujarnya, dengan maksud pada masalah ejakulasi dininya. “Aku merasa tak akan pernah sembuh.”

Guanghsu dengan berani pernah mengernukakan kondisinya padaku sebelumnya, tetapi aku berharap segala sesuatunya akan membaik seiring bertumbuhnya perasaan cintanya.

Aku tak bisa menghindar dari merasakan bahwa aku telah menciptakan satu tragedi. Yang membuatku merasa lebih buruk adalah mengetahui bahwa Lan meyakini aku bisa memaksa Guanghsu untuk mencintainya.


Pada siang hari, Guanghsu dan aku akan mengadakan audiensi mengurusi masalah perang melawan Jepang; pada malam harinya, kami membenamkan diri dalam dokumen-dokumen dan rancangan dekrit. Satusatunya kesempatan bagi kami untuk bisa beristirahat lebih adalah pada saat rehat larut malam. Aku berusaha berbicara ringan mengenai Lan, tetapi Guanghsu mengetahui niatku.

“Aku yakin Lan tak sepantasnya mendapatkanku,” Guanghsu berkata. Penyesalan di matanya begitu tulus. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa memberikan keturunan dan berkata bahwa terkadang dia merasa begitu lemah dan letih. “Aku tak meminta Ibu untuk memaafkanku.” Dia berusaha menahan air matanya. “Aku telah mengecewakan lbu...“ Dia mulai menangis. “Sebagai lelaki Kerajaan, aku benarbenar malu. Tak lama, seluruh dunia akan tahu.”

“Kondisimu akan tetap jadi rahasia sampai kita temukan obatnya.” Aku berusaha menenangkan dirinya, tetapi kini kusadari bahwa selain tak bahagia, dia mungkin sungguhsungguh sakit.

“Bagaimana dengan Lan?” Guanghsu mengangkat matanya yang berkacakaca. “Aku takut suatu saat dia akan menyerangku secara publik.”

“Biarkan aku yang mengurusinya.”

Lan menolak menerima penjelasanku akan kondisi kesehatan Guanghsu. Dengan keras kepala, dia meyakini bahwa suaminya sengaja menolak dirinya. “Dia tak tertarik denganku, tetapi dia begitu bersemangat saat bersama dengan selirselirnya, terutama Mutiara.“

Aku memastikan agar Lan tak akan membiarkan rasa frustrasi menguasai dirinya. “Kita adalah wanitawanita bertopeng,” kukatakan padanya. “Menyelubungi diri kita sendiri dengan kemuliaan agung dan pengorbanan merupakan takdir kita.”

Aku senang Guanghsu mengizinkanku membawakan tabib untuk memeriksanya, dan dia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang paling pribadi. Dia telah menanggung begitu banyak kepedihan dan rasa malu. Kukagumi kemampuannya menakhlukkan penderitaan pribadinya.

Hasil diagnosis pun dikeluarkan, dan hal itu meresahkan hatiku: Guang-hsu memiliki masalah dengan paru-parunya. Dia telah terjangkit bronkitis dan rentan terhadap tubercolosis. Bayangan Tung Chih terbaring di tempat tidurnya kembali mendatangiku. Kurangkul Guang-hsu, dan menangis.





25



KOTA PEKING KEHABISAN kayu bakar pada Tahun Baru 1894. Kayu yang kami peroleh berwarna hijau lembab dann menghasilkan asap tebal. Kami terbatuk-batuk saat menyelenggarakan audiensi. Menteri Urusan Interior dipanggil dan dimintai keterangan. Dia terus meminta maaf dan menjanjikan kayu yang diangkut berikutnya akan bebas asap. Menurut Yung Lu, bagian utara jalur kereta api yang bertanggungjawab mengangkuti kayu-kayu telah dihancurkan oleh petani-petani pemberontak yang putus asa. Jalur itu dialihkan dan gelondongan kayunya dijual untuk pembakaran. Pasukan yang dikirim Yung Lu tak dapat mengatasi masalah itu dengan cepat.

Pada awal Tahun Baru, sebuah pesan penting membangunkanku: Pangelan C’hun telah meninggal. “Ayah Kaisar mengalami stroke saat sedang menginspeksi instalasi Angkatan Laut,” adalah bunyi pesan itu.

Tabib Sun Pao-tien mengetikan bahwaa keletihanlah yang telah menyebabkan kematian Pangeran C’hun. Pangeran itu begitu bertekad untuk menunjukkan kesiapannya meluncurkan serangan balasan terhadap Jepang. Dia telah mengkritik saudaranya, Pangeran Kung dan Raja Muda Li Hungchang. Dia membanggakan kemampuannya untuk merampungkan pekerjaannya, “seperti cara orang Mongol bermain lompattali tanpa mengeluarkan keringat.“

Pangeran Ch'un tak akan berkonsultasi dengan Kung ataupun Li. Dia tak akan “mengambil sebongkah batu dan mematahkan jempol kakinya sendiri dengannya”—dia menolak “menghina” dirinya sendiri. Aku sudah melihat sikap menghancurkandiri sendiri yang sama dari anggota keluarga kerajaan lainnya. Pangeran Ch'un mungkin telah menutupi rumahnya dengan tulisantulisan kaligrafi yang menekankan prinsip akan pencarian hidup yang bersahaja, tetapi kekuasaan berarti segalagalanya buatnya.

Aku ingat, merasa cemas melihat bibir Pangeran Ch'un yang berubah warna. Dia meyakini bahwa kepalanya yang pusing pada pagi hari hanya akibat dari terlalu banyak minum arak malam harinya. Dia terusterusan mengadakan perjamuan, meyakini bahwa perbincangan ringan dan transaksi pribadi merupakan cara untuk mewujudkan keinginannya.

Guanghsu sangat terpukul. Dia jauh lebih dekat dengan ayahnya dibandingkan dengan ibunya, tentu saja. Berlutut di antara pamanpamannya, dia tak sanggup menyelesaikan pengumuman kematiannya pada audiensi pagi hari.

Nantinya, saat resepsi sebelum pemakaman dilangsungkan, saudariku membuat ulah dengan menuntut agar anak bungsunya, Pangeran Ch'un Junior, diberikan posisi ayahnya.

Ketika kutolak permintaannya, Rong beralih pada Guanghsu dan berkata, “Mari kita dengarkan apa yang akan dikatakan oleh Kaisar.”

Guanghsu menatap kosong pada ibunya, seolah tak mengerti dengan apa yang dikatakannya.

“Itu hak lahirku!” tuntut Pangeran Ch'un Junior. Dia berdiri di hadapan Guanghsu, tingginya lebih dari setengah kepala Guanghsu. Sebagai pemimpin dari generasi Manchu baru, Ch'un muda seorang lelaki yang tak memiliki baik kesopanan maupun kesabaran. Matanya merah dan napasnya berbau alkohol. Dia mengingatkanku pada banteng yang tengah siap bertarung.

“Disiplinkan anak bungsumu,“ ujarku pada saudariku.

“Guanghsu bukanlah apaapa selain sarung bantal sulam yang diisi dengan jerami,“ ujar Rong. “Ch'un Junior mestinya yang duduk menjadi Kaisar!”

Aku tak dapat memercayai sikap saudariku. Aku beralih memandangi Guanghsu, yang tampak begitu terganggu. Lalu aku mengangguk pada Li Lienying, yang kemudian berteriak, “Tandu untuk Baginda Kaisar dan Ratu yang Mulia sudah siap!”


Dalam perjalanan,pulang menuju istana, kusadari bahwa aku telah melihat keruntuhan dari seluruh kelas Kerajaan. Tak terpikirkan oleh Pangeran Ch'un muda bahwa dia bisa saja gagal seperti ayahnya.

Rong dan aku telah tumbuh begitu jauh, hingga pertemuan dengannya selalu berlangsung sulit. Hal yang mengkhawatirkanku adalah menyadari bahwa Pangeran Ch'un Junior bisa menjadi pengganti Kaisar jika sesuatu terjadi pada Guanghsu. Ch'un junior memiliki fisik yang pantas, tetapi tidak secara pikiran. Meskipun aku telah mendorong anakanak muda Manchu untuk mengikuti jejak para leluhur mereka dan telah menganugerahi mereka dengan promosi, aku begitu kecewa dengan keponakanku. Kudesak agar dia mau bekerja sambil mencari pengalaman di bawah pengawasan Pangeran Kung atau Li Hungchang. Karena anak itu menolak untuk mengikuti instruksi Li, posisinya di Dewan Istana tetap tak dianggap penting.

Selama beberapa minggu ke depan, sementara Guang-hsu mengadakan audiensi, aku duduk pada salah satu kursi kerajaan atau yang lain, menerima para tamu yang datang berkabung atas Pangeran Ch'un. Diiringi oleh bunyi genderang, musik yang keras, dan lantunan rapalan doa para biksu Tibet, aku melakukan beberapa ritual dan memberikan persetujuanku atas beragamnya permintaan menyangkut acara pemakaman Pangeran: jumlah jamuan dan tamu yang diundang, jenis dan wangi lilinnya, warna kain pembungkus jenazahnya, dan ukiran pada kancingkancing hiasan jenazahnya. Tak ada yang tampaknya peduli pada perang yang masih berkecamuk. Jumlah rakyat yang tewas tiap harinya dari medan tempur tampaknya tak mengganggu Ch'un Junior atau temanteman TopiBesinya. Mereka minumminum hingga mabuk dan bertengkar memperebutkan pelacur.

Aku merasa semakin pesimis. Pandangan suramku akan masa depan membuat perutku mual.

“Itu karena kau tak meminum sup kalajengkingnya, Tuan Putri,” ujar Li Lienying.

Kukatakan padanya, “Kau tampak seperti memiliki topeng dengan senyum terjahit di wajahmu.”

Li Lienying tak mengacuhkanku dan melanjutkan nasihatnya. “Teori di balik sup kalajengking ini adalah bahwa dibutuhkan racun untuk melawan racun.”


Pada 17 September 1894, di mulut Sungai Yalu, pihak Jepang menghancurkan setengah dari kekuatan kapal laut kami pada suatu sore, dan tak ada satu pun kapal mereka yang rusak parah. Pantai sekarang telah aman dan Jepang dapat mendaratkan pasukannya dan bergerak menuju Peking.

Pada 16 November, Li Hungchang melaporkan bahwa putra Pangeran Manchu, yang dengan mereka dia terpaksa melakukan bisnis, telah mengambil keuntungan dari perang dengan menyediakan amunisi berkualitas buruk bagi pasukan kami. Hanya sebulan sebelum pertempuran, Pelabuhan Arthur telah direbut. Daripada menyerah, para Komandan Lapangan yang ditugasi Li Hungchang malah memimpin pasukannya untuk melakukan aksi bunuh diri.

Berkat mendiang Pangeran Ch'un, yang telah memalsukan laporan dari lapangan kemudian hanya memberikan kabar yang baik padaku, dengan bodohnya aku merasa cukup aman untuk mulai menyiapkan pesta ulang tahunku yang keenam puluh. Berpikir bahwa itu akan jadi momen untuk merayakan pengunduran diriku, aku telah berencana menggunakan kesempatan itu untuk berkenalan dengan istriistri para duta besar asing. Aku belum pernah bisa mengundang mereka hingga saat ini ketika aku tak lagi memangku jabatan resmi. Dalam pandangan Dewan Istana, harga diri Cina tak akan terlalu dicederai. Para duta besar asing tampaknya juga merasakan kenyamanan yang sama. Tak memangku jabatan sama artinya bahwa aku tak perlu disikapi terlampau serius.

Mungkin aku memang tak pernah disikapi dengan serius, baik saat memegang kekuasaan ataupun tidak. Harga diri apa lagi yang masih tersisa bagi Cina untuk dicederai? Selama aku bebas untuk membantu putraku, aku tak peduli dengan apa yang dipikirkan orangorang. Jika dengan mundur berarti aku akan memiliki banyak peluang untuk berteman dengan orangorang yang dapat membantu negara, aku tidak hanya akan menerimanya, tetapi juga akan menikmatinya.

Namun yang terjadi, agresi Jepang yang berkelanjutan memaksaku untuk membatalkan seluruh renacanaku. Hal ini mengecewakan banyak bangsawan dan pejabat yang sudah mengharapkan pemberian limpahan buah tangan. Kulanjutkan perananku sebagai penengah Kerajaan dan terkejut saat menyadari bahwa aku telah menjadi target Dewan Istana—dituduh membangkrutkan negara. Aku baru mengetahui bahwa selama periode singkatku lepas dari jabatan, Guru Weng menyalahgunakan kekayaan Kerajaan yang sudah genting. Ketika ditanyakan akan tanggung jawabnya, dia mengaku bahwa semua dana telah dihabiskan oleh mendiang Pangeran Ch'un untuk restorasi Istana Musim Panas—tempat tinggalku.

Kudesak agar Dewan Istana memeriksa semua buku dan catatan Guru Weng sebagai bukti, tetapi tak ada tindakan yang diambil. Hal yang tak kusadari adalah bahwa Guru Weng, yang selama ini tak pernah menerima sedikit kekayaan untuk dirinya pribadi, telah mengembungkan begitu banyak kantong hingga dia mampu menciptakan jaringan pendukung yang luas—kekayaan yang jauh lebih besar daripada yang bisa dibeli oleh uang. Mengabaikan kesalahan Guru Weng, negara mulai menyalahkanku atas kekalahan mereka. Rumor tentang gaya hidup mewahku, termasuk nafsu berahiku, menyebar dengan cepat.

Aku telah memercayai Guru Weng bagi kedua putraku. Jika saja dia mau mengakui kesalahannya, aku akan bersedia menanggung sebagian tanggung jawab. Lagi pula, padakulah, Dewan Istana dan Kaisar akan meminta persetujuan akhir.

Sementara rumor terus berlanjut, konflik antara Guru Weng dan aku mulai diketahui publik. Kuingatkan diri sendiri untuk tak kehilangan perspektif, tetapi aku sudah bertekad untuk melanjutkan pemeriksaan pada Weng.

Guanghsu tak bisa memihak. Baginya, Guru Weng selalu menjadi kompas moralnya, dewa pribadinya. Guanghsu merasa frustrasi karena aku menolak untuk mengubah pikiran mengenai proses penyidikan gurunya.

Untuk membuktikan bahwa Guru Weng tak bersalah, Guanghsu memutuskan untuk mengadakan penyidikannya sendiri. Semua orang terkejut saat Guru Weng akhirnya terbukti bersalah. Ilmuwan Konfusius itu, bersama dengan mendiang Pangeran Ch'un, tidak hanya telah salah menggunakan dana Angkatan Laut, tetapi juga telah memanfaatkan momen ulang tahunku untuk meminta uang dalam jumlah banyak, yang akhirnya raib begitu saja. Setelah Guanghsu memperoleh semua laporan keuangan dan bukti materi lainnya, dia mendatangiku untuk meminta maaf. Kukatakan padanya bahwa aku bangga dengan kejujurannya.

Kuputuskan untuk mengumumkan bahwa aku tak akan menerima hadiah untuk hari ulang tahunku. Tindakanku membongkar kecurangan Guru Weng: orangorang berkerumun dari sepenjuru negeri, seperti nyamuk mengerubungi darah, berusaha mendapatkan uang mereka kembali.

Kaisar Guanghsu mendatangi gurunya. “Kau adalah orang yang kupercaya dan pilar spiritualku yang kukuh!” ujarnya, menuntut penjelasan. Guru Weng tak mengakui kesalahannya. Dia lanjutkan sikap lelakibijaksananya, dan memperingatkan Guanghsu dari memiliki pikirantumpul akibat mendengarkan “seorang wanita tua” Pada akhirnya, guru utama itu dipecat. Dia diberi waktu seminggu untuk berbenah dan angkat kaki. Dia tak akan diperbolehkan untuk kembali memasuki Kota Terlarang.

Guanghsu merasa malu karena telah memilih Guru Weng sebagai Kepala Arsitek dalam peperangan melawan Jepang. Dia mengunci dirinya di ruangannya, sementara Guru Weng berlutut di luar, memohonmohon untuk diberi kesempatan menjelaskan. Saat upayanya tak juga berhasil, lelaki tua itu melakukan aksi mogok makan.

Kaisar akhirnya membuka pintunya dan kedua lelaki itu menghabiskan satu hari penuh untuk berdamai. Dan di ruang kelasnya, Guanghsu mendengarkan ketika Guru Weng membahas sumbersumber masalah yang mengakibatkan kegagalan perang. Kesimpulannya adalah bahwa Li Hungchanglah yang harus disalahkan.

Meskipun aku mengerti kepekaan Guanghsu, aku sangat membenci kelihaian guru itu mengalihkan pikiran Kaisar. Dalam pandanganku, tak ada yang bisa dijadikan alasan atas kesalahan Guru Weng. Dan ketika Weng membuat Li Hungchang sebagai kambing hitam, aku sudah kehilangan seluruh rasa hormatku padanya. Aku tak bermaksud menciptakan musuh dengan memihak Li secara terbuka, tetapi aku melihat pentingnya mengemukakan pendapatku pada Kaisar.

Dalam sikap diamku terhadap tuntutan Dewan Istana untuk mengadilinya, Li Hungchang menantang Kaisar akan hak untuk mengadili para Pangeran Manchu yang telah menyediakan amunisi yang buruk. Li juga menuntut hak untuk memilih anggota komisinya sendiri pada masa mendatang.

Atas saran Guru Weng, Guanghsu memanggil Li Hungchang untuk dilakukan audit resmi. Para Pangeran Manchu diundang sebagai saksi.

Li datang dengan siap. Dokumentasinya yang terperinci tak hanya membantu kasusnya, tetapi juga mengundang banyak simpati dari negeri. Suratsurat dukungan berdatangan dari setiap gubernur provinsi. Tekanan pun menguat. Sebagian mulai mengkritik Guanghsu sendiri.

Kaisar yang frustrasi datang padaku meminta pertolongan. Dia merasa begitu malu dan terhina, dan dia merasa telah kehilangan rasa hormat dari rakyatnya. “Sudah jelas bahwa Li Hungchanglah yang sepantasnya menjadi pemimpin Cina,” Guanghsu mengeluh padaku.

Saatnya tiba ketika aku harus memilih antara Guang-hsu dan Li Hungchang. Aku sudah lama menantikan saat datangnya takdir ini, tetapi baru sekaranglah aku dapat melihat kedalaman tragedinya. Akal sehatku berkata bahwa Li Hungchang diperlukan bagi rakyat dan bahwa dia sendiri bisa memimpin Cina. Namun, Cina saat ini adalah Cinanya Manchu—aku harus melawan prinsipku sendiri demi menyelamatkan Guanghsu.

Setelah bermalammalam tak tidur menimbang pilihanku dan mengumpulkan keberanianku, aku mengambi tindakan yang tak masuk akal dan tak bisa dipahami: Aku tanda tangani dekrit menurunkan Li Hungchang. Lelaki itu ditelanjangi dari semua kehormatannya. Dia didakwa menyalahgunakan dana Angkatan Laut dan penyebab kekalahan perang.

Aku malu pada diriku sendiri.


Aku berpikir telah melakukan hal yang cukup bagi Guang-hsu, tetapi ini adalah pikiran yang siasia. Di bawah pengaruh pamannya, Pangeran Ts'eng; sepupunya, Pangeran Ts'eng Junior; dan saudaranya, Pangeran Ch'un Junior, Guanghsu yang mudah terpengaruh, dibujuk bahwa hukuman yang diterima oleh Li Hungchang belumlah setimpal—bahwa dia harus benarbenar dihabisi.

Ketika diminta menyetujui pemberian hukuman lanjutan bagi Li, aku tak dapat lagi menahan rasa marahku. Raut wajahku yang penuh amarah pasti telah menakuti Kaisar karena dia mulai tergagap dan jatuh berlutut.

Sebenarnya aku marah pada diriku sendiri. Aku telah membiarkan Guru Weng dan Pangeran Ch'un lepas dari tanggung jawabnya. Bagaimana mungkin ada orang Cina waras yang masih mau melayani pemimpin Manchunya, setelah rnelihat apa yang terjadi pada Li Hungchang?

Kuterangkan pada Guanghsu bahwa Li terlalu berharga untuk dihancurkan, tanpa melumpuhkan pemerintahan. “Dia bisa memukul balik dengan merebut kekuasaan sendiri! Itu akan semudah mengibaskan tangannya. Kau akan menemukanku sedang menonton opera di Istana Musim Panas saat itu terjadi!”

Keadaan di Istana terasa begitu sulit ditebak dan berbahaya. Tibatiba kusadari bahwa aku sendirian dan aku bisa saja disingkirkan oleh klanku sendiri. Yang perlu dilakukan hanya tinggal meyakinkan Guanghsu. Untuk melindungi diriku sendiri, aku berunding. Sebagai ganti mempertahankan kedudukan Li Hungchang di pemerintahan, termasuk kewenangannya di Chihli dan kepemimpinannya di Angkatan Bersenjata Utara dan Angkatan Laut Cina, kusarankan pada Dewan Istana untuk mengambil bulu burung merak bermatadua kesayangan Li dan seragam Panglima Tertinggi sutra kuningnya. “Itu akan membuat Li kehilangan harga dirinya. Akan tetapi, hukuman yang lebih dari itu merupakan tindakan yang gegabah dan berlebihan.”

Saat Pangeran Ts'eng menuduhku menghilangkan kesempatan langka bagi kaum Manchu untuk menjatuhkan Li, aku beranjak meninggalkan audiensi yang tengah berlangsung.


Aku dapat mendengar suara percikan anak sungai di balik taman istana di Kota Terlarang. Aku bangun sebelum fajar dan mengirim kasimku untuk memanggil Li Hungchang.

Li tiba saat fajar mengenakan jubah biru katun sederhana yang membuatnya tampak seperti orang lain.

“Kau sudah berbenah?” Kubuka percakapan, mengetahui bahwa dia akan segera meninggalkan Peking.

“Benar,” jawabnya. “Keretaku akan berangkat sejam lagi.“

“Ke mana kau akan pergi?” tanyaku. “Chihli? Hunan? Atau kota asalmu, Hefei?”

Tak mampu menjawab, Li jatuh berlutut.

Aku ingatkan dirinya bahwa etika hanya mengizinkan kami bertemu sebentar dan aku harus mengutarakan pikiranku.

Li mengangguk, tetapi bersikukuh untuk tetap berlutut.

Kubiarkan dirinya dan berkata, “Tolong mengerti betapa bencinya aku harus melakukan hal ini padamu. Meski tak ada alasan yang pantas, aku tak punya pilihan.” “Aku mengerti, Yang Mulia.” Suara Li terdengar tenang dan datar. “Kau melakukan apa yang akan dilakukan setiap Ibu.”

Air mataku tumpah dan aku mulai menangis.

“Jika bisa membantu Penguasa, aku merasa terhormat,” ucap Li.

“Tidakkah kau setidaknya bisa membiarkanku membantumu dalam perjalanan jauhmu ke Selatan?”

“Itu tak perlu, “ ujarnya. “Aku sudah memiliki cukup harta untuk keluargaku. Istriku tahu bahwa jika aku dituduh berkhianat dan terbukti bersalah, hidupku akan jadi tebusannya. Dia hanya ingin agar aku memastikan bahwa kehidupan anakanak kami tak akan terganggu.”

“Apakah masalahnya sudah diatasi?” Kuseka wajahku dengan saputangan.

“Ya, semuanya telah disiapkan.”

Kasimku datang dan mengumumkan pelan, “Yang Mulia, Kaisar sudah menunggu.”

“Baiklah.”

Li Hungchang bangkit. Dia mundur selangkah dan berlutut untuk melakukan kowtow.

Tradisi tak membolehkanku untuk menemaninya mengantarkan ke gerbang, tetapi kuputuskan untuk sekali ini tak mengacuhkannya.

Tirai pintu diangkat dan kami keluar ke pekarangan. Para kasim masih sibuk bersihbersih pada pagi hari. Mereka dengan tergesa menghilangkan diri dari pandangan kami. Mereka yang kebetulan melintasi jalur kami memohon maaf.

Langit mulai terang. Sayap atap yang berglasir bermandi cahaya emas. Tak sama seperti Istana Musim Panas, yang udaranya membawa wangi bunga melati, suasana pagi di Kota Terlarang begitu dingin dan berangin.

Kudengar suara jejak kakiku sendiri, alas kayu sepatuku mengetuk jalur batu. Li Hungchang dan aku berjalan bersisian. Di belakang kami enam belas kasim mengangkut tandu upacaraku yang seukuran kamar.


Dua minggu kemudian, Pangeran Kung yang kini berusia enam puluh lima dipanggil dari masa istirahatnya. Kaisar Guanghsu menerbitkan dekrit atas desakanku. Kung enggan pada awalnya. Selama sepuluh tahun, dia terus menyimpan dendam terhadap orangorang yang telah menyingkirkannya dari kepemimpinannya, termasuk pada kedua saudara tirinya. Aku memohonmohon padanya, mengatakan bahwa kematian Pangeran Ch'un semestinya bisa menutup kesalahan yang terjadi pada masa lalu. Kaisar yang berusia dua puluh empat tahun memerlukannya.

Guanghsu dan aku bertemu dengan Pangeran Kung di taman krisannya, yang tanahnya tertutupi dengan bungabunga ungu berbentuk bintang. Pangeran Kung memungut satu daun. Dia menaruhnya datar di telapak tangannya dan menepuknya dengan telapaknya yang lain, menimbulkan suara seperti kembang api.

“Keseimbangan kekuatan di Asia telah berubah semenjak pihak Jepang berhasil merebut benteng pelabuhan kami di Weihaiwei.” Suara Pangeran Kung telah melemah selama bertahuntahun ini, tetapi semangatnya, perspektif, dan kecemerlangannya masih bertahan. “Perbuatan salah pada masa lalu telah mengakibatkan kelemahan pada masa sekarang. Dalam pandangan dunia, peperangan sesungguhnya telah usai dan Cina telah kalah.”

“Tetapi semangat kita belum!“ Wajah Guanghsu berubah merah dan dadanya mengembang. “Aku menolak menyebutnya sebagai kekalahan. Para admiral, perwira, dan tentara kita melakukan bunuh diri untuk menunjukkan pada dunia bahwa Cina tidak menyerah!”

Pangeran Kung tersenyum sinis. “Para admiral kita bunuh diri untuk menebus diri mereka, dan menyelamatkan keluarga mereka dari kematian dan penyitaan harta mereka. Kaucopot jabatan dan gelar mereka, tetapi menyuruh mereka untuk tetap bertahan di medan. Kau katakan pada mereka bahwa mereka akan dipenggal jika kalah berperang. Kematian bukanlah pilihan mereka, tetapi kau!”

“Pamanmu benar,” kataku. “Aku yakin bahwa Kaisar juga menyadari bahwa jiwa patriotisme bangsa kita tak mampu mencegah Jepang untuk menduduki Semenanjung Liaotung. Kami mengerti bahwa Jepang sedang menargetkan benteng di Pelabuhan Arthur dan mengambil alih seluruh Korea.“

Guanghsu bersandar makin dalam pada kursinya. Seolah mengalami kesulitan bernapas, dia menghela napas dalamdalam.

Kung terus saja memungut daun dan menepuknya, membuat suara yang mengganggu dengan telapak tangannya.

Aku senang Pangeran Kung mengungkit masalah bunuh diri itu. Aku telah berselisih dengan Guanghsu beberapa kali mengenai perintah kematiannya. Aku berusaha keras meyakinkannya bahwa pengabdian tak bisa dipaksakan. Tak akan ada loyalitas jika pengampunan dan kebaikan tak mendapatkan kepastian terlebih dulu. Namun, aku harus mengakhiri pembahasan itu karena Guanghsu tak mampu memahaminya—dia telah dibesarkan untuk menerima pengabdian dan loyalitas begitu saja. Hal pertama yang dipelajarinya tentang manusia adalah dari gurunya yang menampilkan sikap ketulusan dan dedikasi. Aku menyerah saat Guanghsu mengeluhkan sikapku yang terlalu mencampuri kewenangannya.

“Ibu, apa kau baikbaik saja?” tanya Guanghsu lembut. Aku telah mengatakan padanya bahwa aku merasa letih dan lemah.

Kemudian dia berkata, “Aku telah membuang petisi yang menuntut hukuman bagi Li Hungchang.”

Aku tahu dengan melakukan hal itu, anakku berusaha menyenangkanku. Tetapi aku tak ingin membicarakannya. Terutama tidak di depan Pangeran Kung. Maka, aku mengalihkan topik. “Apa kita sudah mencoba pilihan lain pada medan perang menghadapi Jepang?”

“Kami sudah mencoba melalui berbagai penengah, termasuk pada diplomat Amerika,” jawab Pangeran Kung. “Kami coba meraih persetujuan dengan Jepang, tetapi Tokyo menolaknya, “

“Aku tak melihat ada gunanya dengan membuang-buang waktu dalam perundingan,” ujar Guanghsu. Seolah berusaha menahan emosinya, dia mengalihkan pandangannya. “Aku tak berunding dengan orangorang barbar!” ucapnya dengan gigi bergemeretuk.

“Lalu, apa yang kau ingin aku lakukan?” Pangeran Kung tampak kesal.

“Aku butuh bantuanmu untuk mempersiapkan pertahanan,” ujar Kaisar.

“Aku tak yakin bisa membantu,” ujar Pangeran Kung. “Kau salah jika berpikir bahwa aku bisa lebih baik dari Li Hungchang.“

Aku beralih pada mereka berdua. “Tidakkah lebih baik bagi kita untuk berjalan dengan dua kaki? Melanjutkan untuk mengupayakan perundingan deng
an Jepang dan pada waktu bersamaan, mempersiapkan pertahanan kita?”


Guanghsu mengikuti nasihat Pangeran Kung dan menawarkan untuk menugasi orangorang asing untuk mengerjakan pertahanan kami. Seorang perancang Angkatan Bersenjata Jerman yang pada 1881 telah mengawasi pembangunan benteng Pelabuhan Arthur diangkat sebagai Kepala Angkatan Bersenjata Cina. Guanghsu berharap bahwa di bawah kepemimpinan Jenderal Barat, dia akan mampu membalikkan situasi dengan Jepang.

Baik Pangeran Ts'eng maupun Pangeran Ch'un Junior mendesak bahwa menyewa musuh lama sama saja dengan aksi pengkhianatan.

Guanghsu tetap bertahan dari tekanan, hingga menit terakhirnya. Lalu dia berubah pikiran dan membatalkan penugasan itu.

“Jika saja rencana itu dilaksanakan,” Pangeran Kung yang kecewa mengeluh kemudian, “Cina akan aman dan Jepang pada akhirnya harus membayar ganti rugi perang pada kita.“

Saat itu aku tak menyadarinya, tetapi ketika Kaisar mengubah pikirannya, pamannya sangat kecewa. Begitu kecewanya, hingga selama berharihari dan berminggu-minggu ke depan Pangeran Kung perlahan akan menarik diri. Kukira harga dirinya sedang terluka dan bahwa pada akhirnya, dia akan melupakannya dan melanjutkan perjuangannya demi Dinasti. Namun, hati Pangeran Kung kembali ke taman krisannya, dan dia tak akan pernah kembali lagi.


Pada penghujung Januari 1895, Guanghsu menyadari bahwa dia sudah tak punya lagi pilihan kecuali berunding dengan pihak Jepang. Yang lebih memalukan dirinya, Jepang menolak membahas traktat dengan siapa pun kecuali dengan Li Hungchang yang sudah. disingkirkan.

Pada 13 Februari, Guanghsu melepaskan Li dari tugasnya sebagai Gubernur Chihli dan menyuruhnya untuk memimpin upaya diplomatik Cina. Sekali lagi, aku akan menerima Li Hungchang atas nama Kaisar.

Li tidak ingin datang ke Peking. Dia memohon agar dibebaskan dari tugas itu. Merasa bahwa Kaisar dan Topi Besi cepat atau lambat akan menjadikannya kambing hitam, dia tak memiliki keyakinan akan bertahan. Dia mengutarakan bahwa banyak hal telah berubah. Kami sudah kehilangan aset negosiasi. Sudah tak mungkin lagi membawa Jepang ke meja perundingan.

“Siapa pun orang yang mewakili Cina dan menandatangani traktat itu harus menyetujui lepasnya sebagian dari Cina,” Li memprediksi. “Itu akan jadi tugas yang siasia dan negara akan menyalahkannya apa pun alasannya atas hasil negosiasi yang diterima.”

Aku memohon agar dirinya memikirkan ulang dan mengiriminya undangan pribadi untuk menghadiri jamuan makan malam denganku.

Li menanggapi, mengatakan dalam pesannya bahwa dia tak pantas mendapatkan kehormatan itu dan bahwa usianya yang semakin menua dan masalah kesehatannya membuatnya sulit melakukan perjalanan jauh.

“Aku berharap bahwa aku bukanlah Permaisuri Cina,“ aku menulis balik pada Li. “Pihak Jepang sudah menuju Peking, dan aku tak mampu membayangkan bagaimana mereka akan merusak tanah leluhur Kerajaan.”

Mungkin karena nada desakan dari suratku, mungkin karena rasa tanggung jawabnya sebagai seorang berbudiluhur yang memanggilnya—apa pun alasannya—Li Hung-chang memberiku kehormatan dengan kehadirannya, dan dengan segera dia ditunjuk sebagai Ketua Negosiator Cina. Dia tiba di Shimonoseki, Jepang, pada 19 Maret 1895. Sekitar sebulan kemudian, negosiasi yang tengah berkingsung mengambil putaran yang mengejutkan: saat meninggalkan salah satu sesi pertemuan dengan Perdana Menteri Ito Hirobumi, Li tertembak pada wajahnya oleh seorang ekstremis Jepang.

“Aku hampir lega dengan kejadian itu,“ Li menanggapi ketika kutanyakan kondisinya. “Peluru itu hanya menggores pipi kiriku. Peristiwa itu memberiku apa yang tak akan mungkin kudapatkan dari meja perundingan—simpati dunia. “

Penembakan itu membawa reaksi keras dunia internasional agar Jepang melunakkan tuntutannya terhadap Cina.

Aku merasa telah mengirim Li untuk tewas dan dia bertahan hanya karena beruntung.

Juga, dalam pesannya, Li Hungchang mempersiapkan Kaisar Guanghsu atas keputusan tersulit: untuk menyetujui prasyaratprasyarat negosiasi, termasuk menyerahkan Pulau Taiwan, Semenanjung Peseadores, dan Liaotung pada Jepang untuk selamanya; pembukaan tujuh pelabuhan bagi perdagangan Jepang; pembayaran dua ratus juta tael, dengan izin bagi Jepang untuk menduduki Pelabuhan Weihaiwei hingga pembayaran itu lunas; dan pengakuan atas “otonomi penuh dan utuh, dan kemerdekaan Korea”, yang artinya melepaskannya pada Jepang.

Guanghsu duduk di Kursi Naga dan menangis. Ketika Li Hungchang kembali ke Peking untuk berkonsultasi, dia tak bisa membuat Kaisar berkatakata.

Saat itulah aku mengatakan pada Li akan apa yang tengah kupikirkan: “Serahkan apa yang harus dilepaskan oleh Cina dalam bentuk uang, bukan tanah.”

Dia mengangkat tatapannya. “Baik, Yang Mulia.”

Kukatakan padanya bahwa sekalinya kita menerima pendudukan Jepang di daratan, sebagaimana kita biarkan terjadi pada Rusia di kawasan Ili, Cina akan selamanya kalah.

Li memahaminya dan bernegosiasi atas dasar prinsip itu.

Bayangan Li Hungchang di balairung dengan kening menyentuh lantai masih melekat di benakku setelah dia pergi. Aku duduk mematung. Suara jam besar di aula mengesalkanku.

“Korea dan Taiwan hilang,” Guanghsu bergumam sendiri terusmenerus.

Dia tak tahu, tentu saja, bahwa hanya dalam beberapa bulan, kami juga akan kehilangan Nepal, Burma, dan Indocina.

Perampasan lagi. Dan lagi.

Jepang tak punya niat untuk berhenti. Kakitangannya kini telah menyebar jauh ke dalam Manchuria.

Ukiran naga di pilarpilar istana tak lagi bisa dicat tahun ini. Cat yang lama sudah mengelupas dan warna emasnya sudah berubah menjadi cokelat kering. Biro Interior telah lama kehabisan uang. Masalahnya tidak hanya pada kebusukannya yang begitu jelas, tetapi pada rayap yang tak terlihat.

Suatu pagi, Kepala Kasim Li Lienying berupaya mengajukan permohonan resmi pada Kaisar: “Tolong, Yang Mulia, lakukan sesuatu untuk menyelamatkan Kota Terlarang karena ia dibangun dengan kayu semua.”

“Bakar saja!” merupakan jawaban Guanghsu.

Audiensiaudiensi terus berlanjut. Dalam telegram terbaru Li Hungchang, pihak Jepang menuntut hak untuk membangun pabrik di pelabuhanpelabuhan yang tengah disengketakan. “Terima klausul ini atau akan ada perang,” Jepang mengancam.

Guanghsu dan aku mengerti jika kami mengabulkan tuntutan Jepang, tuntutantuntutan yang sama akan dibuat oleh kekuatan asing lainnya.

“Konsesi terakhir juga mengungkap masalah hak atas mineral,“ isi lanjutan dari telegram Li, “dan tak banyak yang bisa kita lakukan untuk menolaknya…”


Sinar matahari menyusupi jendelajendela kamarku, melemparkan bayangan seperti dedaunan yang bergemeresik, ke lantai dan furnitur. Labalaba hitam besar bergantung pada benang di panel berukir. Ia bergelantungan maju mundur di tengah desir lembut angin. Ia adalah labalaba hitam pertama yang kulihat di dalam Kota Terlarang.

Aku mendengar suara seseorang menyeret kakinya.

Kemudian Guanghsu muncul dari ambang pintu. Posturnya seperti seorang lelaki tua dengan punggung bongkok.

“Ada kabar apa?” tanyaku.

“Kita kehilangan divisi terakhir kita atas pasukan berkuda Muslim.” Guanghsu memasuki kamarku dan duduk di kursi. “Aku dipaksa membubarkan berpuluh puluh ribu tentara karena aku harus membayar ganti rugi pada pihak asing. 'Atau perang,' mereka bilang. 'Atau perang'!”

“Kau belum makan,” ujarku. “Mari kita sarapan.”

“Jepang sudah. membangun jalan menghubungkan Manchuria dengan Tokyo.” Dia menatapku, mata hitam lebarnya tak berkedip. “Aku akan jatuh bersamaan dengan kejatuhan Kaisar Rusia.”

“Guanghsu, cukup.”

“Kaisar Meiji akan segera tak tertandingi di Asia Timur.”

“Guanghsu, tolong, makan dulu.”

“Ibu, bagaimana aku bisa makan? Jepang telah memenuhi perutku!”





26



DAPUR KERAJAAN BERUSAHA mencari alasan untuk tak membatalkan perjamuan ulang tahunku. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Dewan Istana yang melihat momen pengunduran diriku sebagai peluang bagi setiap orang untuk mengumpulkan uang.

Kusimpulkan bahwa satusatunya cara agar tak masuk dalam perangkap ulang tahunku adalah dengan mengumumkan pada negara dalam sebuah surat terbuka:


Kesempatan yang menguntungkan dari ulang tahunku yang keenam puluh akan menjadi peristiwa yang menggembirakan dan aku mengerti bahwa para pejabat dan sebagian warga telah menyumbangkan dana yang akan digunakan untuk mendirikan suatu monumen peringatan—aku diberitahukan sebesar dua puluh lima persen dari pendapatan tahunan kalian untuk menghormatiku dengan menghias Kanal Kerajaan sepanjang Peking hingga ke tempat tinggalku .... Aku tak ingin bersikap keras kepala secara berlebihan dan mendesak untuk menolak kehormatan ini, tetapi aku merasa berutang pada kalian semua, di atas segalanya, untuk mengungkapkan perasaanku sejujurnya. Sejak awal musim panas lalu, negaranegara pembayar upeti telah direbut, armadaarmada kita dihancurkan dan kita dipaksa memasuki perang terbuka yang menyebabkan kehancuran yang demikian hebat. Bagaimana aku punya hati untuk menyenangkan diriku sendiri? Karena itulah, kuperintahkan agar upacara publik dan semua persiapan yang tengah dilakukan dibatalkan dari sekarang.


Kukirim naskah surat itu secara langsung ke pencetak tanpa melalui Penasihat Agung. Aku takut maksud kata-kataku akan diubah, terutama keputusanku untuk membatalkan perjamuan ulang tahunku.


Aku juga ingin berbagi dengan negara akan rasa penyesalanku dengan mengabaikan nasihat Li, yang telah membuat semakin beratnya penalti yang mesti dibayar oleh Cina. Aku tak bisa menahan kemarahanku, melihat Li Hungchang, yang pada usia tujuh puluh dua, kembali ke rumahnya dari Jepang hanya untuk dipanggil sebagai pengkhianat. Orangorang di jalan akan meludah ke tandunya saat dia lewat.

Sebagai bentuk dukunganku bagi Li, aku mernbujuk Dewan Istana untuk mengirimnya ke St. Petersburg tak lama setelah upacara kenaikan takhta Tsar Nicholas II.

Li meminta agar sebuah peti jenazah kosong menemaninya dalam perjalanan—dia ingin bersiapsiap. Dia memintaku untuk menuliskan namanya pada tutupnya, yang kuturuti.

Sebagai hasil kunjungan Li Hungchang, sebuah kesepakatan rahasia antara Rusia dan Cina dirundingkan, kemudian ditandatangani. Masingmasing negara menyetujui untuk membela yang lain, saat menghadapi agresi dari Jepang. Harga yang harus kami bayar adalah untuk menerima klausul yang mengizinkan Rusia untuk meluaskan jalur kereta TransSiberia melintasi Manchuria ke Vladivostok. Kami juga akan mengizinkan pihak Rusia menggunakan jalur itu untuk memindahkan pasukannya dan peralatan perang mereka melalui wilayah Cina.

Itu merupakan hal terbaik yang bisa dicapai oleh Li Hungchang di bawah kondisinya. Namun, naluriku dan dia menyatakan bahwa Rusia tak bisa dipercaya. Dan kenyataannya, begitu kami membiarkan Rusia melabuhkan armada mereka di Pelabuhan Arthur kami yang bebases, mereka menolak meninggalkannya, bahkan sesudah Jepang sudah terusir.


Pada saat ini, selagi Guanghsu dan aku sedang sibuk meneliti kegunaan program penyewaanlahan untuk menghasilkan pembayaran bagi pinjaman asing kami, istrinya, keponakanku Lan, datang tibatiba.

Begitu Guanghsu melihat kedatangan Lan, dia memohon diri dan meninggalkan ruangan.

Lan mengenakan jubah bersulam polapola mawar. Hiasan mawar kecil serupa yang terbuat dari pita, menghias rambutnya. Kerah jubahnya yang tinggi memaksa dagunya tegak dan maju, membuatnya tampak tak nyaman. Tampaknya dia telah berhenti memulas pipinya dengan bedak putih; kesedihannya begitu nyata pada wajahnya. Ujung mulutnya tertarik ke bawah. Air mata tumpah, sebelum dia mampu berkata,

Menyaksikan masalah dalam pernikahan mereka lebih buruk daripada hidup dengan kematian suami dan anakku. Kematian Hsien Feng dan Tung Chih tak bisa sepenuhnya kulupakan, tetapi tahap penyembuhan atas hal itu hadir dengan sendirinya. Kenangan bisa dipilih dan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Aku tak lagi ingat akan adanyu perasaan kebencian. Dalam mimpiku, anakku menyayangiku sepenuhnya dan Hsien Feng begitu pengasih.

Dengan Guanghsu dan Lan, kesengsaraan mereka seperti lumut yang tumbuh pada musim penghujan: ia bermula dari sudut atap dan perlahanlahan menguasai seluruh sudut Istana.

“Aku baru kembali dari pembaringan ibu mertuaku. Lan tentu saja sedang membicarakan saudariku. “Rong makin memburuk.'

Saudariku harus terus berbaring dan telah menolak kunjunganku. Rong yakin bahwa akulah penyebab kesakitannya. Karena itu, kukirim Lan sebagai gantiku.

“Aku tahu kau ke sini bukan untuk membicarakan saudariku,” kataku pada Lan. “Yang bisa kukatakan padamu hanyalah bahwa Guanghsu sedang mengalami banyak tekanan.”

Lan menggeleng, membuat hiasan di kepalanya berkibas. “Dia harus menghabiskan waktu denganku.”

“Aku tak bisa memaksanya, Lan.”

“Tentu kau bisa, Bi, jika kau sungguhsungguh peduli padaku.”

Aku merasa bersalah dan berjanji padanya akan mencoba lagi. Kupindahkan Lan dan penghuni rumahnya ke kompleks tepat di belakang Guang,hsu, menggunakan masalah rayap sebagai alasannya. Aku berpikir bahwa pasangan itu dapat saling mengunjungi melalui pintu lengkung yang menghubungkan keduanya. Namun, pada hari esoknya, Guanghsu menutup jalan masuk dengan furnitur. Ketika Lan memindahkan furnitur itu, Guanghsu memerintahkan agar pintu masuk ditutupi batu bata secara permanen.

Sementara itu, aku bisa lihat bahwa Guanghsu jatuh hati pada Mutiara, selirnya, yang baru saja genap sembilan belas tahun dan tampak begitu memesona. Rasa keingintahuan dan kecerdasannya mengingatkanku pada masa mudaku. Aku senang dengannya karena dia menginspirasi Guanghsu untuk memenuhi ekspektasi bangsanya.

Aku merasa iba pada Lan saat dia berusaha bersaing dengan Mutiara. Lan terlalu banyak membawa darah abangku. Dia memiliki ambisi, tetapi tidak memiliki tekad untuk mewujudkannya. Saat dia mengancam bunuh diri, Guanghsu malah semakin jijik dengannya.

Kuminta bantuan pada Kuei Hsiang, tetapi dia hanya berkata, “Kau mak comblangnya, Anggrek. Kaulah yang mesti membereskannya.”

Aku merencanakan perjamuan teh bagi kami bertiga. Saat Lan meminta Guanghsu mencicipi kue persik yang dibuatkan untuknya, dia tampak gelisah dan bangkit berdiri. Kupegang sikunya dan berkata, “Mari kita jalan jalan di taman.” Aku berjalan di belakang mereka, berharap agar mereka memulai percakapan. Namun, Guanghsu tetap menjaga jarak, seolah istrinya membawa penyakit. Lan bertahan pada harga dirinya dan tetap diam,


“Kau harus mengambil pilihan, Lan,” kataku setelah Guanghsu pergi menghadiri pertemuan Istana. “Kau sudah tahu bahwa halhal yang terjadi bisa tak sesuai dengan keinginanmu. Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya.“

“Ya, itu benar.” Keponakanku menyeka wajahnya dengan saputangan. “Aku selalu meyakini bahwa rasa cintaku akan mengubahnya, “

“Yah, dia belum berubah. Kau harus terima itu.”

“Apa yang harus kulakukan?”

“Sibukkan dirimu dengan tugastugasmu sebagai Permaisuri. Memimpin upacara dan menyampaikan penghormatan pada para leluhur. Kau juga bisa melakukan apa yang kulakukan: belajar tentang dunia dan jadikan dirimu berguna. “

“Apa hal itu bisa membuat Guanghsu mengasihiku?”

“Aku tak tahu,” jawabku. “Tetapi tak seharusnya kau menutup diri dari kemungkinan itu.”

Lan memulai kegiatan belajarnya denganku. Pertama-tama, kutugasi dia untuk membacakan laporan terbaru akan kematian Ratu Min dari Korea.

“'Dipimpin oleh para informan, para agen Jepang menerobos masuk ke dalam istana Ratu.“' Lan terkejut, menutup mulutnya dengan saputangan.

“Teruskan, Lan,“ perintahku.

“'Setelah... setelah membunuh dua dayangdayangnya, mereka mengepung Ratu Min. Menteri Urusan Kerumahtanggaan Istana datang menyelamatkannya, tetapi penyusup menebas habis kedua tangannya dengan sebilah pedang.’”

Lan tampak begitu takut. “Bagaimana… bagaimana dengan pengawalnya? Di mana mereka?”

“Mereka pasti telah dibunuh atau dijebak atau disogok,” jawabku. “Teruskan dan selesaikan, Lan.“

“’... Ratu Min ditikam berkalikali dan diangkut keluar ......’”

Lan melanjutkan membaca, tetapi suaranya sudah tak lagi terdengar. Dia beralih padaku dengan kepala ditelengkan ke satu sisi, seperti boneka dengan tali yang rusak.

“Apa yang terjadi?” tanyaku.

“Orangorang Jepang menyiapkan tumpukan kayu bakar yang disiram dengan bensin di luar pekarangan.”

“Dan kemudian?”

“Mereka melemparkan dirinya ke atasnya dan menyalakan api.“ Bibir Lan bergetar.

Kuambil kembali laporan itu dari tangannya dan menaruhnya di mejaku.

Lan duduk terdiam seolah membeku. Tak lama, dia bangkit dan berjalan keluar seperti hantu.

Lan tak pernah lagi mengancam akan bunuh diri meskipun dia terus mengeluh tentang suaminya. Lan percaya bahwa dia tak perlu mempelajari urusanurusan Istana, tetapi hal itu tak menghentikannya bermimpi dipujapuja oleh rakyat. Dia tak pernah berbagi ranjang dengan Kaisar atau berteman dengan Mutiara. Dia mencari pelariannya dengan memanjakan diri sendiri dan menghabiskan waktu bersama saudara Mutiara, Selir Cahaya, yang begitu bertolak belakang dengan Mutiara. Cahaya tak punya banyak minat dalam hampir segala hal. Dia sangat menggemari makanan dan bisa duduk mengudap makanannya seharian penuh.


Pada 18 Juni 1896, Rong meninggal. Hal itu terjadi setelah dia menuduh para tabib telah meracuninya. Kesehatan jiwanya mulai terdengar pihak Istana sehingga keputusanku bertahuntahun sebelumnya untuk mencegahnya mengunjungi Guanghsu kini dimengerti. Sayangnya, Kaisar kini dianggap sebagai anak seorang wanita sinting, dan Penasihat Klan menggunakan alasan ini untuk mulai memikirkan penggantinya.

Aku sudah muak dengan perselisihan yang terjadi antara para Pangeran Manchu, para saudara, dan sepupu yang tampaknya tak memiliki kesamaan satu sama lain, kecuali rasa tamak dan kebenciannya. Ketika aku berusaha menjelaskan begitu besarnya kasih sayang antara Kaisar Hsien Feng dan Pangeran Kung, para pemuda TopiBesi langsung jemu. Dengan jubah istana megahnya, generasi kerajaan Manchu ini bertengkar layaknya segerombol serigala memperebutkan tempat tinggal, proyek sepele, dan gaji tahunan.

Aku kehilangan kendaliku pada acara keluarga saat pemakaman saudariku. Hal itu mungkin ada kaitannya dengan kenyataan bahwa aku tak berkesempatan untuk berpamitan dengan Rong—pembalasannya. Dan perselisihan antara Pangeran Ch'un Junior dan kelompok TopiBesinya memperebutkan warisannya memancing kemarahanku, hingga akhirnya aku meledak.

“Kematian ibumu sama artinya kau tak lagi terlindungi.” Kukatakan dengan suara dingin. “Sekali lagi kau menyinggung kemarahan Kaisar, aku tak akan segan memerintahkan pemindahanmu dan jika kau menentangku, eksekusi atas dirimu.”

Ch'un menyadari bahwa aku bersungguhsungguh dengan ucapanku—lagi pula, aku sudah pernah mengeksekusi Su Shun, mantan Penasihat Agung, dan komplotannya yang berkuasa.

Katakata ancamanku berhasil meredamkan perselisihan itu dan aku ditinggalkan sendiri.

Sambil menyandarkan pipiku di atas peti jenazah Rong, aku teringat dua biji kenari yang dia letakkan di telapak tanganku pada hari aku meninggalkan rumah untuk menetap di Kota Terlarang. Aku menyesal tak berusaha lebih keras untuk merawatnya. Rong telah ditaklukkan oleh penyakitnya, tetapi ada harihari ketika pikirannya jernih dan sikapnya penuh kasih. Aku ingin tahu apakah dia mengetahui tentang masalah pernikahan antara Guanghsu dan Lan. Aku tak akan pernah tahu perasaannya. Betapa aku rindu berbincang dengannya saat kita masih kecil dulu! Aku ingin bisa bicara dengan Kuei Hsiang, menghabiskan waktu mengenang Rong bersama, tetapi dia tak tertarik. Bagi abangku, kematian Rong adalah anugerah.

Lan dan Guanghsu tampak bagai pasangan rukun di pemakaman Rong. Setelah membungkuk ke arah peti jenazah bersama, mereka melempar bijibiji emas padi ke udara. Hal itu membuatku berpikir untuk tak pernah melepaskan harapan.


Sepanjang kesulitan yang kami hadapi, Yung Lu terus melanjutkan kerja samanya dengan Li Hungchang, memperkuat Angkatan Bersenjata. Pada saatsaat seperti ini, kami sangat jarang bertemu; Yung Lu bertekad tak menyulut api ke dalam rumor apa pun mengenai kami yang bisa mencederai upayanya bagi Kaisar. Aku harus merasa puas dengan cukup mengetahui keberadaan Yung Lu dari laporanlaporan yang datang.

Namun suatu pagi, Yung Lu datang ke hadapanku untuk meminta izin meninggalkan jabatannya kini sebagai Kepala Komando Angkatan Bersenjata untuk memimpin Angkatan Laut negara. Kukabulkan permintaannya, tahu bahwa dia pasti sudah berpikir masak akan keputusannya, tetapi kuperingatkan dia bahwa banyak orang mungkin akan melihat pemindahannya sebagai penurunan jabatan.

“Aku tak pernah hidup berdasarkan prinsipprinsip orang lain” adalah tanggapannya.

“Angkatan Laut telah menemui banyak kesulitan semenjak kepergian Li Hungchang ke luar negeri,” kuingatkan dirinya.

“Itulah sebabnya mengapa aku menginginkan pekerjaan ini.“

“Li telah mengatakan padaku, 'Dibutuhkan orang dengan kepemimpinan seperti Yung Lu untuk memengaruhi Angkatan Laut.' Apakah dia yang menyarankanmu mengambil tanggung jawab ini?”

“Benar.”

Aku berusaha tak memikirkan jika tugastugas baru Yung Lu akan membuatnya lebih sering meninggalkan Peking.

“Siapa yang akan menjadi penggantimu?” tanyaku.

“Yuan Shihkai. Dia akan melapor padaku secara langsung Tentu saja, aku sudah cukup tahu akan kemampuan Yuan. Sebagai jenderal Muda, dia telah berjuang melawan Jepang dan berhasil menjaga perdamaian di Korea selama sepuluh tahun.

“Jadi, kau akan mengerjakan dua tugas sekaligus.”

“Ya, begitulah.” Dia tersenyum. “Begitu pula denganmu.”

“Aku tak akan merasa aman dengan kepergianmu”

“Aku akan berada di T’ientsin.”

“Itu ratusan kilometer jaraknya dari sini.”

“Dibandingkan Sinkiang, itu tak begitu jauh.”

Kami duduk diam menghirup teh. Kutatap dirinya, mata, hidung, mulut, dan tangannya.









 





Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Post a Comment

 

© 2013 Pangeran Kodok. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top